Masyarakat Jawa Barat yang mendiami Tatar Sunda dan Pesisir Utara atau Pantai Utara (Pantura) adalah masyarakat berakar religius. Semenjak pra Islam sampai saat ini, jati diri masyarakat Jawa Barat adalah religius. Dengan komposisi pemeluk agama Islam di Jawa Barat berjumlah 97 %, maka sepantasnya religiusitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah religiusitas Islam.
Bahkan untuk seluruh Indonesia, pemeluk agama Islam paling banyak tinggal di Jawa Barat, yakni mencapai 20,2 %. Dengan demikian, tidak berlebihan bila religiusitas dimaksud identik dengan kehidupan keagamaan masyarakat muslim Jawa Barat.
Masyarakat muslim Jawa Barat telah melewati bentangan sejarah yang panjang, setidaknya semenjak abad ke-15 M. Beberapa tokoh berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Yang paling terkenal dan dianggap pendiri Kesultanan Islam Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Sanga.
Memang, beliau bukan orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Berdasarkan historiografi lokal, tercatat nama Haji Purwa sebagai penyebar Islam pertama di Jawa Barat. Beliau adalah penyebar Islam di Nagari Singapura (berada di wilayah Cirebon), juga merupakan kakek mertua dari Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati atau Syekh Maulana Idlofi, pendiri Pesantren Quro Amparan Djati (Cirebon).
Tokoh penting lainnya adalah seorang Mubaligh dari Negeri Campa bernama Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik yang datang dan pernah tinggal cukup lama di Nagari Singapura (Cirebon). Kemudian beliau pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren di sana,dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro, guru dari neneknya Sunan Gunung Djati yang juga merupakan istri Prabu Siliwangi, yaitu Nyai Subang Larang.
Terlepas dari peran tokoh penting sebelumnya, Sunan Gunung Djati bisa dianggap sebagai peletak dasar masyarakat muslim Jawa Barat (dan Banten) pada abad ke-15 M. Terbentuknya masyarakat muslim bermula dari pesisir Utara, terus ke Selatan wilayah Jawa Barat. Penyebar Islam di Jawa Barat bagian Selatan yang terkenal adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya), yang hidup antara tahun 1650-1730 M.
Uraian di atas menegaskan bahwa Cirebon dan Tasikmalaya merupakan pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila sampai saat ini Cirebon dan Tasikmalaya merupakan daerah berjulukan kota santri.
Pesan Untuk Pemimpin
Menjelang wafat, Sunan Gunung Djati berwasiat: “Ingsun titip Tajug lan fakir miskin”. Di Cirebon (termasuk Indramayu), Tajug (musholla, langgar) tidak hanya sebagai tempat sholat, tetapi juga tempat belajar mengaji, terutama bagi anak-anak. Waktu belajar, umumnya ba’da maghrib sampai isya dan ba’da shubuh. Keberadaan Tajug bisa ditemui di tiap blok, RT, dan RW.
Tajug merupakan tempat pendidikan dini pertama di luar pendidikan informal keluarga. Sebelum dikenal model pendidikan non formal PAUD dan TK (Raudlotul Athfal), hampir semua anak-anak belajar di Tajug. Melalui Tajuglah nilai-nilai keagamaan ditransmisikan ke generasi berikutnya.
Secara tersirat, wasiat Sunan Gunung Djati tentang Tajug bermakna bahwa setiap pemimpin atau penguasa harus membina dan mengembangkan kehidupan keagamaan masyarakat, membangun komunitas religius, memperhatikan masalah pendidikan, dan memiliki kepedulian dalam menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada generasi penerus.
Sementara wasiat tentang fakir miskin menyiratkan bahwa pemimpin berkewajiban untuk memperhatikan nasib orang-orang lemah dengan menyejahterakan mereka. Artinya, perlu ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada kaum dlu’afa dan mustadl’afin. Dengan kata lain, masalah sosial ekonomi masyarakat juga harus mendapatkan prioritas perhatian dari seorang pemimpin, selain masalah keagamaan dan pendidikan. Itulah yang harus menjadi pegangan para pemimpin, terutama di Jawa Barat.
Selama ini, di Jawa Barat, kebijakan untuk membangun kehidupan masyarakat yang religius dapat ditemui di tingkat pemerintahan kabupaten/kota. Sementara di tingkat pemerintahan provinsi, arah kebijakannya tidak begitu jelas tertuju pada terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang religius Islami, meskipun gubernurnya berasal dari Partai Islam.
Setidaknya, hal ini bisa dilihat dari visi dan misi Provinsi Jawa Barat. Visi Jawa Barat yaitu “Dengan Iman dan Taqwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia”. Namun, dari 5 Misi Jawa Barat yang dicanangkan, tidak ada satu pun misi yang secara khusus ditujukan untuk membangun kehidupan masyarakat Jawa Barat yang religius.
Di tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Indramayu merupakan contoh dari beberapa kabupaten/kota yang menjadikan religiusitas masyarakat sebagai arah kebijakan pembangunan yang hendak dicapai. Visi Kabupaten Tasikmalaya yaitu “Kabupaten Tasikmalaya yang Religius Islami, Unggul dan Mandiri Berbasis Perdesaan”. Relatif senada, Visi Kabupaten Indramayu yaitu “Terwujudnya Masyarakat Indramayu Yang Religius, Maju, Mandiri, dan Sejahtera”, disingkat REMAJA.
Bahkan, pembangunan keagamaan di Kabupaten Indramayu merupakan satu model pembangunan masyarakat religius yang diinisiasi Pemda (pemerintah daerah) yang patut dicontoh. Semenjak tahun 2000, Pemda Indramayu menerapkan sejumlah kebijakan yang mendukung terwujudnya masyarakat yang religius Islami.
Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, mewajibkan seluruh siswa SD dan sederajat mengikuti sekolah diniyah (agama) siang berijazah atau bersertifikat. Ijazah atau sertifikat kelulusan Diniyah tersebut menjadi syarat untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP di Indramayu. Kedua, Mewajibkan kepada seluruh siswa sekolah dasar dan menengah membaca Al-Qur’an selama 15 menit sebelum proses belajar mengajar dimulai.
Ketiga, mewajibkan kepada seluruh siswa di sekolah untuk berbusana muslim tiap hari Jum’at. Keempat, memberikan tunjangan atau honor daerah kepada setiap guru mengaji di Tajug (musholla, langgar), dan ustadz/ustadzah di sekolah Diniyah. Kelima, mengadakan pengajian rutin bagi aparatur Pemda Indramayu. Keenam, mengalokasikan dana bantuan untuk Masjid, Tajug, dan Pesantren, serta berbagai kegiatan sosial keagamaan.
Contoh dari kebijakan keagamaan tersebut di atas, selama lebih dari satu dasawarsa, telah memantapkan tekad masyarakat Indramayu menjadi masyarakat yang religius, sesuai akar kulturalnya yang telah disemai oleh Sunan Gunung Djati.
Untuk 5 pasangan Cagub-Cawagub yang tengah bertarung dalam Pemilukada Jawa Barat, hendaknya memperhatikan dan melaksanakan wasiat Sunan Gunung Djati sebagaimana tersebut di atas, bila kelak terpilih untuk memimpin Jawa Barat. Membangun masyarakat Jawa Barat yang religius dan Sejahtera harus menjadi arah kebijakan utama. Religiusitas masyarakat harus menjadi penopang kemajuan Jawa Barat.
Siapakah di antara 5 pasangan Cagub-Cawagub Jawa Barat yang paling kompeten dapat melaksanakan wasiat Sunan Gunung Djati tersebut? Biarlah masyarakat pemilih Jawa Barat yang menilai dan menentukannya pada 24 Februari 2013 mendatang.
Semoga bermanfaat. Amien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H