Tanda-tanda bencana ekonomi akan terjadi di 2016 tersirat jelas dalam pidato penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan tahun 2016 yang dibacakan oleh Presiden Joko Widodo. Target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen sungguh tidak realistis, kemungkinan margin of error-nya plus-minus 5 persen juga kelihatannya. Seperti APBN 2015, RAPBN 2016 tidak ramah terhadap dunia usaha, ini terlihat dari pajak yang ekspansif. Sifat anti bisnis pemerintah Jokowi, terlihat dari gencarnya menarik pajak, penyitaan dan penyanderaan obyek pajak, membuat pengusaha takut melakukan proyek baru. Tetapi yang utama adalah, pengusaha dan investor pesimis melihat masa depan usaha di Indonesia, terutama menghadapi gejala inflasi yang tidak terkendali.
RAPBN 2016 tidak berbeda jauh dengan APBN 2015, pemerintahan Jokowi membuat target pajak yang tidak masuk akal. Angkanya terlalu tinggi sehingga pengusaha dan investor yakin bahwa pemasukan pajak akan meleset jauh di bawah target dan akan ditutupi oleh Surat Utang Negara (SUN). Ketika negara mengeluarkan Surat Utang, ia melakukan dilusi (diluted) terhadap semua nilai uang yang beredar di masyarakat. Setiap Surat Utang berlaku sebagai uang, fakta yang dilegalkan dengan segel terbitan pemerintah, biarpun ada jangka waktu untuk diuangkannya (SUN pada akhirnya akan masuk di neraca BI untuk diuangkan). Artinya, setiap surat utang yang diterbitkan pemerintah mempunyai sifat melonjakkan inflasi, dan ini membuat pengusaha mempertimbangkan investasinya.
Begini untuk lebih jelasnya, bila kita mempunyai tetangga yang hidup berlebihan atau bermewah-mewahan jauh di atas kemampuan penghasilan/gajinya, maka kita berkesimpulan bahwa si tetangga ini mempunyai kehidupan yang tidak jujur. Sama saja, ketika pemerintah berencana mengeluarkan uang jauh lebih besar dari pendapatannya dari pajak (ini adalah fakta yang tidak dapat dihilangkan dengan surat utang), maka ia secara sengaja telah melakukan tindakan membangkrutkan dirinya.
Apa yang terjadi di tahun ini adalah pengusaha dan investor, setelah tahun-tahun sebelumnya merasa semangat dengan segala peluang ekonomi yang ada di Indonesia, menyadari keuntungan mereka tidak sebesar yang mereka bayangkan. Keuntungannya tiba-tiba hilang ditelan oleh inflasi. Mereka mulai melakukan perencanaan ulang terhadap usaha dan investasinya, dan secara bertahap melakukan pemutusan hubungan kerja. Harapan bahwasanya pengeluaran pemerintah yang masif di tahun ini akan membuka lapangan kerja baru, ternyata hanya menghasilkan pengalihan lapangan kerja dari sektor swasta berpindah ke pekerjaan proyek-proyek pemerintah. Dan, ini adalah harapan yang terbaik dari APBN 2015.
Kita juga merasakan sepertinya tingkat inflasi kali ini tidak bisa dikendalikan. Bank Indonesia kelihatannya menghadapi dilema dalam menaikkan tingkat suku bunga untuk menghadapi ancaman inflasi ini. Masalahnya terletak bukan pada berapa tinggi tingkat suku bunga yang pas untuk saat ini, tetapi seberapa besar kesalahan Bank Indonesia menetapkan tingkat suku bunga di masa lalu. Ketika itu, Bank Indonesia memaksa tingkat suku bunga terlalu “rendah” hingga debitur merasakan nikmatnya hidup ini. Rumah, mobil, perabotan kelihatannya murah, bahkan memulai usaha pun dengan utang sangat mudah. Kini beritanya, bank kreditur yang bijak mulai merasakan tidak ada gunanya meminjamkan lagi, karena imbalannya sudah tidak sepadan dengan biaya dan resiko mereka. Bukan saja sebagian pinjaman menguap, kualitas pinjamannya pun turun.
Ini adalah sumbangan Bank Indonesia atas bencana nilai Rupiah yang terjadi kini. Kala itu, konsumen kredit teriming-iming oleh beragam pinjaman hingga masuk ke dalam kubangan utang yang besar, dan uang kredit ini membanjiri ekonomi kita. Uang-uang baru ini sampai di tangan masyarakat yang menyebabkan ekonomi kita lebih banyak konsumsi daripada produksi. Uang-uang baru ini mendorong harga-harga naik dan menyebabkan mata uang rupiah melemah. Masyarakat baru tersadarkan bahwa mereka tidak sesejahtera seperti yang mereka bayangkan ketika harga-harga mulai melonjak dan menurunkan standar kualitas hidup kita bersama.
Sejak tahun kemarin, Bank Indonesia dipaksa beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga untuk menjaga standar kehidupan masyarakat, tetapi tidak mempunyai pengaruh berarti. Tentu saja, bank sentral menaikkan suku bunga juga untuk membujuk bank-bank yang bijak dalam memberi pinjaman untuk menyalurkan kredit yang lebih banyak. Pengusaha yang terbiasa dengan pinjaman murah, terkaget-kaget mendapati ongkos usaha dan biaya bunga mereka meningkat yang berakibat rusaknya tingkat laba mereka. Belum lagi, pengusaha mempunyai hitungan sendiri atas tingkat inflasi dan tingkat suku bunga riil yang terjadi di pasar, mulai menghitung tingkat kerugian yang akan terjadi di tahun ini. Sebagian mencoba memotong kerugian dengan menaikkan harga, menahan produk mereka untuk sementara tidak dijual, ataupun yang paling ekstrem adalah menutup usaha mereka.
Di saat kondisi depresi ekonomi saat ini, penyaluran kredit yang bijak sangat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, karena akan membiayai investasi modal yang produktif yang menghasilkan tingkat return yang tinggi, juga menciptakan lapangan kerja dan produk yang berkualitas dan terjangkau. Dibutuhkan tingkat suku bunga yang tinggi untuk mengendalikan inflasi, sekaligus menghukum usaha-usaha yang tidak efisien yang hidup dari menghisap kredit murah yang palsu, untuk memulihkan ekonomi ke keadaan realitas yang sehat dan seimbang.
Resesi adalah cara alam memberitahu bahwa telah terjadi kesalahan alokasi investasi yang terjadi dalam ekonomi, sekaligus sebagai seleksi atas usaha-usaha yang sehat untuk bertahan dan kemudian berkembang usahanya, dan berlaku sebaliknya untuk usaha yang tidak efisien. Memang, tingkat suku bunga yang tinggi bisa berakibat pada deflasi yang bisa menurunkan nilai jaminan utang debitur yang ada pada perbankan dan berakibat merontokkan kesehatan industri perbankan. Ini yang dikuatirkan Bank Indonesia kelihatannya.
Apa yang terjadi adalah Pemerintah dan BI sepakat untuk kembali berkelit atau menghindar dari kenyataan resesi dengan membanjiri likuiditas ke dalam ekonomi. Stimulus ekspansi moneter hanya akan berakibat pada situasi di mana pemerintah, institusi finasial, pengusaha dan konsumen yang pada kenyataan sudah seharusnya bangkrut, semuanya dapat bertahan hidup berkat banjir likuiditas buatan. Fakta di masyarakat adalah tingkat inflasi tahun ini sudah lebih dari dua kali lipat dari rilis resmi pemerintah. Mau seperti apa tahun depan dengan asumsi makro yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Tampak sudah bahwa APBN 2016 akan mandek dalam 6 bulan saja, atau ketika berhadapan dengan hiperinflasi, tergantung yang mana datang terlebih dahulu. RAPBN 2016 menimbulkan sebuah pertanyaan, “Mungkinkah ekonom-ekonom pemerintah ini hidup dalam sebuah ilusi?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H