Saya termasuk salah seorang penikmat novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya novelis terkemuka Habiburrahman El Shirazy, yang dimuat secara bersambung di harian Republika. Hampir tiada hari yang terlewatkan, sejak hari pertama pemuatannya, untuk membaca cerita yang sangat menarik dan mengesankan di hati, dengan berbagai karakter tokoh yang diperankan dalam novel tersebut. Sosok Fahri yang digambarkan begitu elegan, cerdas, teliti, humanis, toleran, terbuka, dinamis, modern, ekspresif dan agamis, tentu sangat mengagumkan sebagai contoh karakter ideal seorang lelaki teladan.
Apa yang digambarkan pada sosok Fahri itu boleh dikatakan merupakan manifestasi dari jiwa sang penulis dalam memandang realitas dunia saat ini yang kemudian diabstraksikan dalam karakter Fahri sebagai tokoh sentral dari novel tersebut. Terlebih lagi dengan setting cerita yang mengambil kawasan Britania Raya, khususnya kota Edinburgh, sebagai lokasi yang melatari perjalanan dari berbagai karakter yang ada di dalam novel itu, sang penulis seakan membawa kita bertamasya menikmati pemandangan dan keindahan suasana kota dan tempat-tempat eksotik yang ada di sana.
Namun, setelah mengikuti berbagai keindahan kawasan dan keluasan pemikiran, seperti yang ditampilkan oleh tokoh Fahri itu, saya seperti harus menelan ludah sendiri, ketika sang penulis menggambarkan sosok Baruch yang memerankan tokoh dengan karakter antagonis, seorang Yahudi anggota tentara Zionis yang sangat kaku, arogan, dan kasar tindakannya. Pada episode ke 292 (Republika, Jum’at 13/11/2015), diceritakan ketika Baruch mengejar-ngejar Sabina dan hendak melecehkannya terjadi dialog keras sebagai berikut:
“Tidak usah sok suci! Aku tahu kalian seperti apa. Bahkan istri nabi kalian, istri Muhammad itu seorang pelacur, pezina! Iya kan!?”
“Tutup mulutmu! Jangan hina Nabi saya, jangan hina istri nabi saya, jangan hina keluarga nabi saya!”
“Saya tidak menghina. Apa yang saya ucapkan itu kenyataan. Bahkan saya mengatakan ini berdasarkan apa yang dikatakan saudaramu sendiri, kalangan umat Islam! Saya sudah baca, ada tulisan-tulisan ulama Iran, saya juga dengarkan pidato-pidato mereka yang mengatakan istri Muhammad yang bernama Aisyah itu pezinah!”
Saya ingin menyoroti dialog yang boleh dibilang sangat kontroversial tersebut secara khusus pada bagian ini. Dengan memperhatikan isi dialog pada bagian itu, tampak sekali bahwa ternyata wawasan sang penulis menurut saya agak naïf. Karena ia, entah disadari atau tidak, telah terjebak oleh rasa permusuhan yang terjadi di kalangan umat Islam, yakni dalam isu Sunni – Syiah, yang kalau kita jeli dan kritis dalam melihat persoalan itu, ia tak lebih merupakan perseteruan dari dua kelompok ekstrem dalam kedua mazhab besar Islam itu, yang sesungguhnya sama sekali tidak merepresentasikan pandangan mayoritas ulama mereka.
Cobalah sekarang kita baca dan perhatikan fatwa resmi Sayyid Ali Khamenei yang merupakan seorang ulama rujukan dan pemimpin tertinggi di negara Iran sekarang ini: “Diharamkan menghina simbol-simbol (yang diagungkan) saudara seagama kita, Ahlu Sunnah, berupa tuduhan terhadap istri Nabi Saw dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya, bahkan tindakan ini diharamkan kepada istri-istri para Nabi terutama penghulunya, yaitu Rasul termulia Saw.”
Tak dapat disangkal bahwa hampir dalam tiap kelompok umat beragama, mesti terdapat orang-orang ekstrem yang di dalam kalangan Islam disebut sebagai kelompok Takfiri. Mereka ini pekerjaannya adalah mengutuk dan menyesatkan kelompok yang berbeda pahamnya dengan maksud agar semua orang mengikuti pemikiran dan pandangan mereka. Kelompok-kelompok seperti ini sudah tentu sangat rawan posisinya, karena dengan mudah akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyulut permusuhan dan memecah belah mereka. Dengan hancurnya persatuan di antara mereka, akhirnya pihak musuh akan leluasa untuk menguasai dan menjajah negeri mereka.
Realitas yang sekarang ini kita lihat di dunia Islam mulai dari Afghanistas, Libya, Irak, Suriah, dan terakhir Yaman, seharusnya sudah dapat membukakan mata mereka yang mau berfikir jernih dan jauh dari fanatisme kelompok serta kepentingan sektarianisme, mengenai betapa isu-isu yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok ekstrem itu telah berhasil dengan efektif menghancurleburkan negeri-negeri tersebut. Sangat disayangkan kalau seorang penulis novel sekaliber Habiburrahman El Shirazi, padahal dia adalah seorang sarjana lulusan dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Sebuah perguruan tinggi yang sangat terkenal dengan keluasan wawasan dan khazanah keilmuannya, kemudian terjebak dalam pandangan sempit para ekstremis agama itu.
Padahal seperti telah umum diketahui bahwa para ulama terkemuka Al Azhar adalah termasuk ke dalam kelompok mereka yang berpandangan moderat dalam melihat berbagai perbedaan di antara umat Islam, khususnya dalam soal Sunni dan Syiah. Bukankah Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan salah seorang rektor Universitas Al Azhar pada 6 Juli 1959 telah mengeluarkan fatwanya: “Islam tidak menuntut seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab tertentu. Sebaliknya, kami katakan, setiap muslim punya hak mengikuti salah satu mazhab yang telah diriwayatkan secara sahih dan fatwa-fatwanya telah dibukukan. Setiap orang yang mengikuti mazhab-mazhab tersebut bisa berpindah ke mazhab lain, dan bukan sebuah tindakan kriminal baginya untuk melakukan demikian. Mazhab Ja’fari, yang juga dikenal sebagai Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Syiah Dua Belas Imam) adalah mazhab yang secara agama benar untuk diikuti dalam ibadah sebagaimana mazhab Sunni lainnya.” (Lihat, Sayyid Murtadla al-Ridlawi dalam Membina Kerukunan Muslimin, Pustaka Jaya, 1984).