Kehilangan Nuansa Ramadhan di Perantauan
Ketika memasuki gerbang universitas, banyak hal yang berubah dalam kehidupan. Salah satunya adalah bagaimana menyambut bulan suci Ramadhan. Bagi mahasiswa rantau seperti saya, momen ini terasa jauh berbeda dari saat masih bersama keluarga di kampung halaman.
Sebagai mahasiswa asal Makassar yang kini menimba ilmu di Yogyakarta, saya tidak bisa menahan rasa rindu akan nuansa Ramadhan yang biasa saya rasakan di rumah. "Ada sesuatu yang hilang, terutama saat berkumpul dengan keluarga. Di sini saya harus merayakannya sendirian," ungkap saya dengan nada penyesalan.
Merayakan Ramadhan di perantauan memang terasa asing. Mulai dari suasana, menu buka puasa, hingga kebersamaan dengan sanak saudara, semuanya begitu berbeda. "Biasanya di rumah, kami berbuka puasa dan sahur bersama-sama. Nah, di sini saya harus melakukannya sendirian, jadi terasa sepi dan kurang lengkap," keluh saya.
Tidak hanya itu, waktu luang saya selama Ramadhan juga terkuras habis karena saya ditunjuk menjadi panitia kegiatan keagamaan di kampus. "Padahal Ramadhan seharusnya menjadi momen untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan berkualitas dengan diri sendiri. Tapi di sini malah sibuk dengan agenda kampus," ujar saya dengan nada prihatin.
Meskipun demikian, saya tetap berusaha untuk menjaga semangat Ramadhan. Saya rajin melaksanakan ibadah, membaca Al-Quran, dan tetap menjalankan tradisi buka puasa bersama teman-teman perantauan lainnya. "Yang terpenting, rasa syukur dan semangat beribadah tetap terjaga, meskipun suasananya berbeda," pungkas saya dengan determinasi.
Ramadhan memang menjadi bulan yang spesial, namun bagi mereka yang jauh dari keluarga, adaptasi tetap diperlukan agar nuansa Ramadhan tetap terasa bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H