"Kajen," seru Patuo pada pertemuan tersebut. "Saya mendengar, katanya kamu sekarang diperbudak oleh sapi! Benarkah?" Kajen menggeleng. "Saya hanya memeliharanya, Patuo," jawab Kajen. "Saya tidak diperbudak oleh sapi."
"Lalu, kenapa sapi itu kau beri makan?" tanya Patuo lagi. Di kampung itu, semua hewan hidup liar. Ayam, bebek, dan ikan mereka tangkap dengan salah satu dari dua kemungkinan, antara diburu atau dipancing. "Karena sapi butuh makan, Patuo," jawab Kajen. "Saya menggunakan tenaga sapi itu untuk membajak sawah. Sapi itu perlu makan untuk memulihkan tenaganya, Patuo," tambah Kajen.
"Kamu membangunkan rumah untuk sapi itu dan setiap minggu kamu memandikan sapi itu. Ritual apa itu?" tanya lagi Patuo. "Itu bukan ritual aneh, Patuo," jawab Kajen. "Memang seperti itu seharusnya yang dilakukan oleh para pemelihara sapi."
"Apakah kamu menyembah sapi?" hardik Patuo. "Tidak, Patuo," jawab Kajen tandas. "Saya memeliharanya. Sapi itu bekerja untuk saya. Sapi tidak menyembah saya dan saya tidak menyembah sapi."
Karena jawaban Kajen jujur dan apa adanya, Patuo juga melihat tak ada yang menyimpang dari kehidupan Kajen, Patuo membolehkan Kajen meneruskan kebiasaannya memelihara sapi. Sejak itu, Kajen semakin semangat memelihara sapi. Ia mempekerjakan sapi itu untuk membajak sawah. Setahun sejak kedatangan sapi itu, para warga bukan hanya sudah terbiasa dengan sapi, namun kini mereka melihat adanya manfaat dari sapi tersebut.
Pertemuan ketiga membahas sapi diadakan lagi. Pertemuan itu memutuskan bahwa kampung terpencil itu perlu mendatangkan lebih banyak sapi. Konon katanya, sapi itu bisa diternakkan dan dikembangbiakkan. Sejak pertemuan yang mencerahkan itu, kampung terpencil Kajen telah berubah. Kini di kampung itu telah ada lima ekor sapi. Setiap tujuh kepala keluarga bertanggung jawab terhadap seekor sapi. Setiap kelompok menunjuk perwakilan, siapa di antara mereka yang diberi tugas untuk memelihara sapi, memberinya makan, dan jika perlu memandikannya di sungai.
Kini sapi bukan lagi hal baru yang dianggap aneh di kampung itu. Penduduk kampung tak lagi melihat sapi sebagai sesuatu yang memperbudak manusia, karena justru mereka memanfaatkanya untuk membajak sawah. Mereka memberinya makan bukan karena sapi itu minta diperlakukan demikian, melainkan agar mereka tetap bisa berharap sapi itu memiliki tenaga keesokan harinya untuk bekerja membantu manusia. Kini di kampung itu, para pemelihara sapi bukan lagi dianggap aneh, tak lagi dituduh diperbudak sapi, atau dituduh menyembah sapi. Di kampung itu, para pemelihara sapi disebut para penakluk sapi.
Diawali dengan pertemuan tak sengaja lima tahun lalu dengan seekor sapi yang hanyut, kini kampung Kajen telah mengenal bagaimana memanfaatkan tenaga seekor sapi untuk membantu kehidupan di kampung tersebut. Hari ini, lima tahun sejak hari itu, Kajen mengenang seluruh perjuangannya selama lima tahun terakhir dengan tersenyum simpul. Ia melenggang sambil menarik tali kekang sapinya.
***
Sore ini, Kajen telah usai membajak sawah dengan sapinya. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia membuka pintu kandang yang lima tahun lalu dibangunnya. Oleh Kajen, kandang sapi itu diberi nama Keris. Semua warga ikut-ikutan menamai kandang sapinya dengan sebutan Keris. Kajen memghalau masuk sang sapi ke dalam Keris. Di dalam Keris, Kajen melempar rumput kepadanya.
"Jin, ayo makan makananmu," kata Kajen kepada sang sapi. Kajen memanggil sapinya dengan julukan Jin. "Kusajikan ini untukmu, Jin... Makanlah, biar besok kamu kuat bekerja lagi."