Mohon tunggu...
Hakim Djojoatmodjo
Hakim Djojoatmodjo Mohon Tunggu... -

The seeds of the dandelion you blow away.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekspor Gas: (From Zero To Hero) Back To Zero

7 Januari 2015   16:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Keberhasilan Pemerintah dalam renegosiasi kontrak gas LNG Tangguh ke Fujian memang sebuah prestasi yang membanggakan setelah sebelumnya harga jual gas mengalami stagnasi, kini harga jual gas berubah menjadi USD 8 per MMBTU dari sebelumnya USD 2,7 per MMBTU. Dari sisi pendapatan negara, Indonesia mendapat kembali keuntungan devisa yang seharusnya diperoleh dari hasil ekspor LNG karena diberlakukannya batasan maksimum dengan mengacu metode oil indexation terhadap harga acuan minyak mentah Jepang (Japan Crude Cocktail/JCC) sebesar USD 38/bbl. Di sisi lain, kabar ini justru semakin menguatkan preseden bahwa dengan mampu direnegosiasinya kontrak maka ekspor gas dapat terus dilanggengkan. Renegosiasi kontrak justru dapat memberikan perspektif bahwa jaminan kepastian hukum dan peraturan masih belum konsisten menghormasti perjanjian business to business (intervensi Pemerintah dianggap terlalu jauh melampau rejim usaha). Sementara kegiatan ekspor gas seolah-olah menghambat pemanfaatan gas domestik dan percepatan pembangunan infrastruktur nasional karena justru sebagian dijual ke negara lain, sedangkan faktanya bahwa kondisi-kondisi dalam negeri justru sangat membutuhkan gas supply yang selama ini cenderung diabaikan. Dengan beberapa alasan bahwa kebutuhan gas supply domestik sebaiknya diutamakan antara lain:

1.Harga keekonomian gas yang mencerminkan tingkat pengembalian investasi logis akan menarik investor menanamkan modal di pengusahaan gas dalam negeri, termasuk pengembangan infrastruktur dan inovasi tekhnologi untuk allocative efficiency. Dengan semakin berkembangnya potensi market domestik ditandai peningkatan volume yang diniagakan dan pertumbuhan jumlah korporasi, membuat gas mejadi komoditas yang diperebutkan ketersediaannya. Berbanding lurus, semakin tingginya permintaan gas menjadikan harga merangkak naik secara pasti. Selain itu dikarenakan investasi eksplorasi yang semakin mahal telah mendorong kenaikan harga gas sebesar 10%-15% per tahun seperti yang dilakukan PGN. Sebelumnya harga gas domestik berkisar USD 6 MMBTU saat ini medekati harga keekonomian USD 9.8 MMBTU dimana untuk estimasi inisial harga gas rata-rata termasuk LNG dari FSRU saat ini adalah USD 8.53 MMBTU, terlepas dari dampak kenaikan kenaikan harga yang dialami industri nasional. Hal ini menunjukkan harga gas domestik cukup kompetitif terhadap harga market internasional didukung dengan membaiknya daya beli dengan indikator CPI 0.45 kisaran tahun 2013-2014 dan rate pertumbuhan GDP naik 5.12% di awal 2014 (US Energy Information Administration, 2014). Artinya bahwa untuk pertimbangan ekonomi, kelayakan harga yang mengakomodasi rate of investment akan menstimulus privat investor untuk berpartisipasi dalam pengusahaan gas domestik dan bagi negara agar tidak perlu lagi mengekspor gas untuk meningkatkan pendapatan, sekaligus ketahanan energi untuk pasokan gas dalam negeri tercapai.

2.Reserve migas terutama gas dijual murah untuk kepentingan ekspor sementara justru membeli minyak dengan harga impor yang mahal mengikuti oil indexation untuk kebutuhan domestik. Dari laporan Neraca Pembayaran Indonesia (BI, 2014), perkembangan neraca perdagangan migas mix triwulan ke-2 menunjukkan defisit keuangan Negara sebesar USD 3.2 milyar. Untuk ekspor gas (volume LNG dan gas alam sebesar 287.6 MMBTU, dan LPG sebesar 0.9 metric ton) mendatangkan pendapatan senilai USD 3,623 juta, sementara Pemerintah harus mengimpor minyak (volume minyak mentah dan produk kilang sebesar 88.5 MBBL) dengan APBN senilai USD 10,008 juta, terdapat minus USD 6,380 juta yang signifikan. Subsidi harga minyak impor untuk memenuhi kebutuhan energi domestik yang mahal tentunya merugikan Negara, namun gas yang sebenarnya tersedia melimpah justru diekspor murah dengan kontrak jangka panjang. Artinya dalam puluhan tahun ke depan kondisi keuangan Negara akan merugi dan pasar domestik akan tetap mengalami shortage gas.

3.Selama ini yang menjadi alasan tidak tersedianya pasokan gas untuk kebutuhan domestik adalah minimnya infrastruktur pendistribusian gas yang terbangun, berbeda dengan perspektif pengembangan infrastruktur dimana developer beralasan enggan berinvestasi untuk pembangunan infrastruktur gas karena belum adanya jaminan kepastian pasokan (security of supply). Seperti lingkaran yang tak berujung (closed cycle), saling bergantung dan saling terkait, hingga menjadi penyakit akut yang berlarut-larut di sektor pengelolaan hilir gas. Perlu terobosan paradigm kebijakan dan keberanian berresiko untuk memutusnya, ibarat menentukan siapa yang pertama ada: telor atau ayam, pasokan atau infrastruktur? Dari Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2013 KESDM, dilaporkan bahwa gas bumi untuk Final Energy Supply sebesar 125.674 MBOE sedangkan Final Energy Consumption sebesar 125.287 MBOE (terdapat surplus 387 MBOE). Sehingga dapat disederhanakan bahwa pasokan gas saat ini masih dimungkinkan tersedia (plus dari realokasi gas ekspor) lalu diikuti dengan pembangunan infrastruktur, tidak ada alasan lagi pengembangan infrastruktur terhalang oleh ketidaktersediaan gas supply. Selanjutnya surplus gas supply dapat digunakan untuk mestimulus ekstensifikasi pembangunan investasi baru dan revitaliasasi infratrsuktur yang sudah, karena pasokan gas adalah key driver untuk jaminan pengembalian investasi pembangunan infrastruktur baru.

4.Pada tahun 2025 diproyeksikan demand dalam negeri melonjak signifikan +152% hingga mencapai 550 MBOE sementara konsumsi gas per kapita naik hingga +119% BOE/orang. Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa tantangan pemanfaatan gas dalam negeri sangat krusial untuk segera dikelola jika tidak ingin mengalami defisit pasokan (karena sampai sekarang belum ditemukan lapangan produksi gas baru). Pemanfaatan gas akan terbantu dengan harga jual gas domestik yang cukup kompetitif, dimana dari tahun 2008 hingga 2012 rata-rata kenaikan harga LNG sebesar 44,7% sedangkan gas pipa sebesar 35%. Dengan harga kompetitif di pasaran domestik diharapkan akan memberikan iklim usaha dektor hilir gas dengan telah terakomodasinya harga yang mencerminkan cost reflective dan fair revenue bagi pelaku usaha.

5.Percepatan pertumbuhan ekonomi negara sebenarnya dapat dipacu di dalam negeri melalui pemrosesan gas untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah (added value) bukan hanya gas sebagai komoditas – e.g. export yang langsung diperdagangkan (tradable). Untuk memberikan nilai tambah gas dapat dikonversi konversi ke bentuk energy lain seperti ekspor listrik dan pupuk untuk ketahanan pangan nasional, tentunya akan lebih menguntungkan. Sebagi contoh, dari sumber US Energy Information Administration (EIA) sejak tahun 2008 Indonesia telah mensuplai kebutuhan gas Singapura melalui pipa sebesar 81% dari total kebutuhan domestiknya. Dari persentase tersebut mayoritas market share gas bumi Singapura dimanfaatkan sebagai fuel mix untuk pembangkit listrik sebesar 331 Bcf meningkat dari 233 Bcf di tahun 2012 atau meningkat 84% dari 74%. Tampak bahwa Singapura sebenarnya membutuhkan energi berbentuk listrik ketimbang gas sebagai komoditas. Seharusnya Indonesia mampu melihat peluang tersebut dengan mengubah policy ekspor gas menjadi ekspor listrik ke Singapura untuk memberikan nilai tambah dan mendorong manfaat pengembangan pengusahaan listrik di dalam negeri.

6.Dalam World Energy Outlook dari International Energy Agency (IEA) bahwa tahun 2035 merupakan Golden Age gas yang ditandai dengan pertumbuhan permintaan gas bumi akan meningkat lebih dari 50% dan market share gas dunia mencapai 25% mengungguli batubara. Jangan sampai kehilangan momentum pemanfaatannya tersebut, ketika harga keekonomian gas di pasar dunia dinamis dan kompetitif tentunya akan mendorong bisnis pengusahaan gas menjadi lebih atraktif. Antiklimaks Golden Age digambarkan pasokan gas dunia dibanjiri oleh unconventional gas (shale gas) yang memicu jatuhnya harga natural gas, sehingga tidak tepat jika Indonesia tetap mengekspor gas di tengah harga gas yang melemah. Untuk menghadapinya mulai sekarang sebaiknya Indonesia mulai mempersiapkan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas pendukung dengan mengevaluasi realokasi ekspor secara bertahap untuk pemenuhan gas dalam negeri. Jangan terulang lagi seperti yang dialami BBM dimana Indonesia terlambat mengantisipasi masa berlimpahnya produksi minyak saat menjadi net oil exporter dan tertinggal dalam pembangunan infrastruktur pengolahan minyak dalam negeri.

7.Dalam UU Migas No 22/2001 pasal 33 diamanatkan bahwa gas sebagai sumber daya energi strategis negara wajib dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (people welfare) bukan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan negara (state income) dengan mengekspor gas. Hampir semua sektor industri saat ini mengalami gas shortage, pelanggan rumah tangga mulai ketergantungan diversifikasi gas, konversi BBM ke BBG di sektor transportasi mulai digalakkan, revitalisasi pabrik-pabrik pupuk yang membutuhkan bahan baku gas bumi, peningkatan oil lifting minyak dalam metode EOR untuk menambah devisa negara; semuanya dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut berujung pada urgensinya pasokan gas untuk kepentingan nasional dalam negeri.Dan hal tersebut telah menjadi komitmen Pemerintah sendiri yang dituangkan dalam Permen ESDM No. 03/2010 tentang prioritas alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Dahulu Pemerintah dianggap sebagai pahlawan karena telah berhasil menjual gas bumi yang saat itu hanya dibakar (gas flare) atau diperlakukan sebagai pengotor (impurity) dari minyak, namun justru mendatangkan pendapatan negara dari kegiatan ekspor gas. Dinamika keenergian dunia berubah cepat ditandai dengan meningkatnya demand dan inovasi tekhnologi menjadikan gas sebagai energi alternatif yang jauh lebih efisien dan environment friendly dibandingkan minyak. Justru kini anggapan yang muncul adalah dengan mengekspor gas akan menghambat potensi-potensi gas market dan pengembangan infrastruktur untuk sektor-sektor produktif demi kesejahteraan masyarakat, tentunya dengan mempertimbangkan argumentasi kondisi-kondisi saat ini seperti tersebut diatas.  Dulu kegiatan ekspor gas, Pemerintah boleh dibilang sebagai pahlawan: from zero to hero; sekarang jika ngotot masih mengekspor gas bisa dianggap: back to zero.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun