Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Hakim
Muhammad Irfan Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Irfan Hakim

Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan

11 November 2021   09:52 Diperbarui: 11 November 2021   10:07 1868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketidakadilan gender (gender inequality) masih menjadi persoalan yang cukup serius dan menjadi salah satu isu yang tengah di sorot dunia, tidak terkecuali Indonesia. Ketidakadilan atau ketimpangan gender adalah suatu keadaan yang mana terdapat tindakan tidak adil berdasarkan jenis kelamin. Kasus ketidakadilan gender pada umumnya terjadi adalah menimpa perempuan. Perempuan sebagai korban dari tindakan ketidakadilan, yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Adapun menurut Mansoer Fakih, bentuk ketidakadilan gender antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasaan, dan beban ganda.

Ketidakadilan gender bersumber pada budaya patriarkhi yang telah lama melekat di masyarakat. Budaya patriarkhi sangat berpengaruh dalam menciptakan ketidakadilan gender. Budaya patriarki adalah menilai bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan, laki-laki lebih berkuasa dan menganggap perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek. Realitas ketidakadilan gender dapat kita temui di berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam aspek pembangunan. Pembangunan merupakan proses yang sangat fundamental dalam kehidupan, melakukan perubahan untuk mencapai keberdayaan dan kemajuan.  Pembangunan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pembangunan fisik dan non fisik.

Adapun pembangunan fisik adalah pembangunan terhadap suatu yang nampak, material, sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, gedung, irigasi atau infrastruktur lainnya. Sedangkan pembangunan non fisik adalah pembangunan yang dilakukan terhadap aspek sosial, non material, seperti pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Dalam proses pembangunan baik fisik maupun non fisik, ideologi gender tetap begitu melekat, mempengaruhi, dan variabel gender masuk ke dalamnya. Alhasil adalah terdapat ketidakadilan gender dalam pembangunan.

Contoh realitas ketidakadilan gender dalam pembangunan adalah keterlibatan perempuan mengambil keputusan atau mengambil peran dalam pembangunan. Pada era orde baru kebijakan pembangunan begitu timpang antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi subjek pembangunan, sedangkan perempuan menjadi objek atau sasaran pembangunan. Kebijakan ini disebut dengan Gender in Development atau GID. Contoh hasil dari kebijakan ini adalah KB (Keluarga Berencana), dimana perempuan dijadikan sebagai objek kebijakan pembangunan dan tidak melibatkannya dalam proses pembuatan kebijakan.

Pada era reformasi, Gender in Development (GID) berubah menjadi Gender and Development (GAD). Perubahan orientasi mengenai pembangunan ini bertujuan untuk mengentaskan permasalahan ketidakadilan gender dalam pembangunan. Dalam GAD, perempuan tidak lagi dijadikan objek kebijakan, tapi menjadi subjek dan ikut andil dalam pembuatan kebijakan. Hasil dari GAD antara lain: kebijakan afirmatif action tentang 30% untuk perempuan dalam bidang politik dan kebijakan keluarga berencana (KB) tidak hanya untuk perempuan. Meskipun telah mengalami perubahan dan kemajuan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ketimpangan atau ketidakadilan gender masih saja ada dalam pembangunan di masa kini, seperti masih minimnya akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat perempuan dalam pembangunan.

Perubahan perspektif dari pemerintah mengenai gender tidak luput dari perjuangan gender yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang fokus terhadap isu gender, atau bisa dinamakan dengan kelompok feminis. Gerakan-gerakan massif dilakukan, dengan selogan yang mengerikan, yaitu "hidup perempuan yang melawan". Gerakan keperempuanan dilakukan untuk mendobrak sistem yang patriarkhis dan ingin untuk melakukan dekontruksi dan kemudian re-konstruksi ideologi gender yang selama ini melenceng jauh dari keadilan. Sasaran dalam gerakan ini adalah kepada penguasa, selaku pemangku kebijakan, mendorongnya untuk mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap perempuan, tidak mendiskreditkan perempuan dan menuntut keadilan gender dalam setiap kebijakannya. Tidak hanya pada penguasa atau pemerintah, tapi gerakan ini juga menyasar pada masyarakat yang masih cenderung konservatif terhadap isu gender karena masih dipengaruhi oleh nilai patriarkhi.

Gerakan-gerakan tersebut dapat kita analisa dengan menggunakan teori konflik. Teori konflik menyatakan bahwa masyarakat senantiasa dinamis (dalam keadaan berubah) yang ditandai adanya pertentangan yang terus menerus. Gerakan feminis melahirkan pertentangan antaranya dengan pemerintah atau pemangku kebijakan pembangunan, hal ini dapat disebut sebagai konflik vertikal. Sedangkan pertentangan antar masyarakat merupakan jenis konflik horizontal. Pertentangan-pertentangan inilah yang mampu memicu perubahan, sebagaimana contoh di atas seperti mempengaruhi kebijakan pembangunan dengan perspektif gender, dari GAD (Gender and Development) menuju GID (Gender in Development). Dari konflik inilah perempuan berharap memiliki wewenang dan posisi yang setara atau adil dengan laki-laki supaya dapat menciptakan keadilan gender.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun