Hari Rabu, 3 Oktober 2012, terjadi demo buruh besar di sekitar Jakarta. Tuntutan tetapnya upah yang layak, tuntutan tidak tetapnya adalah jaminan sosial dan penghapusan outsourcing atau alih daya. Tuntutan terakhir yang gaungnya paling besar. Tentang hal ini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar berjanji akan mengeluarkan peraturan pada akhir tahun ini. Banyaknya aturan yang dihasilkan pemerintah membuat hampir semua kegiatan ekonomi di segala bidang didominasi oleh peraturan pemerintah. Seringkali, bukannya jalan keluar yang didapat, malahan menciptakan masalah baru.
Sebelum membahas masalah dengan peraturan pemerintah, saya ingin menyampaikan perspektif Ekonomi dalam memandang gaji atau upah. Upah adalah kompensasi bukan atas keringat, bukan atas waktu yang digunakan, bukan atas enerji yang terkuras, tetapi atas dasar produk (barang/jasa) yang dihasilkan seseorang. Dengan ini, kita bisa menerangkan mengapa seorang bintang film yang relatif lebih sedikit mengeluarkan keringat, waktu dan enerji mempunyai penghasilan berpuluh atau beratus kali lipat dibanding seorang buruh bangunan. Produk yang dihasilkan bintang film lebih tinggi peminatnya dibanding produk yang dihasilkan buruh bangunan. Hukum Permintaan dan Penawaran dalam ilmu Ekonomi.
Siapa saja yang pernah belajar Hukum Permintaan dan Penawaran sudah tahu bahwa gagasan upah minimum membawa ke penurunan permintaan tenaga kerja dan meningkatnya penawaran tenaga kerja di pasar yang bersangkutan, biasanya pasar untuk tenaga kerja dengan keahlian rendah. Pada dasarnya masyarakat dapat berkompetisi dengan menawarkan berbagai manfaat di pasar tenaga kerja. Mereka dapat menawarkan produktifitas yang tinggi, mereka bisa bersaing dengan menawarkan produk yang lebih baik. Dan, yang paling penting mereka bisa bersaing dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau menawarkan jasa mereka dengan upah yang lebih rendah.
Sekarang kita bicara fakta bahwa perusahaan yang dihadapkan pada upah minimum seringkali menggantikan tenaga kerja tidak terlatih dengan tenaga kerja terlatih. Upah minimum menyebabkan perusahaan menghilangkan biaya pelatihan bagi tenaga kerja tidak terlatih. Ekonom akan mengatakan bahwa peraturan upah minimum adalah penyebab utama dari pengangguran dan kemiskinan, dan kendali yang dipegang pemerintah menyebabkan hilangnya inisiatif individu untuk melakukan kontrak sukarela, membatasi berkembangnya kepiawaian dan keefisienan dalam membangun jaring hubungan kerja yang membawa ke stabilitas dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Fakta selanjutnya, seperti hilangnya efisiensi ekonomi terjadi di tempat-tempat di mana peraturan-peraturan pemerintah secara efektif ditegakkan. Sepertinya ini tidak mempunyai arti penting, pada kenyataannya tidak ada upah minimum dan tidak ada kendali pemerintah atas kondisi kerja para pekerja. Contoh saja, tidak jauh dari Jakarta, pasar tenaga kerja penjahit kurang pengalaman adalah Rp. 3.000/jam dan untuk yang berpengalaman adalah Rp. 5.000/jam pada usaha konveksi. Mereka biasa bekerja hingga 15 jam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penjahit kurang pengalaman sadar ia tidak bisa bersaing dengan penjahit berpengalaman dengan upah yang sama, karena itu ia dengan sadar menawarkan jasanya untuk upah yang lebih rendah. Dalam hal ini ada dua kejahatan yang terjadi, si buruh yang menawarkan jasanya di bawah upah minimum dan si majikan yang bersedia menerimanya.
Dalam lingkungan usaha dengan tenaga kerja-intensif yang tinggi dan peraturan-peraturan pemerintah yang secara pura-pura ditegakkan oleh pemerintah, adalah bunuh diri untuk membayar para pekerja lebih dari yang bisa ditanggung pasar. Jika satu perusahaan membayar lebih rendah dari upah minimum yang diharuskan, maka perusahaan lainnya yang ingin tetap bersaing hidup harus melakukan hal yang sama. Dalam suasana dimana peraturan tidak tegak, pengusaha baru yang berlaga sesuai peraturan akan gagal sebelum bertarung.
Ada berbagai macam distorsi pasar di lingkungan usaha kita, tetapi biang utamanya apalagi kalau bukan korupsi dan birokrasi. Ini yang membuat usahawan yang santun dan bertanggung jawab terpinggirkan dalam kegiatan ekonomi. Malahan, yang terbaik memilih meninggalkan negeri. Dengan investasi 1 juta dollar mereka sudah bisa mendapatkan permanent residency dan berusaha dengan tenang di negara-negara tetangga. Bagi mereka yang menjalankan usahanya di tanah air, korupsi dan birokrasi menjadi biaya operasional yang besar dalam komponen usaha. Kebiasaan memberi sesajen kepada aparatur negara dilakukan pengusaha agar usaha mereka lancar dan tidak diganggu. Masyarakat jadi berwatak korup, dan mereka yang tidak mau berpartisipasi dalam korupsi terpinggirkan secara ekonomi.
Gonta-ganti peraturan dan tidak bisa menegakkan peraturan secara merata membuat gangguan yang tidak ada habisnya bagi pengusaha dan menghilangkan kesempatan pengusaha memusatkan perhatian pada produknya. Sedangkan, di pihak pemerintah sebagian pegawainya terbiasa hidup di atas kemampuannya, mereka membutuhkan obyek penghasilan tambahan.
Dalam keadaan minimnya pengusaha yang beretika santun dan bertanggung jawab, maka tolok ukur berusaha ditentukan oleh pengusaha-pengusaha nekat. Masuknya tangan pemerintah dengan aturan-aturan bobroknya ke dalam manajemen perusahaan membuat pengusaha mengambil jalan praktis dan membebankannya sebagai biaya administrasi yang tidak ada gunanya, tidak ada substansinya dan harus ditanggung oleh kaum buruh. Ingat, gaji atau upah buruh datangnya bukan dari modal perusahaan, tetapi diperoleh dari penjualan produk perusahaan dengan segala biaya transaksinya.
Letak permasalahan bukan pada kurangnya peraturan pemerintah, justru pada melimpahnya peraturan pemerintah yang sukar untuk dilaksanakan dengan baik dan benar. Yang dibutuhkan adalah tolok ukur yang baru, tolok ukur berusaha yang baik yang lahir akibat suasana berusaha yang sederhana, ramah dan tidak dibebankan hal-hal yang merusak konsentrasi perusahaan. Adalah Hukum Sebab Akibat bahwa perusahaan-perusahaan yang maju adalah perusahaan yang karyawannya sejahtera dan bahagia, tidak perlu dipaksa dengan aturan-aturan yang mewajibkan menyejahterakan mereka. Untuk itu yang perlu kita lawan adalah korupsi di kantor-kantor pemerintah, menghilangkan peraturan-peraturan pemerintah yang tidak bisa ditegakkan secara adil dan merata, dan mereformasi sistem keadilan kita yang korup dan tidak efisien. Bila ini terjadi, pengusaha-pengusaha berperilaku terhormat akan tumbuh berkembang dengan sendirinya dan menciptakan tolok ukur baru yang lebih profesional dan lebih berperikemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H