Kebijakan yang mendukung globalisasi dan ekonomi terbuka saat ini seakan mengalami penurunan popularitas. Di berbagai negara, kelompok populis mendapatkan peningkatan suara, dan tidak sedikit yang berhasil memenangkan pemilu.
Globalisasi dan perdagangan bebas dianggap oleh sebagian pihak sebagai akar dari segala masalah ekonomi yang menimpa para pekerja dan pelaku usaha di berbagai negara.Â
Untuk itu, kebijakan ekonomi terbuka harus dibatasi melalui berbagai kebijakan proteksionis, seperti tarif dan juga kuota, dengan dalih untuk melindungi kepentingan dalam negeri.
Tidak hanya di Amerika Serikat, Indonesia sendiri juga mengalami gelombang peningkatan skeptisisme hingga penolakan terhadap kebijakan ekonomi terbuka dan perdagangan bebas.Â
Dengan mudah kita bisa menemukan berbagai politisi dan para pembuat kebijakan yang menolak keras kebijakan tersebut, dan mendukung adanya pembatasan perdagangan bebas.
Beberapa waktu lalu misalnya, muncul wacana mengenai kebijakan untuk menerapkan biaya tarif yang tinggi terhadap barang-barang impor, khususnya dari China. Tidak tanggung-tanggung, tarif yang dikenakan cukup tinggi, hingga mencapai 200 persen, untuk menyikapi banjirnya barang-barang dari China di tanah air (cnnindonesia, 5/7/2024).
Barang-barang yang berasal dari China tersebut sangat beragam, dan kebanyakan merupakan barang-barang konsumsi sehari-hari seperti pakaian dan produk-produk tekstil. Tidak hanya itu, barang-barang yang menjadi bahan industri seperti baja misalnya, juga berpotensi akan terkena biaya tarif sebesar 200 dari pemerintah (cnnindonesia, 5/7/2024).
Wacana mengenai kebijakan tersebut sendiri pada awalnya memang digaungkan pada saat pemerintahan Presiden Joko Widodo, di beberapa bulan terakhir pemerintahan Beliau. Pada bulan Oktober lalu, Indonesia melantik presiden baru, yakni Prabowo Subianto. Namun, belum ada pernyataan eksplisit dari pemerintahan yang baru untuk menganulir atau membatalkan kebijakan tersebut.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa banyak pejabat tinggi seperti menteri yang sebelumnya menjabat di bawah Presiden Joko Widodo yang sekarang juga kembali menjabat. Oleh karena itu, wacana kebijakan tarif tersebut merupakan hal yang masih memiliki kemungkinan untuk diterapkan.
Adanya wacana mengenai kebijakan penerapan tarif 200% tersebut tentu merupakan hal yang sangat patut untuk kita perhatikan, karena dampaknya akan terasa langsung bagi banyak lapisan masyarakat. Kebijakan ini tidak hanya berdampak kepada jutaan konsumen, tetapi juga ke berbagai pelaku usaha di Indonesia.