Pilkada adalah ruang memilih pemimpin baru. Setiap warga memiliki hak untuk memilih idola nya sebagai calon pemimpin di kotanya. Pilkada juga menjadi peluang dimana sosok yang telah dia percayakan sebagai pemimpin, nantinya diharapkan dapat membawa angin baru untuk kota serta warga kota itu sendiri. Semua warga pasti menitipkan beragam harapan terhadap pemimpin terpilih agar dapat mengatur, menertibkan, mengamankan, memudahkan dan mengsejaterakan segala kebutuhan primer warganya.
Sejatinya Pilkada itu harus dikawal. Hari ini KPU tidak memiliki intergritas karena kasus-kasus besar yang melanda mereka. maka kita sebagai pemilih harus gegap gempita mengawal perjalanan Pilkada di kota masing-masing. Ingat defenisi demokrasi yaitu "rakyat yang berkuasa". Jangan sampai tanggal 27 November hanya menjadi ajang formalitas sahaja, tetapi dibalik itu sudah ada pemenangnya. Lalu ngapain kita datang ke TPS jika kenyataan nya seperti itu kan?.
Tetapi realitas sosial hari ini warga bukan fokus mengawal alur Pilkada, tapi malah saling mengprovokasi menyebarkan propaganda antar kubu, yang menyebabkan kerusuhan bahkan ada yang tewas, sebagaimana yang terjadi dengan seorang saksi paslon bupati/wakil bupati di Kab. Sampang Jimmy Sugito dibantai oleh lima orang bercelurit yang menyebabkan ia tewas. Motif pembunuhan adalah Politik. Karena faktor ini Saya melihat Pilkada itu pembawa maut. Hanya karena berbeda dukungan, pendapat, ideologi, visi misi, nyawa manusia sangat mudah untuk dihalangkan. Sedangkan jika kita menggali hukum syariat, setetes darah manusia lebih beharga dari segala-galanya dan jika dibunuh secara sengaja maka dia wajib membayar 100 ekor unta. Disini secara tersirat Islam menginfokan bahwa nyawa manusia itu sangatlah mahal dan berharga.
Kasus unik lainya terjadi di lingkup rumah tangga. Dilansir dari satu media bahwasan nya ada sekita 500 pasutri cerai karena beda pilihan politik. Ekpresi apa yang paling cocok ketika kita mendengar berita ini, ketawa? Senyum? Atau lainnya. Ini sebuah kekonyolan hanya karena beda, rela mengorbankan ikatan cinta nya yang mungkin telah dijaga puluhan tahun lamanya. Kita tidak berbicara terkait kesiapan mental pasutri diatas, tetapi yang perlu kita garis bawahi kenapa alasan percerainya disebabkan itu.
 Saya menyatakan hari ini rakyat Indonesia sedang krisis moral dan tidak adanya lagi indepedensi pada dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI