Ada orang yang memang mempercayai bahwa bakat seseorang akan dipengaruhi oleh keturunannya atau gen. Namun dalam konteks dunia profesi atau keahlian apapun, teori ini dapat diruntuhkan. Manusia diciptakan dengan seabrek potensi yang telah dititipkan Tuhan kepadanya. Persoalannya apakah dapat  menggali sekaligus menumbuhkan-kembangkan potensi tersebut atau tidak. Menurut saya, bakat itu bukan bawaan, tetapi hasil dari imitasi seseorang sejak kecil yang mungkin saja hasil meniru orang yang ada di dekatnya, atau paling tidak merupakan aktivitas spontan dan ia merasa enjoy dengannya.
Banyak orang yang menjadi penulis luar biasa padahal ia tidak memiliki gen yang memiliki kebiasaan menulis. Perjalanan hidup manusia merupakan proses pencarian, pencarian jati diri, pencarian kebenaran, dan pencarian lainnya. Walaupun tidak memulai kariernya sejak kecil, banyak penulis yang tumbuh dan berkembang setelah dirinya dewasa. Walaupun tidak ada iklim menulis di keluarganya, penulis hebat bisa jadi menemukan jati dunianya setelah dia memulai aktivitas menulis baik secara sendirian atau kelompok.
Saya sendiri tidak ada gen menulis. Menulis dimulai saat saya menulis tugas mata kuliah berupa makalah. Karena kebiasaan menulis makalah dan membaca buku, mulailah minat menulis itu tumbuh dalam diri saya. Mulailah saya berlatih menulis, walaupun sering mentok. Tapi saya terus berlatih, dan selesailah satu buku dengan tebal 54 halaman, berupa susunan kata-kata hikmah. Sampai sekarang, tulisan itu masih tersimpan dan belum diterbitkan. Ke depannya insyaallah akan saya tambah dan saya terbitkan menjadi buku yang lebih tebal.
Saya juga sempat terhenti menulis buku karena hanya lebih fokus menyelesaikan kuliah dan menulis skripsi. Muncul kembali motivasi menulis saat booming novel Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Shirazy. Membaca dan mendengar bahwa Kang Abik--panggilan Habiburrahman El Shirazy--mendapat royalti 1,5 miliar dari novelnya tersebut saya berpikir, wah bisa juga ya menghasilkan uang dari menulis ini? Nah, motivasi materi ini salah satu daya dorong saya untuk melanjutkan aktivitas menulis saya yang lebih dari tiga tahun tertunda.
Saya mulai menulis beberapa buku. Buku perdana saya cetak dengan biaya sendiri bertajuk Getaran Muhasabah, sedangkan buku kedua saya bergenre faksi (kisah) saya tulis lalu dikirim ke Republika Penerbit Jakarta, di mana novel Ayat-ayat Cinta diterbitkan. Alhamdulillah, naskah saya lolos seleksi dan diterbitkan dengan judul Cinta untuk Ar-Rahman. Mungkin pihak penerbit menerima naskah saya karena ada bau-bau "cinta", hehehe. Terbitlah buku ini dan dicetak 3.000 eksemplar (berdasarkan perjanjian penerbitan yang saya tanda tangani). Buku yang diterbitkan pada tahun 2008 ini dibandrol dengan harga Rp38.500,00 (tiga puluh delapan ribu lima ratus rupiah) per eksemplar-nya, dan saya sebagai penulis mendapatkan royalti 10% dari harga bruto, yaitu Rp3.850,00
Saya yang saat itu masih menjadi guru honorer dan dosen luar biasa dengan gaji tidak sampai Rp800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) sebulan, berharap bahwa menulis dapat mengubah nasib saya layaknya Kang Abik yang mendapatkan miliaran rupiah. Tapi, ya itu, walaupun nama saya dan Kang Abik sama berbau "El" di belakang nama, namun nasib berbeda, hehehe. Boro-boro mendapat miliaran, buku saya dalam satu semester hanya mendapat royalti sekitar 3 juta-an, hehehe. Tapi, saya tetap bersyukur, karena buku saya bisa terbit di penerbit nasional. Hal ini pulalah yang membuat saya pede. Memangnya gampang buku bisa lolos seleksi di penerbit nasional sekaliber Republika Penerbit?
Dari sekilas kisah perjalanan awal-awal saya menulis, Anda dapat menangkap bahwa saya menulis karena motivasi eksternal. Jika dikatakan bakat, saya menulis karena bakat ku butuh. Dalam bahasa Sunda, bakat ku butuh bermakna karena butuh sekali (dengan materi/uang). Bagaimana tidak butuh uang, karena saya waktu itu sudah menikah dan adik saya yang masih sekolah tinggal bersama saya, tentu butuh biaya pendidikan. Uang memang bukan segala-galanya, tapi segalanya butuh uang. Jangankan sekolah, buang air kecil (BAK) di luar saja bayar, hehehe.
Selain bakat ku butuh atau motivasi eksternal, ketika secara genetis tidak memiliki keluarga yang bukan penulis, namun juga karena pergaulan. Anda bergaul dengan seseorang yang punya kebiasaan menulis, maka Anda akan tertular. Istilahnya, akan bau harum jika bergaul dengan penjual minyak wangi, akan kecipratan semangat menulis jika bergaul dengan para penulis. Hal ini lagi-lagi meruntuhkan teori bahwa menulis itu karena faktor genetis. Mendobrak mindset ketidakmungkinan bisa menulis karena tidak ada keturunan menulis yang diwariskan dari orang tuanya atau keluarganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI