Mohon tunggu...
Hakim Maulani
Hakim Maulani Mohon Tunggu... wiraswasta -

Give a man a fish, you will feed him for a day. Give a man a gun, others will feed him for a lifetime.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pajak Penghasilan (PPh) Melanggar UUD 45?

17 Oktober 2014   16:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:40 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segera setelah Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai presiden, tentu saja agenda pertama menjalankan negara adalah perpajakan, alasannya sederhana saja tanpa pajak tidak akan ada negara. Tetapi, kali ini alasannya lebih dari itu karena Jokowi ketiban ekonomi yang “pertumbuhannya dipompa inflasi” yang menyebabkan pungutan pajak penghasilan (PPh) secara khusus menjadi sangat penting.

Kalau kita mendengar dari media arus utama dan juga penjelasan pemerintah bahwa pajak penghasilan adalah untuk menegakkan keadilan, dan kita membayar pajak penghasilan untuk menciptakan masyarakat madani, maka sebenarnya ini lebih berbau propaganda daripada alasan-alasan sesungguhnya. Dalam keadaan ekonomi dan politik saat ini ada 4 alasan pentingnya pajak penghasilan atau PPh bagi pemerintah. Dua alasan pertama menyangkut sistem keuangan kita. Pertama, pajak penghasilan bertindak sebagai bagian pencegah atas inflasi yang disebabkan pencetakan uang dan ekspansi kredit yang berlebihan dengan dipajak balik sehingga menyedot kelebihan likuiditas dalam sistem. Dan kedua adalah Direktorat Pajak berperan, melalui pajak penghasilan, sebagai badan penagih bunga utang atas utang yang diciptakan oleh sistem keuangan kita (SUN, devisa, dsb.). Ini adalah bentuk jaminan kepada pemegang Surat Utang Negara bahwa bunga utangnya akan dibayar. Kebanyakan uang kita yang beredar hanya di sokong oleh Surat Utang Negara. Dua alasan lainnya adalah alasan politis.

Situasi ekonomi dibayangi inflasi yang tinggi, kepercayaan yang lemah dan kebutuhan menjalankan program-program pemerintahan yang baru maka tugas berat Direktorat Jenderal pajak adalah menggenjot penerimaan pajak terutama pajak penghasilan. Alasan terakhir yang membuat Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menyarankan agar pemerintahan Jokowi merealisasikan keterbukaan akses nasabah perbankan. Dalam hal ini, Fuad mengemukakan negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Malaysia sudah berani melakukannya. "Negara lain sudah buka. AS negara yang super kapitalis saja boleh membuka rekening bank, kenapa kita nggak berani? Kenapa Malaysia berani, kita kok tidak berani?" ucapnya.

Mumpung Direktur Jenderal Pajak membandingkan sistem PPh kita dengan Amerika Serikat, sekalian saja saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai landasan konstitusi Pajak Penghasilan (income tax) antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Kebetulan kita telah mencontek prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dari paham Liberal yang dimasukkan ke dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).

Di bulan Agustus tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan perubahan kedua UUD 45 dengan penambahan pasal-pasal HAM. Salah satunya adalah pasal 28H ayat 4 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Secara filosofi pasal ini telah membuat pemungutan pajak penghasilan (PPh) tidak sah sejak saat itu,

Landasan konstitusi menyangkut pajak baru lahir di bulan November 2001 yaitu saat perubahan ketiga UUD 45 dengan menambah pasal 23A yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Tidak disebutkan pajak penghasilan secara khusus di situ. Sedangkan, Konstitusi Amerika dalam Amandemen ke-16 secara khusus disebutkan “income tax atau pajak penghasilan.” Hal ini penting karena secara prinsip pajak penghasilan berbeda dari pajak-pajak lainnya oleh sebab pajak penghasilan menyiratkan pengingkaran hak kepemilikan pribadi. Dengan tidak menyebutnya, maka hanya pajak-pajak selain PPh yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H UUD 45.

Menyangkut keterbukaan akses nasabah perbankan oleh Direktorat Jenderal Pajak ada dua alasan politis terkait pajak penghasilan yang membuat kita gentar. Pertama, dengan mempunyai data laporan dan posisi keuangan wajib pajak maka pemerintah menguasai hal yang paling pribadi dari wajib pajak. Semua data bisa disusun, dikatalogkan dan disimpan dalam komputer dan tersedia kapan saja bagi pegawai-pegawai pemerintah yang ingin mengintai ke ranah pribadi kehidupan finansial seseorang untuk alasan-alasan apapun. Ini bertolak belakang dengan hampir semua pasal-pasal HAM dalam UUD 45 sehingga ketika seseorang mencapai usia wajib pajak maka ia kehilangan hak-hak pribadinya.

Dan yang kedua, pemerintah mempunyai cara baru untuk mengendalikan warga negaranya dengan menggunakan rasa takut dan intimidasi. Banyak kasus-kasus di mana pemerintah dan kaki-tangannya menggunakan institusi pemerintah sebagai senjata intimidasi. Terbuka besar kemungkinan para elit penguasa kita akan mengintimidasi, mengendalikan atau menghancurkan lawan-lawan politiknya dengan “mengejar pajak penghasilan mereka.”

Pada akhirnya, apabila tidak ada batasan-batasan yang jelas mengenai pajak penghasilan maka ia akan menjadi momok yang mengerikan, dan pada suatu titik akan mengendalikan kemerdekaan hidup warga negara. Jangan sampai tujuan pajak penghasilan berubah dari pendapatan negara menjadi alat mengendalikan negara oleh penguasa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun