Tahukan Anda, siapakah orang yang saya ceritakan di atas? Dialah Abdul Hakim El Hamidy, alias saya sendiri, hehehe.
Coba Anda baca kembali cerita saya. Adakah saya berbakat menulis? Tidak sama sekali. Kalau dikatakan berbakat, bakat saya adalah berbicara, bukan menulis. Tapi karena tekad saya kuat, justru kini menulis menjadi keasyikan, Â bahkan boleh dibilang saya akan galau kalau tidak menulis dan mengedit tulisan orang.Â
Memang, ada sih "Mazhab Bakat" yang mempercayai bahwa bakat seseorang akan sangat dipengaruhi keturunannya atau gen. Namun yang mesti diingat adalah, dalam konteks dunia profesi atau keahlian yang dibutuhkan adalah kemauan atau siap untuk fight menggapai impian. Saya percaya bahkan haqqul yaqin, bahwa manusia diciptakan dengan segudang potensi. Persoalannya sejauh mana Anda (sebagai manusia) dapat menggali sekaligus mengembangkan potensi diri. Bakat, dalam hal ini saya lebih ingin mengatakan bahwa ia bukan bawaan, tetapi hasil imitasi seseorang sejak kecil yang mungkin saja meniru orang yang ada di dekatnya, atau paling tidak merupakan aktivitas spontan dan ia enjoy dengannya.
Tidak sedikit yang menjadi penulis hebat padahal sesungguhnya tidak memiliki keturunan atau 'kutukan' penulis. Menjadi penulis merupakan sebuah proses (writing is process) dari pencarian jati diri. Banyak penulis yang tumbuh dan berkembang setelah dirinya dewasa, walaupun tidak ada iklim menulis di keluarganya. Demikian halnya dengan saya. Tidaklah terbayang jika saya bisa menjadi penulis dan dapat menerbitkan puluhan buku. Jika pun dikatakan BAKAT, maka bakat saya menulis hanyalah bakat ku butuh (bahasa Sunda: karena kebutuhan). Tidak ada iklim menulis di keluarga saya. Ayah saya tidak tamat SR (SD), bukan penulis. Logikanya, maka tidak ada yang memotivasi saya untuk menjadi penulis. Saya tergerak menulis karena banyak membaca buku, salah satunya karya Buya Hamka, yang membuat saya berpikir, beliau bukan sarjana, tapi koq bisa menulis sebanyak itu? Lho, saya yang sarjana, masak iya nggak bisa menghasilkan satu karya pun?
Itu pengalaman saya. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Bisa jadi mengawali menulis karena sebuah tuntutan seperti halnya siswa yang harus membuat paper sebagai tugas akhir, calon sarjana yang harus membuat skripsi sebagai syarat meraih gelar, calon master yang harus membuat tesis untuk menyelesaikan S2, atau kandidat doktor yang harus membuat disertasi sebagai syarat menuntaskan studi S3-nya. Namun juga tidak sedikit orang yang berawal dari kesepakatan dalam komunitasnya untuk melahirkan karya tulis, sehingga sanksinya bukan lagi pada nilai pelajaran, tapi sanksi moral dari anggota komunitasnya. Maka jelas di sini, orang menulis tidak lagi melihat faktor keturunan atau bukan.
Dapat dimungkinkan juga orang bisa menulis karena bergaul dengan orang yang memiliki kebiasaan menulis, maka dia akan tertular "virus"menulis. Sebagai contoh, saya memiliki beberapa teman yang awalnya tidak ada niat menjadi penulis, tapi setelah saya motivasi, mengetahui manfaatnya, kemudian juga dituntut oleh administrasi untuk kenaikan pangkat, sampai saat ini sudah lebih dari tujuh buku yang diterbitkannya.
"Andaikata dihadapkan kepadaku dua orang penulis, maka aku akan memilih yang paling gigih. Tanpa bakat orang bisa menjadi penulis hebat. Sementara tanpa kegigihan, seorang penulis berbakat tak berarti apa-apa," demikian kata Mohammad Fauzul Adhim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H