Rakyat Indonesia harus bersiap-siap menyambut pesta pemilu yang akan diselenggarakan pada April 2019 mendatang. Serba-serbi persiapan menuju perhelatan akbar yang dilaksanakan dalam siklus lima tahunan tersebut masih diwarnai sikap masa bodoh oleh sebagian masyarakat.Â
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hingar-bingar pemilu presiden dan wakil presiden tersebut memegang andil dalam membagi opini publik menjadi sebanyak jumlah paslon.Â
Dari rahim kontestan yang akan bertarung, lahir pula barisan para pendukung yang saling berkontestasi. Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga dalam cuitan dunia maya yang sarat dengan caci maki dan tindakan tidak terpuji. Pada momentum pemilu kali ini, masyarakat Indonesia sepertinya diuji dalam mengamalkan sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.
Beragam berita hilir mudik mengisi media dengan isu bahwa pemilu kali ini lebih didominasi dengan sensasi, bukan substansi. Tetapi bukan berarti kedua kubu tidak menyiapkan substansi samasekali dan bukan sebuah indikasi bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai sensasi.Â
Ramainya pemberitaan yang memuat isu-isu sensasional yang ditangkap oleh media juga tidak dapat disalahkan karena di dalam dunia pemberitaan dikenal istilah 'bad news is a good news.'Â Sayangnya, isu-isu sensasional tersebut direspon publik secara emosional. Akhirnya publik tidak mampu bernalar dengan jernih karena terlanjur terbawa perasaan.
Akan tetapi demi mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sudah seharusnya kita beralih kepada hal-hal yang substansial.Â
Suka atau tidak suka, peduli maupun tidak peduli, akan ada pemimpin yang mengatur hajat hidup bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sebagai warga negara yang baik, kita berkewajiban memilih pemimpin yang merupakan putra terbaik bangsa.Â
Untuk itu perguruan tinggi juga harus turut hadir pada momentum pemilu ini ataupun dihadirkan untuk mengamalkan darmanya yakni dalam penyelenggaraan pendidikan, dalam hal ini pendidikan politik menuju ke arah substantif.
Mahasiswa dan politik kampus
Kampus merupakan miniatur demokrasi Indonesia. Di dalamnya terdapat berbagai macam elemen mahasiswa yang membentuk tubuh kemahasiswaan. Namun sejatinya mahasiswa merupakan suatu entitas yang berdiri sendiri. Pun dalam pesta demokrasi politik kampus, mahasiswa menanggapi dengan beragam respon, ada yang pasif serta ada juga yang reaktif.
Saya ingin sedikit bercerita saat menjadi mahasiswa, dimana saya selalu termasuk ke dalam kelompok undecided, kelompok yang belum berpendirian karena belum tahu pasti akan memilih ketua BEM, ketua himpunan mahasiswa jurusan, atau ketua organisasi seperti apa.Â
Namun, cerita menjadi berbeda saat saya secara tak sadar mengikuti serangkaian pendidikan politik yang saya dapatkan di kampus, mulai dari proses pendirian panitia pemilu, sosialisasi peraturan pemilu, hingga rangkaian proses uji dengar dan pemilihan calon ketua.Â
Selama keberjalanan forum diskusi pemilu, saya menyadari bahwa rekan-rekan mahasiswa saya ternyata sangat kritis mempertanyakan bagaimana alur berpikir masing-masing calon hingga menghasilkan visi-misi yang kemudian diturunkan ke dalam organogram serta program unggulan, kemudian mereka menguji bagaimana feasibilitas program tersebut dari segi waktu serta pembiayaan.Â
Tidak lupa, mereka juga menganalisis S.W.O.T (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) masing-masing calon yang kemudian juga disesuaikan dengan kebutuhan massa saat itu. Semua calon memaparkan gagasannya secara runut dan lengkap, jika ternyata ada hal yang kurang maka peserta diskusi kemudian memberikan rekomendasi kepada calon agar nanti pekerjaan mereka dapat dipertanggungjawabkan bila terpilih.
Berpikir runut, logis, idealis dan kritis mungkin memang merupakan karakter alamiah mahasiswa. Hal ini bisa jadi dikarenakan rekan-rekan mahasiswa telah diajarkan metode penelitian sejak dini.Â
Karenanya, di dalam forum diskusi tersebut perdebatan yang muncul sarat dengan hal substantif. Pemimpin forum, sang moderatur pun sebelum memulai forumnya selalu membacakan peraturan terkait etika dalam forum untuk mengarahkan peserta diskusi agar mengikuti forum dengan baik, mulai dari larangan bermain handphone hingga larangan berbicara dengan tendensi untuk menjatuhkan.
Atmosfer kampus yang kondusif untuk pendidikan politik pun dapat hadir dikarenakan telah tersedianya infrastruktur yang memadai untuk berdemokrasi. Selain itu diskusi menjadi kondusif karena diilhami dengan semangat 'in harmonia progressio' atau kemajuan dalam kebersamaan, bukan hanya semangat golongan.
Doktrin-doktrin bahwa mahasiswa adalah 'Agent of Change', 'Guardian of Value', serta 'Iron Stock' yang kerapkali disampaikan pada masa orientasi juga turut memberi andil membentuk politik kampus yang cenderung bersih.
Mahasiswa yang aktif  berorganisasi bisa saya katakan 'lelahnya itu lillah' karena belum ada kepentingan yang dikendarai. Mereka pun menerima jabatan secara voluntary tanpa mengharap imbalan materi.
Melalui forum diskusi pemilu tersebut, kelompok undecided menjadi terbantu dalam mengenal calon ketua serta memahami bahwa visi misi serta bagaimana menurunkannya ke dalam program begitu memainkan peran penting.Â
Begitu pula mengenai bagaimana latar belakang terbentuknya program serta tujuan yang hendak dicapai, bagaimana ringkasan pelaksanaannya, hingga parameter keberhasilan tiap program harus melalui perencanaan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab sekali anda ngawur dalam merencanakannya, rekan-rekan mahasiswa akan mempertanyakannya dan anda akan kerepotan untuk menjawabnya. Dari diskusi tersebut saya dapat memahami pula bahwa jawaban pada tataran normatif cenderung akan berhenti di situ saja, akan tetapi dibutuhkan jawaban konkrit pada suatu permasalahan.
Menghadirkan calon pemimpin anda di dalam kampus
Hemat saya, kampus sebagai refleksi atas miniatur sistem demokrasi Indonesia bisa diadopsi sebagai pembelajaran untuk menghadirkan pemilu yang substantif. Untuk itu, mari selangkah lebih maju menuju hal substantif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Bukan sekadar mencari pembenaran, tetapi adu gagasan agar publik mampu menilai pemimpin terbaik yang akan dipilihnya, seperti dalam forum pemilu di dalam kampus. Karenanya, alangkah baiknya kedua calon pemimpin bangsa dapat hadir ke dalam kampus untuk memaparkan segala macam visi-misi serta program unggulannya dan mengenalkan profil serta S.W.O.T. diri sehingga dapat diuji oleh rekan-rekan mahasiswa dan akademisi lainnya.Â
Berhadap-hadapan dengan mahasiswa yang merupakan calon penggawa negeri di masa depan. Dari forum tersebut semoga nantinya dapat menjadi langkap awal untuk menghidupkan nalar kritis publik.Â
Dengan begitu, percakapan publik tak hanya sekadar dihiasi dengan nama binatang seperti 'cebong' dan 'kampret' saja, namun menuju diskusi ke arah substantif karena saya yakin bahwa masyarakat Indonesia masih diilhami dengan kemanusiaan yang adil dan beradab menurut sila yang kedua.Â
Disamping itu, menghadirkan kedua calon di dalam kampus dapat membuat mereka 'terjebak nostalgia' saat-saat menjadi mahasiswa, suatu masa dimana ideologi masih tinggi-tingginya untuk memajukan Indonesia.
Hairatunnisa alumni Rekayasa Kehutanan ITB yang baru saja melepas status mahasiswanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H