ilustrasi-banjir-net
Mendung terasa suram. Mengelilingi cakrawala atas kehendak siapa? Siang tampak iba memberi arti. Matahari geli memperlihatkan tubuh dan sinarnya. Pohon menari saat air meludahinya. Burung mengitari sayap yang dikira induk. Tetapi apakah dia induknya?
Perasaan iba menyentuh dengan penuh tanda tanya. Tetapi ada yang terbang menyelamatkan burung itu? Sepintas harus dibiarkan. Itu urusan mereka yang di atas! Pertanyaan dan guman sambil meninggalkan kerumunan burung-burung itu. Sebentar ku ayunkan sepeda onthel menelusuri jalan, tikungan, dan tanjakan. Tak terasa jembatan kayu kelapa membujur. Dulu seingatku terdapat pohon beringin rindang di dua ujung jembatan itu. Setiap hari ku melintas mengajar di sekolah seberang. Sekarang aku hanya pria tua yang pindah dari tempat satu ke tempat yang lain.
Pernah aku akan kendat gantung diri di kamar mandi tetapi tidak jadi talinya putus. Patah tulang pada kaki. Aku pun pernah menancapkan jari telunjuk ke terminal listrik. Namun beruntung listrik ada pemadaman. Aku benar-benar tak kuat melanjutkan beban hidup ini. Pikiran waktu itu. Terlalu cengeng. Di manakah dia sekarang? Sepertinya beranjak dari tempat duduk.
Lantas aku pun berhenti. Tak ada rencana tentang berhenti itu. Hanya pikiran dan nurani tiba-tiba membujuk berhenti. Duduk menyendiri di atas rumput hijau. Aku hanya duduk di bawah beringin itu. Sekadar melepaskan rasa kesal dan capek setelah mengayun sepeda onthel kurang dari satu jam lebih. Sumi! Semacam bayangan yang tiba-tiba datang menyapa. Hanya pikiran yang mungkin terlalu banyak memikirkannya. Apakah dia seperti ku yang harus menanggung semuanya atau lebih?
*****
Sepoi angin menghembus. Malam begitu redup karena mendung. Udara semakin membuat tak karuan. “Adam sekarang aku sudah tahu cintamu, tetapi kamu sudah menikah dengannya.”
Kami pun makin larut dalam buaian cerita.
“Tetapi aku sangat mencintaimu. Apapun alasannya atau sebenarnya.”
“Apakah kamu tidak menimbang dulu atau memikirkan dulu tentang, mungkin keluarga. Atau anakmu yang kini sudah sekolah?”
“Sumi. Itu semua sudah aku pikirkan. Aku sudah mencapai titik.”
Cermin cembung terjadi titik fokus dalam suryakanta membakar kertas.
“Sumi, sudahlah itu hanya dan menjadi dan tanggungjawab ku. Tak usah kau pikirkan atau kamu jadikan berlarut-larut.”
Cahaya di rumah seolah membantu menjelaskan alasan apa yang ku tawarkan dalam sebuah diskusi.
“Tidak, Adam! Nembe mawon baru saja, ada ulasan memberi alasan dalam pikirku.”
“Hubungan sudah lama dan tidak ada apa-apa? Aku menganggap hanya urusan biasa.”
“Sudahlah! Ini asing bagi mereka tetapi ini suatu budaya. Bukan tapi ini sebuah takdir yang harus mencintaimu. Sebuah kesalahan apabila mereka menyalahkan hubungan kita. Hanya sekadar ini menyalahi aturan atau yang kita kenal dengan penyimpangan sosial norma adat dan agama. Toh mereka sendiri pasti akan melakukannya. Tentu seperti kita, ketika mereka harus berurusan dengan denyut cinta seperti kita. Mereka itu siapa? Tuhan? Mereka itu hanya manusia biasa! Mereka juga bisa melakukan itu. Hak kita juga.” Keterangan yang panjang.
Langit semakin hitam entah mengapa belum turun juga hujan. Hanya suara guntur sahut-menyahut. Memberikan pertanyaan dan jawaban, tanya jawab bak dialog. Hanya bergantung kepada mereka bukan mereka bergantung kepada kita. Tuhan tidak merasa sedih apabila hambaNya tidak menyembahNya itu terserah manusianya saja?
“Adam hanya kepadamu cintaku?”
Hati berdebar tak kuasa menahan kegembiraan. Mengitari semak-semak hati. Merasuk ke seluruh organ tubuh. Seperti semut mengawali kehidupan mencari makanan, mengerubuni makanan.
“Seperti halnya diriku”.
Kebisuan malam itu menjadi nuansa baru. Membuka tali cinta kasih sayang. Semakin rindu dalam hati dan jiwa menjalin hubungan. Sedalam hati manusia. Malam makin larut. Hanya terdengar kebisingan deru mobil, sepeda motor, dan teriakan penjual bakso, tahu tek, mie ayam, pangsit, dan bak pao yang melintas di depan rumah. Tak terasa semakin larut dan romantis. Keheningan dan gonggongan anjing tetangga terdengar. Begitu juga suara binatang malam mulai memberi nuansa lain.
“Sumi, sudahlah jangan dipikirkan. Itu hanya perasaanmu saja.”
“Tetapi Adam?” Sumi memalingkan wajahnya dengan penuh kekhawatiran. Aku pun selalu menyakinkannya.
“Tidak Sumi. Semua sudah ku pikirkan. Apapun resikonya.”
Tak tahu aroma atau gendam apa yang merasuki hatinya. Seperti kisah cerita Arjuna dan perempuan- perempuan cantik yang selalu menggoda dengan ketelanjangan. Tetapi Arjuna kuasa menahan gejolak nafsu yang berakhir dengan hadiah perempuan cantik Setyaningrum. Tetapi berbeda dengan ku yang harus merelakan nafsu merajai jiwa membungkam hati nurani. Melampiaskan titik noda cinta.
Aku di ruang tamu. Malam semakin larut. Mendung pun menutup rapat cahaya bulan sabit. Terlintas bayangan gerak daun-daun tertiup angin sepoi. Dingin terasa di tubuh. Malam Senin Pon kulihat kalender bergambar foto Sumi dengan senyum simpul membias di bibir. Tanpa make up menambah kecantikanya. Jam bergambar logo Korpri menunjukkan pukul 02.00.
Dorongan kuat dari mana? Aku tak sanggup menerka. Gejolak dan gelombang menyeruak kuat. Antara nafsu dan nurani mengalami pertarungan dahsyat. Ku langkahkan kaki menuju kamar.
Kiranya burung memberikan makanan kepada anaknya. Cit, cit, cit, cit,……dari dahan yang tak kelihatan. Pohon yang rindang membentuk kerumunan helaian.
*****
“Pak Adam!” Sapa Faris, muridku paling pandai. Seringkali menjadi pahlawan ketika hapalan sila-sila budi pekerti. Menyelematkan mereka yang tidak hafal berdiri hingga jam pelajaran selesai.
“Pak Adam, saya ingin bertanya. Kapan seseorang dihukum rajam?”
Lintasan pertanyaan anak ini sepertinya mengingatkan peristiwa hari-hari tersembunyiku dengan Sumi. Tak perlu dijawab atau khawatir karena seharusnya orang seperti ku sudah dihukum rajam mukson.
“Nanti saja kalau akan dibahas di kelas. Bapak akan terangkan detail.”
Mungkin saja penasaran bagi Faris. Aku langsung bergegas meninggalkannya. Berjalan menuju ke ruang guru. Sepertinya anak-anak, terlebih mereka yang selalu simpati kepada ku takkan pernah mau melepaskan dan menjauh dari ku.
Pandangan ku menjauh membuka mata ketika dari atas tampak gelombang deras air. Keruh. Batu-batu besar dan bekas genangan air meluap di plengsengan, banjir.
“Sumi, Sumi…” Cinta dalam batas norma. Keharuman dan kelembutan kulitmu dapat ku rasakan.
Malam itu, 12 November 2002. Dalam buaian kasih sayang, tempat peraduan membekas tetesan darah. Perbaduan cinta membentuk nuansa insani. Kami ulangi berapa kali, tetapi hanya hitungan jari.
“Adam, apakah kau tidak menyesal nanti?”
“Tidak, tidak akan menyesal seumur hidup. Semua ini sebuah perjalanan hidup yang harus dijalani.”
“Adam…, aku hamil!” menatap langit-langit yang gelap.
“Hamil! Aku bertanggung jawab. Akan nikahi mu.”
“Tetapi,…bagaimana dengan Hesti, istrimu?”
“Hesti, Hesti akan…..”
Pring!, Pring! Pyar! Gemuruh suara menyeruak menindas suara-suara malam. Batu yang terdampar setelah menabrak batu yang lain ketika banjir datang. Tetapi suaranya berbeda. Suara kaca pecah. Belum sempat bangun.
“Pak, Pak, nekat sekali!”
“Seret ke Balai Desa!”
“Pak Guru tidak waras.”
Suara keras dari mereka. Sambil membangun dengan sehelai sarung. Begitu juga dengan Sumi. Mereka tampak begitu beringas.
“Telanjangi saja guru ini.” Kulihat Arpin, muridku yang tak pernah hapal pelajaran dan selalu ku hukum berdiri teriak paling keras. Mereka mengikat dan memotong rambut. “Plontos”. Menarik dan membawa ke balai desa.
*****
Gemuruh suara mereka menyerupai suara batu. Membentur batu satu dengan yang lain. Berkeping-keping dan berpindah tempat.
“Ada orang hanyut!”
“Pul-ketimpul Kang Sot.”
Terdengar beberapa orang berteriak. Ku ingat selalu memori itu. Jika ada orang hanyut di sungai, maka mereka berteriak kalimat itu. Ku cari siapa orang dikabarkan hanyut. Berusaha lari menuju kerumunan orang di tepi sungai.
“Memang tadi tiba-tiba banjirnya. Pahadal di sini kan tidak hujan.”
“Tapi lihatlah Pak De, langit di atas putih hujan deras.”
Suara kerumunan terus menggetarkan telingaku. Jatuh dan jauh. Selendang ini! Benar ini milik Sumi, kaus, dan celana milik Aryo. Pakaian ditaruh di atas pinggir sungai kali kidul itu.
“Sumi….Sumi…. .“
Gumam selepas melihat gemuruh arus sungai.
(*****)
denpasar, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H