Beberapa minggu terakhir masyarakat Indonesia khususnya yang peduli pada gerakan pemberantasan Korupsi di Indonesia dibuat prihatin yang sangat mendalam. Pada awal bulan Mei ini diberitakan bahwa ada 75 Pegawai KPK yang tidak lulus tes kebangsaan yang menjadi salah satu syarat menjadi pegawai ASN. Perubahan atau alih status kebepagawaian di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini memang menjadi salah satu hal yang diatur dalam UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK (hasil revisi).
Kegusaran publik atas nasib 75 pegawai KPK yang tidak lulus muncul karena kabar yang berkembang kemudian menyebutkan bahwa pegawai yang tidak lulus tersebut akan diberhentikan. Kabar terakhir beredar SK Pimpinan KPK yang menyebutkan pegawai yang tidak lulus diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung, dengan demikian dapat dikatakan status pegawai tersebut non aktif.
Kejadian yang menimpa KPK saat ini bukanlah yang pertama kali, dimana masyarakat menganggapnya sebagai upaya pelemahan KPK dalam tugasnya memberantas korupsi di Indonesia. Jika kita mundur beberapa bulan sebelumnya serangkaian kejadian aneh bin ajaib mengemuka dan terjadi di KPK. Dimana hal tersebut muncul setelah disahkannya revisi UU KPK.
Beberapa kejadian yang membuat KPK seperti dirundung masalah antara lain kasus penghilangan barang bukti emas seberat 1.9 kg oleh pegawai KPK, kasus suap oleh penyidik KPK dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Kabupaten Bagansiapiapi, serta munculnya SP3 dalam kasus BLBI. Suatu tindakan penghentikan penanganan kasus yang juga diatur dalam revisi UU KPK (dimana dalam UU KPK lama tidak diatur).
Sebagai salah satu lembaga yang dilahirkan masa awal Reformasi, kehadiran KPK sejatinya menjadi harapan publik untuk Indonesia yang lebih baik dan berintegritas dalam program pembangunan. Pada sisi lain kehadiran KPK dan sepak terjangnya dalam membongkar kasus-kasus mega korupsi membuat sebagian pihak terancam kegiatan dan penghasilannya, kelompok ini seperti yang beberapa elit atau pengurus utamanya menjadi tersangka dan atau Terpidana Korupsi.
Jika selama ini gangguan dan ancaman kepada KPK lebih sering berasal dari luar atau eksternal, seperti drama Cicak-Buaya I dan II, teror dan pengadiayaan kepada penyidik KPK Novel Baswedan, upaya kriminalisasi Pimpinan dimasa Abraham Samad dan Bambang Widjayanto. Periode saat ini upaya pelemahan KPK terlihat rapih/sistematis dan terstruktur dalam bingkai peraturan perundang-undangan. Gerakan ini semakin terlihat paska disahkannya revisi UU KPK oleh DPR dan Pemerintah ditengah gelombang penolakan oleh lembaga KPK sendiri, masyarakat, akademisi dan aktivis anti korupsi di akhir tahun 2019.
Upaya yang rapih/sistematis dan terstruktur pelemahan KPK ini penulis menyebutnya Operasi 'matikan mesin KPK' istilah ini sebenarnya sering dikenal dalam kegiatan atau dinamika pemilihan kepala daerah langsung atau PILKADA. Dimana gerakan ini biasanya dilakukan oleh pengurus dan atau fungsionaris Partai Politik ditingkat daerah yang tidak bekerja secara maksimal dalam tahap kampanye Pilkada, upaya ini dimaksudkan sebagai bentuk 'perlawanan' kepada jajaran elit partainya atas keputusan Pasangan calon (paslon) yang diusung di Pilkada.
Operasi matikan mesin KPK ini sepertinya akan terjadi jika ke 75 pegawai KPK yang tidak lulu seleksi menjadi ASN tersebut jadi diberhentikan. Karena didalamnya termasuk pegawai level Direktur, Penyidik senior, penyidik kasus besar, dan pengurus wadah pegawai KPK. Dengan tidak bekerjanya pegawai-pegawai kunci dibidang tersebut maka otomatis kinerja KPK akan terganggu dalam menangani kasus-kasus dugaan korupsi.
Untuk menghindari atau bahkan menggagalkan operasi matikan mesin KPK ini, maka beberapa hal bisa dilakukan oleh masyarakat anti korupsi dan organisasi masyarakat lainnya dengan mendesak kepada Presiden untuk menggunakan kewenangannya memberikan pengarahan kepada Pimpinan KPK untuk tidak melakukan tindakan yang dapat melanggar undang-undang oleh karena ketentuan peralihan status pengawai KPK menjadi ASN tidak dimandatkan adanya seleksi yang berujung pemecatan.Â
Presiden juga bisa mengingatkan bahwa langkah Pimpinan KPK dalam beberapa bulan terakhir telah menciderai amanah reformasi yang salah satunya adalah memberantas KKN. Publik juga dapat mendesak pimpinan KPK untuk membatalkan tes seleksi kepegawaian tersebut menggantinya dengan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel serta mempertimbangkan track record pegawai selama berdinas di KPK.
Semoga masih ada harapan untuk menegakkan kembali marwah lembaga anti rasuah negeri ini sebagai salah satu harapan masyarakat untuk Indonesia yang berintegritas dan bermartabat.