Tak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Jabar (Jawa Barat) secara kultur-bahasa, bukanlah masyarakat yang homogen. Dalam hal ini, setidaknya ada 2 kelompok kultur-bahasa yang utama di Jabar, selain beberapa kelompok kultur-bahasa yang merupakan enclave di beberapa daerah, seperti enclave kultur-bahasa masyarakat Betawi di Depok, Bogor, dan Bekasi. Juga enclave kultur-bahasa Jawa Tengahan di Ciamis, Banjar dan Tasikmalaya. Dua kelompok kultur-bahasa dimaksud adalah kelompok kultur-bahasa masyarakat Sunda dan kelompok kultur-bahasa masyarakat Jawa-Cirebonan.
Yang pertama dijumpai di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat yang berjumlah 26. Sementara yang kedua, dapat ditemukan di seluruh kabupaten/kota sepanjang pesisir utara atau lebih dikenal dengan istilah Pantura (Pantai Utara) Jawa Barat, serta beberapa desa di Kabupaten Majalengka yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu. Â Itulah warna kultural Jawa Barat.
Dalam kontestasi Pemilukada Jawa Barat 2013, masalah keterwakilan (representasi) kultural kerap kali disinggung oleh banyak pihak. Ini sesuatu yang wajar, mengingat setiap entitas kultural ingin diakui dan dihormati eksistensinya. Munculnya keinginan membentuk Provinsi Cirebon, salah satunya berlatarbelakang masalah eksistensi kultural. Setidaknya, itulah yang disampaikan beberapa elit yang menghendaki pemekaran.
Dari 43 juta lebih penduduk Jawa Barat, dipastikan lebih dari 5 juta penduduk merupakan penutur bahasa Jawa-Cirebonan. Paling banyak terdapat di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kota Cirebon. Penutur lainnya dalam jumlah besar juga dijumpai di Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Secara kultural, mereka mengidentifikasi dirinya bukan Urang Sunda, tetapi Wong Jawa.
Oleh karenanya, tidak mengherankan bila terdapat anggapan bahwa pasangan Cagub dan Cawagub Jawa Barat yang ideal itu seyogyanya merupakan representasi Urang Sunda dan Wong Jawa-Cirebonan. Dari lima pasangan calon, terdapat dua pasangan calon yang sesuai dengan anggapan tersebut di atas, yaitu pasangan calon dari jalur Independen, Dikdik Mulyana Arief-Cecep S. Toyib, dan pasangan calon dari Partai Golkar, Irianto MS Syafiuddin-Tatang Farhanul Hakim.
Dua pasangan calon lainnya, yaitu pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar dan pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana, merupakan representasi Urang Sunda-Betawi dan Tipikal Metropolitan-Sunda. Sementara pasangan calon berasal sedaerah, yaitu Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, hanya merepresentasikan Urang Sunda.
Selain pemaknaan representasi kultural dalam perspektif akar budaya pasangan calon sebagaimana uraian tersebut di atas, terdapat pula pemaknaan dalam perspektif kebijakan dan program yang diharapkan masyarakat Jawa-Barat.
Dalam pespektif ini, setiap pasangan calon dituntut untuk menawarkan kebijakan dan program kerja yang memperkuat eksistensi kultural setiap entitas budaya yang ada di Jawa Barat. Terlepas apakah pasangan calon tersebut heterogen atau homogen secara kultural, semuanya memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka dapat menjadi pemimpin semua entitas kultural di Jawa Barat.
Kebijakan dan program yang menunjukkan bahwa Jawa Barat itu beragam. Jawa Barat adalah Sunda, Jawa-Cirebonan, Jawa-Tengahan, Betawi, dan lain-lain. Jawa Barat adalah gunung dan pantai. Jawa Barat adalah deburan ombak dan semilir angin pegunungan. Jawa Barat adalah rumah teduh semua etnik.
Dengan penduduk yang tinggal di perkotaan berjumlah 65,7 %, Jawa Barat berpotensi menjadi daerah besar persemaian nilai multikultur yang baik. Jawa Barat dapat menjadi penopang multikultur Nusantara, tidak hanya penyangga Ibu kota.
Siapakah dari 5 pasangan Cagub-Cawagub Jawa Barat yang berani menawarkan program kultural tersebut di atas serta berjanji merealisasikannya? Masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, menantang mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H