Covid-19 atau yang biasa dikenal dengan Virus Corona, tak henti-hentinya virus satu ini menghantui dunia. Virus ini menunjukkan eksistensinya pertama kali di Wuhan, salah satu kota besar di Tiongkok di akhir tahun 2019. Persebarannya yang massif dan secara radikal menyerang manusia satu ke manusia lain, merenggut ribuan bahkan jutaan nyawa. Hingga saat ini pandemi covid-19 masih menjadi masalah besar bagi bangsa kita, juga bangsa di berbagai belahan dunia lainnya. Â
Covid-19 ternyata tidak hanya masalah kesehatan, tapi juga berbagai sektor kehidupan lainnya. Berbagai sektor kehidupan terdampak akibat covid-19. Sektor ekonomi juga dibuat tersendat oleh virus ini. Aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) terhambat, banyak perusahaan yang terpaksa diliburkan, kasus PHK merajalela, dan pengangguran dimana-mana, sehingga kemiskinan dan kelaparan di depan mata. Selain sektor kesehatan dan ekonomi, terdapat sektor-sektor kehidupan lainnya yang terdampak covid-19, seperti sektor politik, sosial- budaya, pendidikan dan lainnya.
Sosial-budaya menarik penulis untuk lebih diperhatikan. Tidak dapat dipungkiri, manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup secara individual, dan selalu hidup secara komunal, selalu membutuhkan individu lain untuk bersosialisasi dan pemenuhan kebutuhan. Akibat adanya covid-19, kehidupan sosial terpengaruh, seperti tingkat interaksi, sosialisasi secara langsung berkurang dan mobilitas sosial juga terhambat, dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, muncul virus yang tak kalah mengerikan dari covid-19. Virus tersebut adalah virus sosial, Â yang mulai merebak, merusak tatanan sosial di masyarakat. Adapun virus-virus sosial tersebut antara lain:
Paranoid sosial
Paranoid dalam ilmu psikologi adalah suatu gangguan mental yang menyakini bahwa orang lain sebagai sebuah ancaman dan membahayakan dirinya, sehingga bertindak dengan penuh ketakutan, kehati-hatian, curiga, tidak percaya, dan cenderung mensegregasikan dirinya dengan orang lain. Keadaan ini, bisa mengakibatkan stres dan phobia untuk berinteraksi dengan sesama. Menganggap orang lain sebagai ancaman yang membahayakan keselamatan.
Dalam konteks sosial di tengah wabah covid-19, individu mengalami keadaan yang penuh ketakutan, kehati-hatian, saling mencurgiai terhadap individu di masyarakat yang dianggap sebagai pembawa atau carrier virus corona atau covid-19. Paranoid ini dapat menjadikan masyarakat terkotak-kotak, terpecah belah dan hilangnya keintiman dalam berinteraksi dan pecahnya keharmonisan hubungan. Terkadang tindakan yang dilakukan masyarakat irrasional, seperti jika terdapat individu yang bersin-bersin, maupun batuk-batuk, maka mereka beranggapan bahwa ia pembawa virus dan sudah terpapar covid-19. Padahal telah kita diketahui, bahwa pembuktian positif/negatif covid-19 harus melewati tes, uji laboratorium (swap, antigen, pcr), bukan dengan melihat secara kasat mata gejala-gejala yang mirip covid-19.
Memang interaksi, kontak secara langsung di era pandemi merupakan suatu larangan, sebagaimana himbauan yang diberikan pemerintah mengenai physical distancing. Himbauan tersebut melarang untuk tidak berkerumun dengan orang banyak, tidak melakukan kontak fisik, dan menjaga jarak dengan orang lain. Dalam realita, atas dasar ketidakpahaman masyarakat dan mungkin kurangnya edukasi, sosialisasi yang diberikan, justru melahirkan masalah baru berupa ketakutan yang berlebihan terhadap individu lain (paranoid), apalagi kepada keluarga yang salah satu anggota keluarga terpapar covid-19. Padahal belum tentu satu keluarga tersebut terpapar semua, bisa saja hanya salah satu anggota keluarga. Memang pantas kiranya berhati-hati agar tidak tertular virus corona, tapi kehati-hatian tersebut harus didasari objektivitas dan rasionalitas.
Stigma Sosial
Stigma sosial juga hadir memperkeruh suasana, tidak menyelesaikan permasalahan, dan kontra produktif dalam upaya penanganan covid-19. Stigma atau pandangan negative yang dilekatkan pada individu atau kelompok, hadir di tengah masyarakat pada situasi wabah covid-19. Hal ini mengakibatkan adanya penolakan individu atau kelompok oleh masyarakat. Begitu ironis, di tengah wabah menghantui, masyarakat malah terpecah belah, menolak satu dengan yang lain, dan diskriminasi dimana-mana.
Kasus penolakan jenazah merupakan hal yang sangat menyedihkan. Hal itu merupakan contoh nyata karena stigma yang telah merebak di masyarakat, sebab kurangnya informasi, edukasi tentang covid-19 yang masih asing di telinga masyarakat. Adapun kasus lain, seperti penolakan tenaga medis yang bertugas menangani pasien Covid-19, pasien yang dikarantina dan lain sebagainya. Penolakan terhadap pihak-pihak tertentu oleh masyarakat bukan lah budaya bangsa yang dikenal luhur ini. Menganggap stigmatisasi ini adalah sebuah proteksi, tapi hal ini merupakan tindakan irrasional dan over proteksi.
Stigma negatif covid-19 telah mengobrak-abrik sistem sosial di masyarakat. Dimana tidak ada lagi integrasi, maraknya marginalisasi kelompok tertentu, dan banyaknya kasus diskriminasi. Keadaan semacam ini sangat mengancam kedaulatan bangsa, kontra produktif terhadap penanganan wabah covid-19 yang sedang bergejolak. Bahkan dikatakan bahwa, akibat stigma terhadap pasien covid-19 justru menjadikan psikologis pasien drop dan imune tubuh menurun, sehingga kesembuhan pun sulit dicapai dan malahan memperparah keadaan.
Anomi sosial
Di tengah covid-19 yang terus menyerbu dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan, tak terkecuali perekonomian. Hampir semua golongan perekonomiannya terganggu, terlebih golongan menengah ke bawah karena pandemi virus ini. Banyak pengangguran yang bermunculan akibat PHK, karena perusahaan-perusahaan tidak beroperasi. Akibat daripada itu, terjadi kejumudan, kemandekan, dan kebingunggan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat menengah kebawah, terlebih pekerja yang di PHK sehingga menjadi pengangguran, dapat memicu tindakan kriminal untuk pemenuhan kebutuhan, seperti penjarahan, pencurian, pencopetan, pembegalan, dan perampokan. Tindakan ini tidak mengindahkan norma yang berlaku, tetapi dengan situasi terdesak, apapun dilakukannya, itulah yang dinamakan fenomena anomi sosial. Fenomena anomi sering muncul di perkotaan pada situasi genting. Bahkan diketahui, tingkat kriminalitas di Jakarta meningkat sepuluh persen selama pandemi virus corona (covid-19).
Peningkatan tingkat kriminalitas yang didasarkan karena sulitnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi telah mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Tidak lagi mempedulikan, mengindahkan nilai dan norma di masyarakat, menjadikan ke-equilibrium-an sosial terguncang. Keadaan serba sulit dan ketidakpastian di era pandemi covid-19 menjadikan tindakan yang semestinya irrasional, dan jauh dari kata normal menjadi tindakan yang rasional atas dasar untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Pandemi Covid-19 tidak hanya menjadi masalah kesehatan, tapi juga memberikan dampak pada masalah kehidupan lain secara massif. Selain kita terfokus pada pemutusan mata rantai virus corona, alangkah baiknya kita juga menaruh perhatian pada virus-virus sosial yang tak kalah radikal dan menggerikan daripada virus corona (Covid-19). Perlu adanya kedewasaan pada masyarakat dengan menghilangkan sikap individual, mengesampingkan sikap soliter dan mengutamakan sikap solider, mari bersatu dengan tak mempedulikan perbedaan suku, agama, ras, golongan, kelompok politik dan sebagainya, jangan sampai terkecoh lagi dengan strategi  "devide et impera" akibat virus corona. Tak lupa, edukasi, sosialisasi tetap harus gencar dilakukan oleh semua elemen bangsa, tentunya dengan edukasi dan sosialisasi yang tepat. Kita, Indonesia, pasti bisa keluar dari permasalahan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H