KUALIFIKASI PENYALAHGUNA, PECANDU DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM IMPLEMENTASI UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
A. Pendahuluan.
Istilah “Narkotika” pada dasarnya adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “Narkoun” yang artinya membuat lumpuh atau mati rasa. Selanjutnya berdasar Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009, pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).
Pada dasarnya, sifat umum dari penggunaan narkotika ada tiga, yaitu Depresan, Stimulan dan Halusinogen. Depresan adalah bersifat menekan sistem syaraf hingga pengguna narkoba jenis ini bisa tidak sadarkan diri, bahkan detak jantung semakin melemah. Sifat yang kedua adalah Stimulan, yaitu bersifat memberikan rangsangan pada sistem syaraf sehingga memunculkan kebugaran yang berlebih dan memiliki kecenderungan untuk selalu segar dan fit pada saat menggunakan narkoba, misalnya penggunaan jenis shabu. Yang ketiga adalah Halusinogen. Sifat dari narkoba ini adalah bersifat memunculkan angan-angan yang dipaksakan seolah-olah sesuai dengan kenyataan walaupun hal itu tidak mungkin terjadi, contohnya penggunaan ekstasi. Dari ketiga sifat tersebut yang menjadi sasaran utama adalah sistem syaraf yang tentu akan merubah tingkat pemikiran maupun kesadaran seseorang. Namun yang lebih fatal lagi bila disalahgunakan adalah mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh, mulai jantung, paru, hati dan ginjal. Jadi pada dasarnya yang diserang adalah fisik maupun psikologis seorang pengguna.
Selain efek negatif yang diderita secara fisik dan psikis yang bersifat memabukkan atau menjadikannya dibawah alam sadar bagi pengguna narkoba, maka ditinjau dari perspektif syariah islam, penggunaan sesuatu yang membuat penggunanya dibawah alam sadar telah jelas dilarang, hal tersebut tercantum pada firman Allah SWT, yaitu :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلوةَ وَ اَنْتُمْ سُكرى حَتّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ. النساء
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat padahal kamu sedang mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. [QS. An-Nisaa' : 43]
Mencermati akibat negatif yang ditimbukannya tersebut, maka penyalahgunaan Narkotika sungguhlah mempunyai dampak negatif yang luas bagi kelangsungan pembangunan generasi muda baik itu dari segi hubungan moral keagamaan (Habluminalloh) maupun dari segi sosial kemasyarakatan (Habluminannas).
Mengenai kuantitas penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, keadaan tersebut sungguhlah memprihatinkan. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (KELIMA) DKI Jakarta yang menyebutkan pengguna Narkoba di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 5 juta orang. Selain itu, menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia sampai dengan bulan September tahun 2013, penghuni Lembaga Kemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang terjerat kasus Narkoba sebanyak 55.650 orang, yang terdiri dari Bandar (Pengedar) sebanyak 30.644 orang dan penyalahguna sebanyak 25.006 orang.
Di dalam menanggulangi peredaran dan penyalahgunaan Narkotika yang cukup tinggi tersebut, maka telah diberlakukan berbagai regulasi tentang pemberantasan kejahatan narkotika yang dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie) Stbld. 1927 No. 278 Jo No. 536, lalu diganti oleh UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997 dan terakhir diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain itu, ada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang melaksanakan dan memperjelas aturan-aturan UU Narkotika tersebut seperti Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI No : 46 Tahun 2012, Peraturan Menteri Kesehatan RI No : 2415/MENKES/PER/XII/2011, Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2011.
Menurut Anang Iskandar, tujuan dibentuknya UU No. 35 Tahun 2009 adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, tetapi dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap tujuan Undang-Undang tersebut, maka penyalahguna dikonstruksi dengan pasal di luar pasal pengguna (Pasal 127) yang berorientasi pada bukan tindakan rehabilitasi.
Berangkat dari latar belakang diberlakukannya regulasi penanggulangan kejahatan narkotika serta kondisi yang dikemukakan oleh Anang Iskandar selaku Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia tersebut di atas, maka di sini penulis perlu membahas hal-hal yang signifikan yaitu mengenai kualifikasi Penyalah guna, Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sehingga nantinya dapat diketahui kontruksi pasal yang relevan dengan kapasitas seseorang yang dituduh pelaku kejahatan narkotika serta pidana atau tindakan yang dikenakan kepadanya.
B.Kualifikasi Penyalahguna, Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Pengertian Penyalahguna menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sehingga untuk menentukan suatu perbuatan itu bersifat tanpa hak atau melawan hukum, maka perlu diketahui terlebih dahulu dasar aturan hukum yang melegitimasi orang untuk bisa mempergunakan Narkotika.
Di dalam Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 disyaratkan bahwa Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selanjutnya di dalam Pasal 8 UU tersebut lebih membatasi penggunaan Narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum.
Pelanggaran aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 sebagai parameter sifat melawan hukum dalam penyalahgunaan Narkotika tersebut di atas atau dapat dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil, selaras dengan pendapat Simons tentang pengertian sifat melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang saja, karena frasa Hukum disini dipandang sama dengan Undang-undang.
Lalu bagaimana dengan seorang pecandu Narkotika ? apakah ia mempunyai hak dan perbuatannya tidak melawan hukum jika menggunakan narkotika ataukah sebaliknya? sebelum kita mengulas lebih jauh tentang hak atau perbuatan melawan hukum seorang pecandu, maka kita telaah terlebih dahulu pengertian Pecandu Narkotika, karena itu berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 54, Pasal 55 serta Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Di dalam Pasal 1 Angka 13 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa Pecandu Narkotika adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu Narkotika yaitu : 1. orang yang menggunakan Narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik maupun psikis, dan 2. orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan secara fisik maupun psikis.
Untuk tipe yang pertama, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Kategori seperti itu, dikarenakan penggunaan narkotika tersebut sesuai dengan makna dari Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya Pecandu yang dimaksud adalah seorang pecandu yang sedang menjalankan rehabilitasi medis khususnya dalam proses intervensi medis. Sehingga bila ada seorang Pecandu yang sedang menggunakan narkotika dalam kadar atau jumlah yang ditentukan dalam proses intervensi medis pada pelaksanaan rawat jalan, kemudian dia tertangkap tangan menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri dan perkaranya diteruskan sampai tahap pemeriksaan di Pengadilan, maka sudah sepatutnya ia tidak terbukti bersalah menyalahgunakan narkotika dan jika Pecandu memang membutuhkan pengobatan dan/atau perawatan intensif berdasarkan program assesmen yang dilakukan oleh Tim Dokter/Ahli, maka berdasarkan Pasal 103 Ayat (1) huruf b UU No. 35 Tahun 2009, Hakim disini dapat menetapkan Pecandu yang tidak terbukti bersalah tersebut untuk direhabilitasi dalam jangka waktu yang bukan dihitung sebagai masa menjalani hukuman dan penentuan jangka waktu tersebut setelah mendengar keterangan ahli mengenai kondisi/taraf kecanduan Terdakwa.
Selanjutnya untuk Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatannya. Pengkategorian seperti itu didasarkan pada pengertian Penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, dimana ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai penjabaran unsur tanpa hak atau melawan hukum telah dipaparkan penulis sebelumnya yaitu pada pokoknya seseorang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum.
Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika tipe kedua adalah sama-sama menyalahgunakan Narkotika, hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sehingga bagi pecandu Narkotika tipe kedua tersebut hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dalam jangka waktu maksimal yang sama dengan jangka waktu maksimal pidana penjara sebagaimana tercantum pada Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.
Sebagai tolok ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi seorang pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA RI No. 07 Tahun 2009, yang menyebutkan seorang pecandu dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi dengan kriteria :
a.Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
b.Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1.Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
2.Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3.Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4.Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
5.Kelompok Ganja seberat 5 gram.
6.Daun Koka seberat 5 gram.
7.Meskalin seberat 5 gram.
8.Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9.Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
10.Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11.Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
12.Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
13.Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
14.Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
15.Kelompok Kodein seberat 72 gram.
16.Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
c.Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik.
d.Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
e.Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut diatas dapat juga dijadikan tolok ukur bagi seorang penyalahguna yang diancam pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Karena secara logika, antara pecandu dengan penyalahguna adalah sama-sama menyalahgunakan narkotika, hanya saja untuk membedakannya perlu terlebih dahulu dilakukan suatu asesmen atau pembuktian bagi Tersangka atau Terdakwa hingga dapat diketahui oleh Hakim apakah Terdakwa tersebut adalah seorang Pecandu yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap narkotika ataukah hanyalah Penyalahguna yang bukan seorang pecandu. Misalnya seseorang tertangkap tangan memiliki dan menyalahgunakan Narkotika Golongan I dengan jumlah maksimum (sesuai kriterium pada butir 2 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010) untuk dirinya sendiri, kemudian setelah dilakukan pemeriksaan medis (asesmen) dan/atau pemeriksaan alat-alat bukti di persidangan terungkap bahwa ia bukanlah seorang pecandu atau korban penyalahgunaan Narkotika, maka Terdakwa tersebut patut dikenakan pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009, jadi bukan dikenakan tindakan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009.
Mengenai tidak dikenakannya tindakan rehabilitasi medis dan sosial terhadap Penyalahguna sebagaimana tersebut diatas, dikarenakan di dalam Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 hanya mewajibkan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika yang menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Selain tidak dapat dikenakan tindakan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009, maka seorang penyalahguna yang dikenakan ancaman pidana dalam Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, walaupun Penyalahguna kedapatan membeli, menerima, menyimpan, menguasai, membawa dan memiliki Narkotika, juga tidak dapat dikenakan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124 dan Pasal 125 UU No. 35 Tahun 2009 sepanjang didalam perbuatannya dan diri Terdakwa Penyalahguna Narkotika tersebut terdapat kriterium :
a.Pada saat ditangkap diketemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1.Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
2.Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3.Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4.Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
5.Kelompok Ganja seberat 5 gram.
6.Daun Koka seberat 5 gram.
7.Meskalin seberat 5 gram.
8.Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9.Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
10.Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11.Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
12.Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
13.Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
14.Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
15.Kelompok Kodein seberat 72 gram.
16.Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
b.Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Selanjutnya yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika, menurut penjelasan Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009, adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika. Dengan demikian seorang korban penyalahgunaan narkotika harus terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan mempergunakan narkotika secara melawan hukum dikarenakan adanya keadaan (seperti dipaksa atau diancam) yang membuat ia mau tidak mau menggunakan Narkotika atau karena ketidaktahuan yang bersangkutan kalau yang digunakannya adalah narkotika (seperti ditipu, dibujuk, atau diperdaya).
C.Penutup
Dari uraian tersebut di atas, maka sebagai penutup dari tulisan ini yaitu bahwa antara penyalahguna, pecandu dan korban penyalahguna narkotika sebagaimana dimaksud pada UU No. 35 Tahun 2009 yang kemudian diperjelas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No. 4 Tahun 2010, terdapat suatu perbedaan yang jelas dan dapat dibuktikan melalui proses asesment atau pengujian atas pengguna Narkotika yang menunjukan apakah ada ketergantungan yang tinggi terhadap Narkotika ataukah sebaliknya, maka itu di dalam penanganan kasus kejahatan narkotika, para penegak hukum (Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim) diharapkan untuk mengoptimalkan pembuktian yang berkaitan kualifikasi penyalahguna, pecandu atau korban penyalahguna Narkotika melalui proses asesment tersebut serta jumlah kadar Narkotika yang dimiliki oleh Pengguna sebagaimana ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No. 4 Tahun 2010, sehingga nantinya dapat tepat menjatuhkan pidana penjara yang diatur dalam Pasal 127 atau menjatuhkan tindakan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
A.R. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
______________, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
______________, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2415/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Rehabilitasi Media Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
______________, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Simons D, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), terjemahan P.A.F. Lamintang, Bandung, Pionir Jaya.
Surat Kabar Harian Kompas, 22 Oktober 2013, Setahun jadi 20 Tahun, MA naikkan hukuman perkara Psikotropika.
_____________, 24 Oktober 2013, Opini, Anang Iskandar Kepala Badan Narkotika Nasional RI, Dekriminalisasi Penyalahguna Narkoba,.
www.ANTARANEWS.com, KELIMA: pengguna narkoba mencapai 5 juta orang, 29 April 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H