[caption caption="Ilustrasi - Berat tanggung jawab seorang hakim (harianjambi.com)"][/caption]Hakim... Adalah kata yang menggambarkan tokoh pengadil di sebuah peradilan. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana aksi heroik dari Justice Bao (Hakim Bao) dalam menegakkan keadilan terhadap masyarakat dulu di negeri Cina. Atau ketika salah satu stasiun swasta pernah menayangkan cerita hakim yang adil dalam film yang berjudul Adilah.
Karena besarnya tanggung jawab seorang hakim dalam memutuskan keadilan bahkan berdampak terhadap kehidupan orang lain, sehingga wajarlah terdapat beberapa dalil yang menyatakan bahwa tugas hakim sangat berat. Dari Buraidah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." dalam hadits yang lain, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Begitu beratnya tugas seorang hakim, maka dalam mengangkat jabatan hakim harus melewati waktu yang panjang. Tidak serta merta seseorang dengan Sarjana Hukum (S.H) atau Sarjana Hukum Islam (S.H.I) dapat menjadi seorang hakim dan memimpin jalannya sidang untuk memutuskan suatu perkara.
Calon Hakim adalah Co-Ass-nya Dokter
Penulis banyak membaca artikel tentang perjalanan seorang dokter mulai dari mahasiswa sampai dia bisa menjadi seorang dokter. Dikatakan bahwa sebelum menjadi dokter, terdapat suatu program profesi setelah lulus sarjana kedokteran yang disebut dengan co-ass yang biasanya memakan waktu 2 tahun. Saat co-ass, para calon dokter muda ini digembleng secara mental dan fisik untuk dipersiapkan agar menjadi dokter yang handal, tahan menghadapi berbagai macam jenis pasien dan kendala di lapangan. Setelah melewati rangkaian proses perjalannya, maka co-ass diwajibkan mengikuti tes kompetensi dokter dan melewati program internship selama 1 tahun dan akhirnya mendapatkan Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktek yang akhirnya boleh menjalankan praktek secara mandiri.
Bagaimana dengan seorang hakim?
Perjalanan menjadi seorang hakim bukan perjalanan yang mudah. Dimulai ketika mahasiswa lulus dan berhak mendapatkan gelar SH/SHI, untuk menjadi hakim dia harus mendaftarkan diri pada penerimaan khusus calon hakim. Penerimaan ini secara umum mirip dengan penerimaan CPNS, tetapi prosesnya lebih kompleks dengan mengikuti tes wawanca, psikotes dan khusus hakim peradilan agama ditambahkan tes membahas Kitab.
Penerimaan calon hakim tidak selalu dilaksanakan setiap tahun dan ketika dibuka penerimaan calon hakim maka pendaftar akan mencapai ribuan orang untuk akhirnya diterima sekitar seratus calon hakim di seluruh Indonesa.
Ketika seseorang dinyatakan lulus sebagai calon hakim, maka mulai disinilah perjuangan menjadi seorang hakim dimulai. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang hakim, sasat pertama kali bertugas mereka disebut dengan calon pegawai (capeg)/ calon hakim (cakim) dan diharuskan melewati proses dari bawah sebagaimana seperti seorang bawahan. Mulai dengan dirotasinya penempatan mulai dari Peradilan Klas II di daerah yang jauh kemudian menjalankan tugas yang mungkin tidak terbayang ketika sebelum menjadi capeg/cakim. Mulai dari tugas 'membuat' amplop surat (pengalaman penulis), menerima gugatan/permohonan, mengetik putusan dan pekerjaan lain yang diberikan oleh pegawai Pengadilan yang lebih senior. Ingin protes karena merasa diri akan menjadi seorang hakim? Tentu tidak bisa, karena dari situlah mental seorang calon akan dibina.
Berlanjut kemudian dipanggil untuk pendidikan calon hakim dengan masa waktu yang bervariasi dari tahun ke tahun (dulu hanya 2 bulan, mungkin sekarang bisa mencapai 1 tahun), kemudian disebar kembali ke pengadilan yang telah ditunjuk untuk menjadi tempat magang sambil dibina oleh hakim senior (mentor).
Setelah selesai pendidikan maka status mereka bukan capeg/cakim lagi, tetapi Pegawai Negeri Silpil (PNS) cakim yang kembali harus belajar hukum acara dan hukum materil dalam praktek nyata. Dalam proses persidangan, mereka akan diposisikan sebagai Panitera Pengganti Lokal untuk membantu majelis hakim untuk mencatat persidangan (sebagai tahap belajar). Dari proses ininya transfer knowledge terjadi, karena banyak hal-hal diluar teori di perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan yang harus benar-benar dicerna oleh cakim tersebut.