Mohon tunggu...
Hakim Djojoatmodjo
Hakim Djojoatmodjo Mohon Tunggu... -

The seeds of the dandelion you blow away.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Deregulasi Gas Market Indonesia, Mau Kemana?

16 April 2014   10:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tahun 2011, Kangean Energy Indonesia Ltd. (KEIL), KKS operator blok Kangean menyepakati penjualan gas sebesar 221 Triliun BTUkepada PT Pertamina Gas Niaga (Pertagas Niaga) dengan harga gas dipatok USD5,15 per MMBTU dengan ekskalasi tiga persen per tahun. Selanjutnya Pertagas Niaga menjual sebagian gasnya kepada konsumen di wilayah Jawa Timur kepada PT Bayu Buana Gemilang (BBG) tanpa fasilitas pipa menyalurkan gas (dijual di delivery point dan diterima receipt point yang sama) sebesar USD6,5 per MMBTU kemudian didistribusikan kepada konsumen CNG kemudian diteruskan dijual ke konsumen akhir (end-user) dengan affordable harga rata-rata seharga USD10/MMBTU sebagai komoditas (belum termasuk biaya de-fraksinasi dan biaya kompresi plus biaya penyimpanan dan biaya pengangkutan CNG). Sekilas dari skema penjualan gas dari produsen gas (upstream) hingga ke konsumen akhir (downstream) ternyata harus melalui beberapa rantai distribusi yang panjang/bertingkat – tidak efektif, dan menimbulkan beban kenaikan harga gas di tingkat konsumen akhir hingga hampir 50% dari harga gas di wellhead – tidak efisien.

Orang lantas menyebutnya sebagai praktek broker di wilayah midstream yang merugikan pendapatan Nagara mengingat dengan diterbitkannya Perpres No. 03/2010 Pemerintah telah memprioritaskan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri namun willingness to pay konsumen industri domestik masih rendah sehingga menyebabkan opportunity lost akibat gas yang ‘dipaksa’ dijual dengan harga murah (tentunya jika dikomparasi dengan rata-rata harga gas ekspor LNG saat ini sebesar USD13-14 per MSCF) dan celakanya pengalokasian gas tersebut juga belum diimbangi dengan due diligent yang cermat saat proses tender gas di sisi hulunya. Sementara di sisi hilir, terjadi harga jual gas semu (pseudo price) yang kelewat mahal membebani end-user dimana harga tidak bukan lagi murni sebagai biaya atas komponen margin dan harga produksi (cost reflective) yang wajar. Secara makro investasi bisnis migas mencerminkan indikator positif; meningkatnya partisipasi badan usaha dalam bisnis penyediaan gas dalam negeri dan naiknya income Negara berupa pajak usaha dan iuran migas, namun secara de facto merugikan bagi masyarakat dan konsumen akhir domestik dengan minimnya infrastruktur yang terbangun – keengganan badan usaha membangun fasilitas baru, lebih menguntungkan sebagai broker gas; dan penerapan struktur harga jual gas yang realistis.

Terjadinya ketidakefetifan dan ketidakefisien tentunya tak lepas dari performa regulasi kegiatan downstream gas nasional saat ini terutama dalam hal functioning natural gas market – suatu zona pasar yang membolehkan (accessible) bagi badan usaha baru memasuki pasar badan usaha lama (incumbent) dengan perlakuan yang sama tidak diskriminatif dalam kegiatan komersial (spot market) sehingga tercipta persaingan harga gas jual yang wajar dan kompetitif. Perkembangan gas trading di Indonesia akhir-akhir ini terus mengalami dinamika perubahan isntitusional maupun struktural yang tak lepas dari semakin terbukanya mekanisme pasar yang mendorong terjadinya kompetisi penyediaan gas supply oleh gas supplier (produsen) dan terbentuknya struktur harga gas yang murah pada level konsumen akhir (retail/wholesale). Untuk mewujudkan open market tersebut diperlukan prinsip-prinsip pengaturan oleh Pemerintah melalui pemberian 1) akses terhadap pemanfaatan infrastruktur gas oleh pihak/badan usaha lain sebab sebagian besar terutama untuk jaringan distribusi gas masih berstatus dedicated hilir (peruntukannya hanya untuk konsumen tertentu dengan kapasitas volume pengaliran tertentu dan dikuasai oleh operator tertentu pula), 2) kesempatan bagi konsumen untuk menentukan pilihan pasokan dari gas supplier secara langsung sebab belum adanya pengaturan yang terperinci mengenai kegiatan usaha gas trading (yang justru muncul adalah para makelar-makelar penjual gas atau broker), 3) meminimalisasi pengaturan harga gas komersial di tingkat retail maupun wholesale sebab pasar gas nasional masih bersifat monopolistik berkecenderungan terjadi pengontrolan harga jual gas secara sepihak oleh pemilik gas kepada gas buyers, 4) penerapan kebijakan yang mengatur dan mengawasi mekanisme kompetisi pasar sebab aplikasi deregualasi (regulatory reform) di Indonesia saat ini dalam proses transisi terkendala dengan minimnya ekstensifikasi infrastruktur gas dalam negeri.

International Energy Agency (IEA) 2013, menyebutkan bahwa tujuan proses deregulasi adalah untuk meningkatkan kompetisi pasar gas oleh produsen maupun konsumen dengan meminimalisir praktek monopoli sebagai mekanisme pasar sempurna melalui persaingan gas retail – prinsip utamanya adalah gas sebagai komoditas yang diperjualbelikan tidak diperbolehkan dikuasai/didominasi oleh pihak tertentu namun pada infrastruktur gas diterapkan monopoli alamiah (natural monopoly) melalui penugasan (obligation) dari Pemerintah kepada badan usaha eksisting untuk mensuplai pasokan gas dan mengembangkan pembangunan jaringan distribusi yang telah dimilikinya (effectiveness) dan terintegrasi dengan infrastruktur gas yang sudah terbangun sebelumnya (reliable) dengan harga gas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, sama halnya seperti yang dituangkan Federal Energy Regulatory Commission (FERC) Order 636, 1992 oleh US. Sebagai alternatif bagi pasar monopolistik di sektor hilir gas, melalui kebijakan deregulasi gas market Pemerintah dapat mengambil model: 1) pipeline-to-pipeline competition model, dimana kompetisi diusahakan diantara para pemilik infrastruktur dalam menyalurkan gas ke konsumen; dan/atau 2) mandatory third party access to the network model, dimana kompetisi diperuntukkan bagi para gas seller (segmentasi wholesale maupun retail) dalam memanfaatkan fasilitas pipa. Untuk model 1, Indonesia belum mencapai kompetisi yang sempurna mengingat hampir sebagian besar, terutama infratruktur ruas pipa transmisi gas yang dimiliki Pertamina Gas (Pertagas) dan Perusahaan Gas Negara (PGN), secara geografis tidak berlokasi pada area kompetisi bisnis yang sama sehingga dan jika ditinjau dari fungsi pipa gas memiliki segmentasi market yang juga berbeda (transporter dan commercial business), diperlukan implementasi jangka panjang untuk memenuhi kondisi dimana satu area bisnis atau market terdapat lebih dari satu badan usaha pemilik pipa yang bersaing membangun pipa dengan kegiatan usaha yang sama dimana Pemerintah berwenang menetapkan tariff (toll fee). Sementara untuk model 2, pengaturan dan pengelolaan gas market domestik Indonesia melalui penerapan third-party access maupun open access masih terbatas pada ruas transmisi berkapasitas volume pengaliran gas besar dan untuk jaringan distribusi gas masih dalam tahapan unbundling antara fungsi pengangkutan (transporter) dengan niaga (commercial) dimana diharapkan end-use consuments mendapatkan kontrak gas tanpa termonopoli dalam pasokan  komoditas gas dan penetapan harga jual gas secara sepihak oleh badan usaha yang bundled kegiatan pengangkutan dan niaga gasnya. Dari kedua model pengembangan gas market melalui kebijakan deregulasi diharapkan akan mampu meningkatkan daya kompetisi dengan menciptakan persaingan di tingkat retail secara sempurna (full retail competition) melalui:

1.Third-Party Access (TPA), dimanfaatkanya fasilitas pipa gas oleh pemilik gas (shipper) akan memberikan efektifitas dan efisiensi pengangkutan dan niaga gas, hal yang terjadi jika shipper tidak dapat mengakses pipa transmisi (jika status pipa adalah dedicated hilir) yang dimungkinkan terjadi selanjutnya yaitu membangun pipa transmisi maupun distribusi baru yang memakan waktu pengerjaannya (lag times) atau pun gas terpaksa dijual kepada pemilik pipa sehingga timbul cost of service yang dimasukkan sebagai komponen kenaikan harga jual yang dibebankan ke konsumen. Untuk itu Pemerintah dengan Permen ESDM 19/2009 Pasal 9 mengatur pemanfaatan bersama (open access) dimana kegiatan niaga gas wajib disalurkan melalui ruas transmisi atau jaringan distribusi eksisting atau pemilik pipa transmisi harus memberikan free space pipa untuk dapat diakses oleh shipper selama pemanfaatan fasilitas tersebut tidak mengganggu operasional pipa dan keekonomian pemilik pipa transmisi tersebut. Misalkan dalam kasus di Jawa Timur diatas, konsumen-konsumen CNG sebagai shipper dapat mengakses pipa transmisi milik Pertagas yang berstatus open access dengan dipungut Tarif (toll fee) atas jasa pengangkutan kepada Pertagas yang besarannya ditetapkan oleh BPH Migas dengan melibatkan stakeholder yang terkait melalui forum hearing sebelumnya.

2.Full unbundling, pemisahan bisnis pengangkutan (gas transportation) dengan niaga (commercial) secara berimbang (equitably) agar dapat diverifikasi perhitungan dan dipertanggugjawabkan laporan keuangan atas semua realisasi biaya operation and maintenance langsung (cost reflective) yang sebenarnya sehingga  biaya perniagaan gas yang dibebankan pada konsumen tidak dapat diklaim sebagai biaya pengangkutan gas maupun sebaliknya. Selain itu secara teknis gas nominations and balancing harian yang diajukan konsumen kepada gas supplier pada kegiatan niaga (commercial) dapat dimonitor dan menghindari kesalahan pengukuran (measuring) sebagai gas pada kegiatan pengangkutan (transportation). Kendala implementasi unbundling saat ini adalah, terutama sebagian besar jaringan pipa distribusi milik PGN berstatus bundled, dibutuhkannya waktu dan kajian secara teknis untuk melakukan redesain pemisahan pipa transmisi dan distribusi dan secara finansial harus dilakukan pemisahan akuntansi terkait aspek pemisahan investasi, biaya operasional dan indirect costs; namun proses unbundling masih dapat dilakukan secara bertahap dari  accounting unbundling (pemisahan pembukuan), functional unbundling (pemisahan manajemen), legal unbundling (pemisahan perusahaan) dan ownership unbundling (pemisahan kepemilikan perusahaan). Namun kendala yang paling mendasar adalah aspek legalitas dimana dalam UU Migas No. 22/2001 pada Pasal 23 Butir 3 disebutkan bahwa setiap badan usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan selanjutnya jika membaca Butir 2 Izin Usaha yang dimaksud meliputi Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan dan Izin Usaha Niaga; artinya Negara sendiri justru merestui suatu badan usaha tetap melakukan bundled kegiatan pengangkutan dengan niaga gas yang bertentangan dengan Permen ESDM No. 19/2009 pada Pasal 12 turunannya yang menyebutkan dilakukannya unbundling kecuali jika memang mendapatkan penugasan dari Pemerintah sendiri yang dinyatakan pada Pasal 13. Intinya bahwa Pemerintah harus segera merevisi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengakomodasi perkembangan dinamika bisnis terkait isu unbundling ini.

3.Competition in gas supply to all end user, konsumen dapat langsung mengakses/mendapatkan gas supply dari sumber lapangan gas produsen di wellhead di upstream sector maupun dari gas seller (FSRU, LNG, impor, market spot) di midstream sector – yang selama ini terjadi di Indonesia adalah konsumen end user membeli gas dari para gas trader (broker) tanpa fasilitas di downstream sector yang mengambil margin sehingga harga jual gas lebih tinggi yang tidak mencerminkan komponen biaya yang sewajarnya – tentunya setelah memenangkan beauty contest di upstream dengan memanfaatkan fasilitas transmisi pipa sehingga akan tersedia kebebasan memilih/menentukan kontrak gas dengan kualitas gas, harga jual gas dan layanan yang terjamin bagi konsumen, penerapan TPA ini  akan lebih menguntungkan (doubled benefits) jika dilakukan oleh konsumen-konsumen gas besar seperti PLN, pabrik pupuk dan industri skala besar. Misalkan dalam kasus di Jawa Timur diatas, seharusnya konsumen-konsumen CNG dapat memperoleh pasokan gas langsung dari KEIL selaku produsen gas di sektor hulu tentunya setelah melalui proses due diligent dari SKK Migas.

4.No price controls on gas sales, harga jual gas dilepas untuk dikompetisikan dimana harga gas yang paling murah akan diperebutkan pasar sehingga konsumen akan diuntungkan dengan tersedianya gas yang murah, konsumen ditawarkan beberapa pilihan harga yang bervariasi dari gas seller atau produsen gas. Penerapan mekanisme business to business tersebut lebih diutamakan bagi konsumen besar seperti pembangkit listrik dan industri skala besar, namun untuk kategori rumah tangga (households/residential) dan komersial kecil perlunya diterapkan pengaturan harga jual gas berdasarkan by-default tariffs oleh Pemerintah untuk memproteksi timbulnya socio-impact pada masyarakat yang mengacu pada perhitungan daya beli masyarakat (affordable) terhadap harga gas maupun listrik yang dikonsumsi sektor hunian setiap bulannya dengan memperhatikan perbedaan pola konsumsi nasional (typical consumption levels) seperti metodologi Household Energy Price Index (HEPI) yang diterapkan di negara-negara Eropa. Misalkan dalam kasus di Jawa Timur diatas, seharusnya konsumen-konsumen CNG dapat bernegosiasi dengan produsen-produsen gas di wellhead (hulu) tentunya dari lapangan gas yang berbeda dari KEIL ataupun dari Pertamina EP Jawa Bagian Timur, tanpa dibebankan penambahan komponen biaya harga jual gas setelah melalui rantai gas broker.

5.Regulation of access including Use-Of-System (UOS) charge, pengaturan akses pipa yang memasukkan struktur pemungutan tariff dan rate sebagai konsekuensi pengembalian biaya modal untuk pengangkutan gas kepada shipper oleh pemilik pipa (transporter), namun juga terkait dengan jasa penyediaan kapasitas pipa (capacity available) yang berhubungan langsung dengan biaya-biaya fixed (indirect costs), operation and maintenance (O&M), gas losses di sepanjang pipa transmisi dan biaya tambahan lainnya namun belum termasuk biaya penambahan sambungan baru (connection charge) yang masuk dalam komponen niaga (commercial) yang harus dipisahkan. Penerapan tariff saat ini berbasis pada perhitungan weighting average cost of capital (WACC) dimana besarannya dipatok sama dengan IRR yang menurut badan usaha pengusahaan pengangkutan kurang begitu menarik mengingat besaran margin terpaut tipis sekali dengan cost of capital yang telah dikeluarkan dengan persentase rate pengembalian investasi yang cenderung relatif kecil guna meminimalisir munculnya biaya-biaya tambahan di tengah jalan sebelum sampai di end-user konsumen sementara kontrak-kontrak jual beli gas dalam negeri banyak yang short-term hanya berkisar 2-3 tahun sehingga sulit/lama untuk memperoleh jaminan security pengembalian investasi pengangkutan gas. Kesulitan menghitung usulan tariff dengan metode WACC yaitu ketika harus dihadapkan pada penentuan parameter Beta – sensitivitas laju pengembalian asset perusahaan terhadap pergerakan pasar modal yang nialinya dapat ditentukan dengan mengacu pada badan usaha lain yang sejenis yang sudah established jika badan usaha yang bersangkutan tidak meiliki nilai tersebut – yang digunakan untuk estimasi capital asset yang menunjuk pada nilai prediksi “future situation” sementara risk premium mengacu pada angka-angka "historical" yang fluktuatif serta rasio rata-rata debt cost dan equity cost tidak selalu konstan yang dipengaruhi factor-faktor lainnya. Bagi badan usaha baru terutama dengan skala kecil akan kurang relevan jika harus mengadopsi parameter-parameter badan usaha yang sudah established tersebut – seperti PGN yang namanya sudah terdaftar sebagai public company di BEI – padahal sesivitas finansial mereka memang tidak dipengaruhi oleh pergerakan pasar modal namun langsung dipengaruhi cash flow.

Deregulasi gas market di sektor hilir dalam rangka peningkatan pemanfaatan gas untuk kepentingan dalam negeri tentunya sejalan dengan tag-line semangat Pro-Growth yang mampu mendorong partisipasi badan usaha dan pengalokasian kebutuhan market share (lifting minyak, pembangkit listrik, pabrik pupuk/fertilizer, industri dan hunian/household) melalui penyediaan gas sebagai feedstock maupun komoditas untuk wholesale dan retail ataupun sebagai bahan bakar (fuels) yang menggerakan roda produktifitas perindustrian untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional, Pro-Job yang dapat menciptakan multiple effect melalui prioritas pengalokasian gas untuk dalam negeri didukung kebijakan pengurangan alokasi ekspor gas dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi dengan harapan sektor industri nasional akan tumbuh diikuti terbukanya lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang semakin luas dan kompetitif, Pro-Poor yang bisa menjamin ketersediaan energi murah berbahan bakar gas menggantikan BBM yang langka dan mahal demi kesejahteraan rakyat miskin melalui pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan unit-unit usaha kecil di masyarakat dan Pro-Environment yang dapat memenuhi standar sumber energy yang bersih dan ramah lingkungan menghasilkan sedikit emisi CO2 membantu mengurangi efek climate change yang dihadapi seluruh negara dunia saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun