Ada statement menarik Fahri Hamzah terkait lembaga KPK yang mengatakan bahwa lembaga tersebut tidaklah sesuci itu. Hal ini mungkin saja mengingat pegawai KPK berasal dari berbagai institusi sehingga sangat mungkin bisa terjadi konflik kepentingan dalam proses pengusutan suatu kasus.Â
Bahkan seringkali Fahri Hamzah berseloroh sambil mengatakan jika diberi mandat dalam pemberantasan korupsi, maka korupsi di Indonesia dapat diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun saja.Â
Waduh, bukan Fahri Hamzah namanya jika komentarnya tidak menimbulkan kontroversi. Sehingga tidak mengherankan sosok Fahri Hamzah oleh masyarakat dilambangkan sebagai ikon perlawanan terhadap KPK karena seringkali statementnya terdengar mengerdilkan peran lembaga yang sangat dicintai dan dielu-elukan publik.Â
Apalagi posisinya saat itu berada di dalam lingkaran kekuasaan legislatif yang kerapkali menjadi sasaran empuk operasi KPK. Lantas, bagaimana mungkin publik tidak menaruh curiga serta sentimen negatif?
Jika tidak memperturutkan emosi, tentu ada benarnya kalimat bahwa KPK masih belum sempurna sehingga tidak luput dari cela. Hal ini karena mustahil ada suatu sistem buatan manusia yang tanpa cela sehingga penyempurnaan demi penyempurnaan diperlukan.Â
Maka, di tiap kesempatan Fahri Hamzah selalu konsisten berpendapat bahwa pemberantasan korupsi yang tepat diterapkan di Indonesia tidak harus selalu melulu oleh KPK.Â
Korupsi dapat diberantas dengan pendekatan sistemik dengan menciptakan suatu iklim yang memungkinkan korupsi tidak dapat terjadi. Loh, bagaimana bisa? Wah, semua bisa saja 'karena kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku tetapi juga karena ada kesempatan'.Â
Dengan memutus mata rantai yang menyebabkan seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, maka dapat mencegah terjadinya korupsi tersebut.
Jika ingin memberantas korupsi, maka harus diawali dengan proses rekrutmen kepala dan pejabat pemerintah, serta perwakilan rakyat yang berjalan bersih. Sayangnya, ongkos politik di negeri ini sangat mahal sehingga banyak pihak yang mencari sponsor, lalu menggunakan dana tersebut untuk membeli suara pemilih serta menyuap banyak pihak.Â
Kemudian jika pun sudah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan cenderung mencari jalan-jalan pintas untuk membalas budi kepada sponsor atau mencari cara untuk mengembalikan modal yang hilang selama proses pilkada atau pemilu. Dan begitulah siklus yang terjadi berulang secara terus-menerus. Maka luarannya adalah orang yang korup. Jika tidak kaya atau bergelimang dosa dahulu, maka sulit untuk masuk.Â