Dalam beberapa hari terakhir ini pemberitaan mengenai kenaikan harga BBM subsidi akan terus mewarnai wajah media lokal maupun nasional menjadi isu masif yang paling banyak orang bicarakan. Semua orang saling berargumentasi menyatakan pendapatnya akan untung-rugi, baik-buruk kebijakan Pemerintah ini; terlepas dari benar atau salah masyarakat telah teredukasi terhadap bagaimana SDA selama ini dikelola dengan bersliwerannya informasi dan opini. Brainstorming membuat masyarakat menjadi kritis, ada yang pro dan kontra terhadap kebijakan harga BBM subsidi dinaikan. Sebagian yang pro beralasan memang sudah sepantasnya BBM subsidi naik karena sejak 2004 Indonesia telah menjadi net importer minyak membelinya dari pasar internasional dengan harga yang sangat tinggi dan sangat volatile ditambah gaya konsumtif memperparah jebolnya APBN dimana Pemerintah harus nombok setiap tahunnya untuk menutup defisit finansial negara, biaya subsidi diharapkan lebih tepat menyasar rakyat miskin dengan alokasi pada sektor-sektor produktif. Sementara sebagian yang kontra beralasan momentum kenaikan harga BBM subsidi kurang tepat di saat harga minyak international pada oil indexation mengalami tren penurunan hingga di kisaran fluktuatif 80 USD/barrel sedangkan APBN telah dipatok 105 USD/barrel untuk alokasi mensubsidi oleh DPR sehingga terdapat kelebihan surplus biaya dari selisih dimana Pemerintah dapat mengambil idle funding tersebut jika beralasan untuk tujuan perbaikan infrastruktur demi membantu masyarakat miskin, namun ternyata justru membebani biaya hidup mereka dengan ikut naiknya kebutuhan pokok lainnya.
Semua argumentasi diatas rasanya memang realistis dan benar jika ditinjau dari perspektif keekonomian saja (economic performance) yang sangat erat dengan nilai untung rugi dalam hitung-hitungan keuangan. Mengingat sektor migas menjadi ranah hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat UUD dan saat ini sumber daya vital milik negara yang tidak terbarukan ini mulai menipis, baik itu karena terjadinya natural depletion di sumur-sumur migas maupun melonjaknya demand side yang melebihi supply side, dapat diasumsikan bahwa karakteristik pengelolaan energi utamanya migas Indonsia kini identik sebagai public utility model, dimana Indonesia bukan lagi merupakan negara kaya minyak dan kekayaan SDA harus digunakan untuk kepentingan rakyat. Dalam buku Kunneke (2002) negara yang menganut prinsip public utility model akan cenderung menuju pada market failure oriented dalam setiap ciri-ciri pengambilan kebijakan strategis Pemerintahan. Dalam terapan model tersebut, selain economic performance terdapat perspektif lainnya, yaitu public value dan technical integrity. Sebagai batasan, karena dampak kenaikan harga BBM subsidi berdampak pada semua lapisan kategori masyarakat dan pemenuhan barang/jasa di masyarakat, maka public value menjadi konsen dalam evaluasi kebijakan Pemerintah disini dengan mengesampingkan aspek technical integration. Penilaian akan kebijakan Pemerintah dapat ditinjau pada beberapa point dalam prinsip-prinsip public value, bagaimana melihat orientasi dan tujuan kebijakan tersebut, bagaiman keberpihakannya.
·Prosperity vs. Wealthy
Dalam mengambil kebijakan dan decision making, Pemerintah wajib mengikuti payung perundang-undangan yang berlaku, tanpa tunduk pada undang-undang tertinggi maka secara hokum kebijakan dan peraturan dapat dianggap cacat secara ekstrim bisa dianggap batal. UUD 1945 telah mengamanatkan pada Pasal 33 ayat 3 bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jelas disebutkan bahwa tujuan penguasaan SDA oleh negara adalah untuk kemakmuran rakyat banyak (prosperity), semua harus bermuara pada penciptaan kesejahteraan atau dengan kata lain pengentasan kemiskinan rakyat. Sementara saat ini, alasan-alasan dan latar belakang pemanfaatan SDA nasional mengerucut hanya perlakuan sebagai penyumbang devisa/pendapatan negara semata-mata (wealthy), direfleksikan berupa angka-angka APBN Pemerintah yang bisa naik dan turun. Setidaknya terjebak pada akumulasi angka-angka pendapatan (income state), berhenti tanpa diteruskan dan dikonversikan untuk kemakmuran rakyatnya. Jika bernilai positif dianggap negara untung, jika negatif negara merugi. Dengan memangkas subsidi BBM dianggap telah menyelamatkan keuangan negara, sementara dampak negatif domino sangat dirasakan secara langsung utamanya oleh masyarakat miskin, belum menyentuh ke arah kepentingan rakyat sebatas tataran tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hingga saat ini Pemerintah tampaknya condong berhenti hanya pada opsi peningkatan pendapatan negara saja, wajib diteruskan menuju penciptaan kemakmuran sebenarnya.
·Utility vs. Commodity
Energi merupakan kebutuhan pokok yang sangat strategis bagi suatu negara, namun sifatnya yang strategis dapat hilang jika salah dalam pengelolaan dan menyusun dasar arah kebijakan. BBM merupakan energy resource akan menghasilkan tenaga (power), dari tenaga akan diperoleh faedah (utility) misal salah satunya dalam bentuk listrik yang memberikan manfaat turunan untuk penerangan, termal, kinetis dsb. Dengan kalimat lain, BBM merupakan bahan baku (feedstock) yang dapat dimanfaatkan atau dikonversi untuk memberikan nilai tambah (added value) menghasilkan efektifitas yang memudahkan pekerjaan maupun keuntungan finansial lebih dari hasil olahan produk baru. Secara ekonomi, BBM sebagai energi juga dapat diartikan sebagai bahan yang dapat diperjualbelikan (tradable) dengan serta merta diperdagangkan, ditukar dan dinilaikan dengan uang walaupun dalam bentuk bahan baku, menjadi suatu komoditas (commodity). Selama ini dapat dilihat bahwa di sektor transportasi, BBM hanya diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan sesuai dengan nilai energi mentah (initial energy) tanpa memberikan nilai tambah. Sebagai contoh BBM jika dikonversikan untuk menghasilkan tenaga listrik akan mendorong mobil bertenaga listrik yang hemat dan ramah lingkungan, dapat difungsikan sebagai buffer stock untuk pembangkit tenaga listrik saat peak period, diolah untuk produk-produk turunan tekstil dan plastik. Dapat dilihat pada struktur Subsidi Energi 2015 dimana subsidi BBM sebesar Rp276 triltun (80%) lebih besar dan tidak sebanding dengan subsidi Listrik sebesar Rp68,7 trilyun (20%), tampaknya Pemerintah lebih mengutamakan subsidi BBM yang hanya untuk ‘dibakar’ yang hanya untuk sektor transportasi ketimbang untuk menghasilkan manfaat berantai (multiplying effect) yang menyentuh hampir semua sektor yang membutuhkan energi. Pemerintah harus mengubah pola pemikiran BBM bukan hanya sebagai produk komoditas yang langsung dapat dijual untuk diuangkan tetapi juga harus mampu mengoptimalkan nilai tambah/lebih dan manfaat berantai bagi rakyat.
·Subsidization vs. Compensation
Selama ini Pemerintah kerepotan menangani pengelolaan BBM subsidi, sudah mengalami penurunan produksi minyak akibat natural depletion dari sumur-sumur tua dan minimnya kegiatan eksplorasi menemukan cadangan baru, diperparah dengan melonjaknya konsumsi BBM dalam negeri. Namun Pemerintah hingga sekarang masih terjebak dengan hanya berupaya keras mengelola BBM subsidi, menyita semua daya keuangan dan program energi strategis lainnya terutama untuk diversifikasi energi dan penemuan energi terbarukan pengganti BBM. Perhatian dan kebijakan Pemerintah hanya fokus pada pemberian subsidi BBM ketimbang mencari solusi visioner dari permasalahan akut yang berlarut-larut, Pemerintah musti mencari sumber-sumber energi lain terutama non-fosil jika ingin terlepas dari sandera subsidi BBM. Sebesar apapun usaha Pemerintah mengurangi beban subsidi BBM (subsidization) akan sia-sia, gap defisit supply akan terus menganga akibat ketergantungan impor BBM tanpa diimbangi usaha diversifikasi energi alternatif/baru dengan mengalihkan biaya subsidi BBM sebagai biaya pengganti (compensation) untuk kemudahan bantuan dana/modal dan penemuan inovasi teknologi untuk energi terbarukan (renewable). Pemerintah sebaiknya berpihak pada relokasi biaya subsidi BBM untuk kompensasi penemuan energi tandingan BBM, energi (baca: BBM/fosil) harus dilawan dengan energi (baca: baru dan terbarukan).
·Price vs. Service
Teoritisnya, dua parameter tersebut saling mempengaruhi dan berbanding lurus. Kenaikan komponen harga (price) akan diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan (service), atau sebaliknya layanan yang prima membutuhkan biaya tinggi sebagai konsekuensinya. Kenaikan harga yang diikuti dengan penyediaan dan peningkatan fasilitas dan jasa pelayanan tentunya juga akan mengurangi resiko biaya sosial jika produk tersebut berkaitan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat. Seperti halnya harga BBM subsidi yang mengalami kenaikan, maka harapan yang muncul adalah peningkatan fasilitas pendistribusian akan jaminan ketersediaan BBM terlepas dari kelangkaan ataupun failitas umum pendukung lainnya (kendaraan dan sarana transportasi yang nyaman dan nyaman) dan layanan pengawasan untu penindakan praktek-praktek illegal (pengoplosan dan penimbunan). Disini Pemerintah tampak terburu-buru mengambil kebijakan pintas, kenaikan harga BBM tanpa diimbangi perbaikan fasilitas umum ataupun penyediaan sumber energi baru pengganti BBM seperti gas bumi (CNG, NGV) untuk transportasi, masyarakat harus ‘dipaksa’ memilih kenaikan harga BBM tanpa opsi. Pemerintah terlanjur menetapkan kenaikan harga BBM subsidi tanpa dibarengi ‘ganti rugi’ service dan fasilitas umum yang layak, wajar jika terjadi penolakan dari masyarakat umum. Ini yang tengah terjadi saat ini.
·Profit vs. Benefit
Lazimnya dalam laporan finansial untuk mencapai rate of investment, korporasi akan memasukkan komponen biaya dan keuntungan dalam setiap produknya pada level harga keekonomian dengan tetap mempertimbangkan cost reflective. Semua corporation action tujuan utamanya adalah untuk mencapai keuntungan (profit), semua dihitung dan dievaluasi untung-rugi dalam setiap perencanaan dan laporannya. Jika peruntukkan kenaikan BBM subsidi sebatas hanya untuk menahan agar APBN tidak jebol, agar neraca keuangan negara tidak defisit, supaya Pemerintah tetap memiliki modal; maka Pemerintah terjebak dalam framing perusahaan dan pengusahaan (business undertaking). Jika Pemerintah hanya berhenti pada orientasi tersebut, dengan kata lain Pemerintah telah melaksanakan fungsi sebagai korporasi. Pemerintah sebagai pengelola negara yang berkuasa atas SDA startegis, seperti yang diamanatkan UUD, wajib memberikan manfaat (benefit) sebesar-besarnya bagi rakyat. Pemerintah harus mengutamakan azas-azas kemanfaatan bukan hanya terpaku pada pencapaian negara sehat secara finansial. Harapannya adalah negara yang untung, rakyat juga beruntung.
Dalam perspektif economic performance, kalau pun Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dengan alasan akan dialokasikan pada sektor-sektor produktif melalui penghematan di angka-angka APBN demi kepentingan kesejahteraan rakyat, ternyata berbeda dalam ukuran perspektif public value masih banyak yang harus diluruskan kembali arah kebijakan dan paradigm pengelolaan BBM paska pengurangan biaya subsidi oleh Pemerintah.
Dahulu, para founding father bangsa ini telah sepakat bahwa bentuk negara adalah: Negara Kesatuan Re-publik Indonesia, bukan Negara Kesatuan Re-ekonomik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H