Terorisme adalah suatu isu yang menjadi perbincangan secara berkala dan menjadi salah satu fokus utama dalam isu keamanan. Istilah terorisme sendiri menjadi kata yang sering diucapkan terhadap berbagai macam aksi dan subjek perseorangan atau kelompok.
Menurut anggota DPR (Dewan Republik Indonesia), Paskalis Kossay, pada masa jabatannya mengatakan bahwa terorisme adalah sama dengan separatisme (Antara News, 2010). Hal tersebut merujuk kepada penangkapan beberapa orang yang keluar dari kamp pelatihan di Aceh oleh Polri (Polisi Republik Indonesia).
Menurut Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), Jenderal TNI (Tentara Nasional Indonesia) (purn) A.M. Hendropiyono, OPM (Organisasi Papua Merdeka) bukanlah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) (CNN Indonesia, 2019).
Lanjutnya, seharusnya OPM merupakan pemberontak yang harus masuk ke dalam daftar teroris internasional. Selain itu, istilah terorisme sering dipakai untuk melabeli suatu agama tertentu.
Menurut CfMM (Centre for Media Monitoring) dalam suatu risetnya, terjadi ketimpangan penggunaan label pelaku terorisme antara Islam dan kelompok supremasi kulit putih oleh media di Inggris (Hanif, 2020). Bahkan, ketimpangan pelabelan istilah terorisme antara Islam dengan neo-Nazi, supremasi kulit putih, dan kanan-jauh tersebut terdeteksi hampir sembilan kali lebih banyak.
Akibatnya, pelabelan tersebut terkesan melebar dan menjadi buram sehingga hal-hal yang identik dengan Islam seperti ras arab dan pakaian syar’I dipandang sebagai simbol-simbol terorisme. Namun, ternyata pelabelan istilah terorisme berbeda-beda tergantung masanya dan tergantung tempatnya.
Pada tahun 1790-an, istilah terorisme dilabelkan kepada revolusioner di Prancis (Jenkins, 2020). Lantas, sudah benarkah penggunaan istilah tersebut dalam perbincangan yang beredar? Apakah sejatinya terorisme itu?
Tidak ada kesatuan definisi dari terorisme di seluruh dunia. Bahkan, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagai organisasi global terbesar tidak memiliki definisi tunggal yang disepakati secara universal mengenai terorisme (UNODC, 2018).
Menurut Resolusi Sidang Umum PBB 49/60 (9 Desember, 1994), terorisme dapat dimaknai sebagai tindakan kriminal yang bermaksud atau direncanakan untuk memprovokasi suasana teror terhadap khalayak umum, kelompok, atau sebagian orang dengan tujuan politik dalam keadaan apapun yang tidak dibenarkan seperti politik, filosofi, ideologi, ras, etnis, agama, atau dalam keadaan lain yang digunakan sebgai pembenaran mereka (Department of Emergency and Military Affairs, n,d.).
Sedangkan di dalam Dewan Keamanan PBB, ada penambahan tujuan yaitu dengan maksud menyebabkan kematian, luka tubuh serius, dan penyanderaan serta adanya intimidasi dan pemaksaan terhadap penduduk, pemerintah, atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Department of Emergency and Military Affairs, n,d.).
Kedua perbedaan tersebut adalah contoh dari sekian banyak perbedaan yang ada di tubuh PBB. Selain itu, masing-masing anggota juga memiliki perbedaan definisi. Di dalam suatu negara pun juga terdapat beragam perbedaan definisi mengenai terorisme. Keadaan tersebut membuat pelabelan terorisme menjadi kabur dan samar sehingga menimbulkan reaksi dan sikap yang berbeda pula.