Fenomena Sekunder
Tak kurang Presiden SBY dan Ketua KPK Abraham Samad, dalam seminar ‘Pekan Politik Kebangsaan’ beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa permasalahan bangsa, termasuk korupsi, adalah sebuah fenomena sekunder, karena ada prakondisi atau sistem yang menyebabkannya. Karena korupsi, atau permasalahan bangsa lainnya, adalah sebuah fenomena sekunder maka secara praktis tidak mungkin dapat dicari mekanisme yang efektif untuk membatasinya.
Saya mempunyai cerita lain menyangkut masalah hak di negeri ini. Ceritanya, di tahun 2000-an, keluarga kami membeli beberapa bidang tanah di Kabupaten Bogor untuk kemudian ada yang dibangun rumah dan sebagian lagi kami tanami pohon-pohon jati. Tanah-tanah tersebut mempunyai riwayat kepemilikan yang jelas, bebas sengketa, memperoleh gambar tanah dari BPN, sebagian bersertifikat hak milik, ditagih dan dibayar PBB-nya hingga tahun 2013, dsb. Pada tengah tahun 2013, kami berencana menjual tanah-tanah tersebut dan mendapatkan kenyataan bahwa semenjak tahun 2009 daerah tempat tanah kami berada sudah menjadi tanah milik negara. Dan juga, kami tidak bisa memanen pohon-pohon yang kami tanam. Jadi, jerih payah kami dalam memiliki dan menikmati tanah yang kami perjuangkan secara sah dipungkiri negara, maka itu sama dengan menyangkal hak hidup kami, atau sama dengan menurunkan harkat dan martabat manusia. Ini adalah kali ketiga kami mengalami hal semacam ini di tiga lokasi berbeda di Indonesia.
Mencari Hak
Pertama-tama, pertanyaan yang timbul adalah mengenai “hak-hak warganegara”. Kami beradu frontal dengan konsep ini. Kami merasakan bahwa negara/Departemen Kehutanan/Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah melanggar “hak-hak” kami dengan merubah kepemilikan tanah-tanah tersebut. Hal ini masuk akal apabila kita menyetujui fakta bahwa “hak-hak” manusia berdiri mandiri di atas kami dan negara. Tetapi, di sini kami belajar bahwa “hak-hak” hanyalah semacam ijin-ijin yang diberikan kepada perorangan oleh negara. Kalau-kalau anda ingin tahu dari mana negara memperoleh “hak-hak” yang ia berikan, atau ia tarik, maka jawabannya adalah “hak-hak” ini sepertinya dititipkan kepada negara oleh warganya dan bisa digunakan sesuai kebutuhannya. Sekarang, lupakan masalah saya, pertanyaan yang lebih penting dan mendasar adalah dari mana asal-muasal “hak-hak” manusia?
Undang-Undang Dasar kita disusun berasaskan negara kekeluargaan, atau menganut paham integralistik dalam kehidupan ketatanegaraan. Negara dianalogikan sebagai sebuah keluarga dan pemerintah lahir dari organisasi keluarga ini.Tetapi, kalau kita mencari bukti sejarah tentang hubungan sebab akibat keterkaitan kedua institusi ini, yang kita dapati hanya sebuah hipotesa yang belum dibuktikan kebenarannya, hanya bersandar pada asumsi bahwa ada kemiripan antara kekuasaan orangtua dengan kekuasaan Pemerintah. Hipotesa ini gugur dengan sendirinya apabila kita memasukkan pertimbangan faktor biologis dalam kekuasaan orangtua. Seorang anak memandang kepada orangtuanya untuk memperoleh bimbingan hanya karena ketidakmampuan dan kebimbangan seorang anak, dan mencari atau menerima kekuasaan sebagai sebuah kebutuhan. Pemerintah tidak punya dan tidak bisa menuntut hal yang sama pada warganya, tidak juga bisa menuntut kesetiaan yang sama seperti kasih sayang seorang anak. Lagipula, hubungan bapak dan anak berubah karakternya ketika si anak menjadi dewasa dan mencapai kemandirian, sebuah hubungan dimana kekuasaan seorang bapak lambat-laun berkurang dan akhirnya menghilang. Sedangkan, kesetiaan warga negara terhadap pemerintah tidak berhubungan dengan usia dan kemandirian warganya.
Kembali ke pertanyaan asal-muasal hak-hak manusia. Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa hak-hak manusia adalah pemberian Tuhan, sementara sebagian orang menyatakan bahwa hak-hak adalah pemberian masyarakat dan ada pula yang menyatakan bahwa hak-hak secara alami melekat pada manusia semenjak ia lahir.
“Hak” adalah sebuah konsep moral. Konsep yang menyediakan transisi logis dari prinsip-prinsip yang memandu tindakan seseorang menjadi prinsip-prinsip yang memandu hubungannya dengan orang-orang lain. Konsep yang menaungi dan melindungi moralitas seseorang di dalam konteks sosial, yang mengaitkan antara kode moral seseorang dengan kode legal masyarakat, antara etika dan politik. Hak seseorang adalah cara menundukkan masyarakat dibawah hukum moral.
Etatisme
Hegel menyatakan bahwa negara adalah unsur utama dimana warganya hanyalah pelengkap saja. Mengamati bahwa setiap pengelompokan manusia dalam sejarah hadir semacam institusi politik, maka ia berkeyakinan bahwa tangan Tuhan mempunyai peran dalam urusan manusia, dan berkesimpulan bahwa organisasi politik/negara memperoleh kewenangan dari Tuhan. Silogisme untuk mendukung asumsi ini adalah: Tuhan menciptakan manusia, manusia menciptakan negara, maka dari itu Tuhan menciptakan negara. Negara mewakili yang maha kuasa. Oleh karenanya moralitas adalah kode yang hanya bisa diterapkan pada seorang manusia, tidak pada masyarakat (diwakili negara). Masyarakat diletakkan di luar hukum moral, karena perwujudannya atau penafsirannya dilakukan melalui penanaman di diri seseorang bahwa pengabdian terhadap kepentingan umum adalah tujuan keberadaan manusia di dunia.
Inilah yang diperkenalkan Hegel, yaitu Etatisme dimana negara diberi tugas untuk memandu dan menjadi wali atas warganya. Tujuannya adalah untuk membatasi kemerdekaan seseorang dalam bertindak. Segala inisiatif dan upaya membentuk masa depan warganya ada pada pemerintah saja.
Individualisme melawan Kolektivisme
Ada sebagian kaum nonconformist yang tidak setuju dengan anggapan Hegel bahwa negara adalah inkarnasi dari gagasan tuhan di muka bumi. Mereka berkeyakinan bahwa hanya manusia saja yang merupakan rupa dari tuhan, oleh karena itu negara adalah berhala palsu. Lagipula tidak ada wujud yang dinamakan “masyarakat,” karena masyarakat hanya sebuah perkumpulan orang per orang, hingga pada prakteknya penguasa masyarakat bebas dari hukum moral, hanya tunduk pada adat istiadat, mereka memegang penuh kekuasaan dan menuntut kepatuhan buta melalui prinsip yang tersirat bahwa “apa yang baik adalah yang baik untuk masyarakat, vox populi vox dei, titah penguasa adalah suara di bumi, dsb.”
Tidak demikian menurut Individualisme. Mari mengenal tiga lawan berat Hegel. Yaitu, Rousseau dengan doktrin pemerintah memperoleh mandatnya dari yang diperintah, Voltaire dengan kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan Locke dengan doktrin hak yang melekat pada manusia. Pada dasarnya hak-hak seorang manusia adalah sebagai perpanjangan kehadiran moralitas ke dalam sistem sosial, sebagai pembatas kekuasaan negara, sebagai perlindungan terhadap kebengisan kekuatan kolektif, sebagai penundukan keperkasaan di bawah kebenaran.
Jika dalam sistem kolektivisme seseorang dikorbankan untuk tujuan orang-orang lain, dan masyarakat adalah tujuan akhirnya. Maka dari itu, hidup seorang manusia adalah kepunyaan masyarakat dan masyarakat dapat mengaturnya untuk kepuasan masyarakat. Kemerdekaan yang dinikmati seseorang hanya ia peroleh melalui restu, melalui ijin masyarakat, yang bisa dibatalkan kapan saja.
Pada individualisme tujuan akhir seseorang adalah dirinya sendiri. Masyarakat adalah sebagai alat kesentosaan, ketentraman, untuk hidup berdampingan secara sukarela menghormati perbedaan setiap manusia. Hidup manusia adalah hak pribadinya, dalam artian prinsip moral dan alamiah, bahwa hak adalah miliknya pribadi, oleh karenanya masyarakat tidak memiliki hak sama sekali, dan bahwasanya tujuan moral pemerintah hanya melindungi hak-hak perseorangan.
Fitrah Hak
Hak adalah sebuah prinsip moral yang memberi batas dan sangsi atas kemerdekaan seseorang bertindak dalam konteks bermasyarakat. Hanya ada satu hak pokok (asasi) yaitu hak seseorang atas kehidupannya, hak-hak lainnya adalah konsekuensi atau cabang dari hak ini. Hidup adalah sebuah proses tindakan yang menghasilkan sesuatu untuk menopang diri. Hak atas kehidupan artinya seseorang mempunyai hak untuk melakukan tindakan-tindakan untuk menopang hidupnya dengan usahanya sendiri. Artinya, kemerdekaan untuk mengambil segala tindakan yang dibutuhkan dengan menggunakan akal sehatnya untuk mendukung, memajukan, memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan kehidupan dirinya.
Konsep sebuah “hak” hanya berhubungan dengan tindakan, khususnya kebebasan seseorang untuk bertindak. Artinya kebebasannya dari tekanan, atau paksaan fisik, atau gangguan campur tangan pihak lain. Jadi, untuk setiap orang, sebuah hak adalah sebuah sangsi moral yang positif atas kebebasannya bertindak didasarkan pada penilaiannya sendiri, untuk tujuan-tujuannya sendiri, secara sukarela memilih pilihannya tanpa paksaan. Sedangkan untuk orang lain tidak ada keharusan memenuhi hak-hak seseorang selain penerapan sangsi moral yang negatif, yaitu untuk berpantang melanggar hak-hak seseorang.
Filosofi Politik Negara
Hegel memperkenalkan filosofi Etatisme. Sementara di lain sisi, seorang pemikir yang berseberangan dengan Hegel, yaitu John Locke menggunakan hipotesa “keadaan alamiah” manusia yang membenarkan filosofi Liberalisme para pendahulunya. Singkatnya adalah, Hak atas Kehidupan adalah sumber dari segala hak-hak lainnya, dan implementasi satu-satunya adalah hak atas kepemilikan atau hak milik. Tanpa hak milik, hak-hak lainnya tidak mungkin dilaksanakan. Karena manusia harus mempertahankan hidupnya dengan usahanya sendiri, seseorang yang tidak mempunyai hak atas hasil usahanya tidak dapat mempertahankan hidupnya. Seseorang yang menghasilkan tetapi orang lain yang menikmati hasilnya, adalah seorang budak.
Perlu dicamkan bahwa hak atas kepemilikan (atau singkatnya hak milik), seperti hak lainnya, bukanlah hak atas suatu benda, tetapi berkaitan dengan tindakan dan konsekuensi atas keberhasilan menghasilkan atau memperoleh benda itu. Hak milik bukanlah jaminan bahwa seseorang akan memperoleh suatu kepemilikan, tetapi hanya sebuah jaminan bahwa seseorang akan memilikinya apabila ia patut mendapatkannya.Ini adalah sebuah hak untuk memperoleh, untuk menyimpan, untuk menggunakan dan untuk menghabiskan nilai-nilai materiilnya.
Melanggar hak-hak seseorang artinya memaksa seseorang untuk bertindak melawan itikad dirinya sendiri, atau merampas nilai-nilai yang ada pada dirinya. Pada dasarnya, hanya ada satu cara untuk melakukannya, yaitu melalui cara menggunakan kekuatan fisik. Ada dua potensi pelanggar atas hak-hak manusia, yaitu penjahat (kriminal) dan pemerintah. Oleh karenanya diciptakan garis pembeda antara keduanya, yaitu dengan melarang pemerintah melakukan versi legal kegiatan-kegiatan penjahat. Pengaturan ini menyediakan satu-satunya pembenaran yang sah atas keberadaan pemerintah dan mendefinisikan sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu melindungi hak-hak manusia dengan melindunginya dari kekerasan fisik.
Oleh sebab itu fungsi pemerintah dirubah dari peran penguasa menjadi peran pelayan. Pemerintah diciptakan untuk melindungi seorang manusia dari penjahat-penjahat, dan Konstitusi ditulis untuk melindungi seorang manusia dari Pemerintahnya. Hak dalam Undang-Undang Dasar adalah deklarasi secara eksplisit bahwa hak-hak perorangan mengalahkan kekuatan sosial apapun. Bahwa, masyarakat madani adalah masyarakat dimana kekuatan fisik dalam interaksi manusia dilarang, dimana pemerintah bertindak sebagai polisi hanya boleh menggunakan kekerasan sebagai unsur pembalasan dan hanya kepada mereka yang memprakarsainya.
Malahan, John Locke menekankan bahwa tujuan utama negara adalah melindungi hak milik, dan kemudian ia menegaskan bahwa apabila negara menyimpang dari kewajiban ini, maka secara moral adalah benar bagi masyarakat untuk menggantinya, walau dengan kekerasan/revolusi sekalipun, dengan yang lain.
Kontradiksi dalam UUD 45
Etika altruis-kolektif adalah nurani konstitusi kita. Altruisme bertentangan dengan kebebasan, kapitalisme, dan hak-hak perseorangan. Seseorang tidak bisa mengejar kebahagiaan hidupnya di dunia dengan status moral dapat dikorbankan kapan saja untuk kepentingan-kepentingan orang-orang lain. Tetapi, hak-hak ini dipaksakan ada dalam konstitusi kita, baik sebelum dan terlebih sesudah amandemen-amandemen UUD 45.
Integrasi Akhirnya Dipraktekkan
Pada masa sebelum reformasi, watak negara dipersonifikasikan sebagai mahluk yang harus dipandang, tetapi keberadaannya benar-benar di luar masyarakat. Seseorang mencoba untuk berhubungan dengan negara sebaik mungkin, ditakuti atau dikagumi, berharap dirangkul negara dan memperoleh keistimewaan-keistimewaan yang diberikannya, atau sebaliknya menjaga jarak dengannya sebagai sesuatu yang tak tersentuh. Tidak ada yang beranggapan bahwa negara adalah bagian integral dari masyarakat. Setiap orang harus mendukung negara dan mentoleransi intervensi negara sebagai intervensi negara, bukan kerangka kehidupan manusia. Posisi negara berada di atas, dan terpisah, dari masyarakat.
Sesudah reformasi dan amandemen-amandemen UUD 45 wataknya berubah dengan melikuidasi setiap perbedaan antara negara dan masyarakat, baik secara konsep maupun secara institusi. Negara adalah masyarakat. Tata sosial menjadi perpanjangan tangan partai-partai politik, menggantungkan kepadanya kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, komunikasi dan segala sesuatu di bawah bab hak asasi manusia. Teori ilmu politik dan ilmu ekonomi sudah terintegrasi dengan lengkap di sini. Banyak pihak yang mengatakan bahwa paham Liberalisme sudah masuk dalam konstitusi kita, yang menunjukkan bahwa mereka kurang cermat melihat bahwa kecenderungan untuk meminta negara untuk menyelesaikan segala masalah dalam hidup adalah sama dengan menanggalkan doktrin hak asasi manusia, yang mana kaitannya hanya dengan manusia yang independen atau mandiri saja. Sedangkan, kita sudah menerima negara sebagai realitas dari masyarakat, inilah integrasi sesungguhnya yang sudah tercipta nyata, sudah bukan sekedar teori saja.
Hak-Hak yang Digelembungkan
Dikatakan bahwa, apabila Konstitusi sebuah negara meletakkan pasal-pasal hak asasi manusia di luar jangkauan otoritas publik, kegiatan-kegiatan kekuatan politik menjadi sangat terbatas, maka warga negara akan dengan tertib dan aman tunduk terhadap keputusan-keputusan suara mayoritas dalam lingkungan yang jelas batasan-batasannya. Hak kehidupan dan kepemilikan kaum minoritas atau para disiden tidak dalam pertaruhan, tidak dalam persetujuan dan tidak dalam bahaya oleh keputusan apapun dari suara mayoritas. Tidak seorangpun atau satu kelompok pun yang memegang cek kosong kekuasaan atas orang-orang lain.
Kenyataannya adalah otoritas publik kita ikut cawe-cawe di pasal-pasal hak asasi dalam konstitusi kita. Kemudian, kemerdekaan ini dibuat seperti hadiah dari pemerintah untuk ditukar dengan kepatuhan kepada penguasa-penguasa publik. Ada 2 cara untuk mencapai tujuan ini, yaitu pertama dengan mengalihkan konsep “hak” dari ranah politik ke ranah ekonomi. Sebab, penguasa suatu negara tidak berani secara terbuka melakukan penyitaan nilai-nilai materiil maupun moral warganya. Hal ini harus dilakukan dengan melakukan proses korupsi dari dalam sistem. Kadangkala, suatu negara merampas kekayaan negeri dengan cara memperbanyak jumlah uang yang beredar, atau dikenal dengan sebutan inflasi mata uang. Sekarang, kita juga bisa menyaksikan proses inflasi diterapkan pada bidang hak-hak warga negara. Prosesnya memerlukan pemaklumatan “hak-hak” baru yang mana masyarakat tidak memperhatikan kenyataan bahwa arti dari konsep sesungguhnya telah diputarbalikkan. Hak-hak baru ini telah menghilangkan nilai asli hak-hak ini.
Cara kedua dicapai dengan permainan semantik yang apik. Kuncinya terletak pada kata “demokrasi”. Kalau kita mencari definisi kata ini, kita mendapati bahwa ia bukanlah suatu bentuk pemerintahan, tetapi pemerintahan berdasarkan “perilaku sosial,” yaitu apa yang dianggap benar oleh 51% masyarakat adalah benar, dan minoritas dipaksa salah. Ini adalah “Kehendak Negara” dengan nama baru. Tidak ada tempat untuk hak asasi manusia dalam konsep ini, satu-satunya hak yang ada untuk minoritas, terutama minoritas satu orang, adalah mengikuti perilaku sosial yang dominan. Etatisme, atau pemujaan kekuatan politik, kembali bergeliat dengan alat yang digunakan adalah negara.
Pengaburan Konsep Hak
Tidak ada yang namanya Hak Ekonomi, semua hak dalam sebuah konstitusi adalah politis. Hak bekerja, hak sejahtera, bertempat tinggal, dan lainnya, bahkan pasal 33 yang menyangkut ekonomi seharusnya adalah politis. Pekerjaan, sandang, pangan, rekreasi, perawatan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya semua membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya. Semua ini adalah nilai-nilai barang atau jasa yang diproduksi manusia. Bila sebagian orang mempunyai hak atas produk (barang atau jasa) dari jerih payah orang lain, maka orang lain itu telah dirampas haknya dan dikutuk menjadi pekerja paksa.
Ada beberapa pasal dalam UUD 45/Amandemen yang bisa diterjemahkan sebagai “hak ekonomi” (yang sebenarnya tidak pernah ada yang dinamakan hak ekonomi). Pertanyaannya: Siapa yang akan menyediakannya? Sebelumnya, mari kita sedikit melantur untuk sekedar membedakan antara penghasilan seorang warga negara dan penghasilan negara. Penghasilan warga negara didukung oleh produksi atau kemampuan produktivitas dirinya. Sedangkan, penghasilan negara didukung oleh kekuatan politik untuk mengambil bagian dari penghasilan setiap warga negara. Singkat saja, apa yang diberikan negara kepada satu kelompok warganya adalah pengorbanan warga negara lainnya. Kita kembali ke topik semula.
Kesalahan menjiplak
Mari kita ambil satu contoh saja dari pasal-pasal yang rancu, kita ambil satu ayat yang bunyinya: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Bermodalkan diktum Hegel tentang negara, UUD 45 tidak punya persediaan moral untuk diberikan kepada warga negara perorangan. Jadi terpaksa meminjam prinsip-prinsip di Bab Hak Asasi Manusia (yang di dalamnya terdapat ayat ini) dari paham Liberalisme. Tetapi dalam paham Liberalisme seharusnya ayat ini berbunyi bahwa setiap orang berhak ikut serta dalam perdagangan/pasar bebas. Biarpun terdengarnya seperti berhubungan dengan ekonomi, tetapi sesungguhnya ini adalah hak politik seseorang dalam kegiatan ekonomi. Kelihatannya kita takut menggunakan kata “pasar bebas” dalam konstitusi kita, tetapi akibatnya ayat tersebut menjadi bukan sebuah hak asasi, bahkan sama sekali bukan sebuah hak. Mengapa?
Tidak ada yang namanya hak untuk bekerja ataupun hak untuk suatu pekerjaan. Seseorang bisa bekerja apabila ada orang lain yang mau memperkerjakan dirinya. Kalau tidak ada yang mau memperkerjakan dirinya, dia mau klaim hak untuk bekerjanya ke mana? Yang ada adalah, dia diberi hak untuk mencari lowongan pekerjaan di pasar tenaga kerja. Oleh karena itu haknya adalah untuk ikut serta dalam perdagangan/pasar bebas. Dan, hak ini juga tidak berlaku untuk lanjutan kalimatnya yaitu”… mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” apabila tidak ada majikan yang mau membayar atau memperkerjakannya. Ayat ini sama seperti memberikan hak membeli kue lapis kepada konsumen, tetapi tidak ada produsen kue yang mau membuat kue lapis, lalu, hak ini untuk apa? Ini menjadi permasalahan untuk seseorang yang ingin menggunakan haknya.
Prinsip-prinsip Hak
Setiap orang harus sukarela dalam menggunakan haknya. Tidak ada satu hak pun yang dibolehkan menggunakan paksaan, pelanggaran hak-hak orang lain bukan dan tidak bisa disebut hak. Tidak seorangpun bisa mempunyai hak untuk memaksa orang lain untuk melakukan tanggung jawab yang bukan pilihannya, tugas tanpa imbalan, pengabdian yang bukan kemauannya. Tidak ada yang disebut “hak perbudakan.”
Sebuah hak tidak termasuk di dalamnya implementasi materiil dari hak tersebut oleh orang lain. Dalam sebuah hak hanya terdapat kemerdekaan untuk mendapatkan implementasi atas jerih payah atau usahanya sendiri. Karenanya, tidak ada yang namanya “hak ekonomi” karena mengharuskan adanya pengorbanan orang lain untuk mendapatkannya.
Dalam konteks ini, contoh yang paling bagus adalah ungkapan “the right to the pursuit of happiness” dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Hak untuk mengejar Kebahagiaan, bukan hak atas kebahagiaan. Artinya, seseorang mempunyai hak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dia anggap perlu untuk mencapai kebahagiaan dirinya. Bukan orang lain yang harus membuat ia bahagia.
Jadi, hak untuk hidup berarti seseorang mempunyai hak untuk menyokong hidupnya dengan usahanya, bukan berarti orang lain harus menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Hak milik berarti seseorang mempunyai hak untuk mengambil tindakan-tindakan ekonomi untuk memperoleh kepemilikan, bukan berarti orang lain menyediakan kepemilikan untuknya. Hak mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan berarti seseorang mempunyai hak untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tanpa bahaya tekanan, gangguan campur tangan atau tindakan hukum oleh pemerintah, bukan berarti orang-orang lain harus menyediakan sarana media untuk untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya, dan sebagainya. Khusus untuk memperjuangkan hak secara kolektif diperlukan persetujuan secara sukarela dari setiap peserta. Setiap peserta mempunyai hak untuk membuat keputusannya sendiri, tetapi tidak satupun dapat memaksa keputusannya terhadap yang lainnya.
Akhirnya Sampai ke Penutup Juga
Ada pasal-pasal yang menggunakan bahasa sangat umum, ada yang sangat spesifik, dan ada yang tidak jelas filosofi politiknya. Apakah pemerintah bisa memaksa perusahaan menjual produknya dengan harga yang ditetapkan pemerintah? Atau, apakah tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan kesanggupan seseorang untuk belajar atau mempersiapkan seseorang tempat di masyarakat? Atau, lainnya. Demikian keadaan permasalahan hak-hak pada konstitusi kita. Hak-hak politik ditantang oleh hak-hak ekonomi. Hak yang satu meniadakan hak lainnya. Sesungguhnya tidak ada Hak Ekonomi, Hak Kepentingan Masyarakat, Hak Kolektif. Hanya ada satu definisi hak, dan itu milik perseorangan.
Dalam konteks yang lebih besar, kerancuan ini menyebabkan batasan-batasan negara dan warganya tidak jelas. Kekurangan sempuranaan ini menyebabkan rejim tertentu, atau aparat-aparatnya, selalu dalam celaan atau kritikan, tetapi tidak pernah mencari kecacatan pada konstitusi negara. Secara kesepakatan umum, negara dianggap baik saja dan akan bekerja dengan baik apabila orang yang “tepat” ada di pucuk pimpinan. Tidak pernah terpikirkan dari para kritikus pemerintahan bahwa kekurangan-kekurangannya ada yang melekat pada negara di bawah pimpinan siapa saja. Atau sebaliknya, bisa memunculkan seorang pemimpin dan aparatur negara yang korup dan atau manipulatif untuk memperoleh kekuasaan yang besar. Tetapi, diskusi masalah ini hampir tidak pernah terjadi, karena salah-salah bisa dicap “tidak setia kepada NKRI”. Begitu kira-kira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H