Mohon tunggu...
Ibnu Haikal Bachtiar
Ibnu Haikal Bachtiar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berita, Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Kita Bukan Negara Keluarga Anda

22 Agustus 2024   21:20 Diperbarui: 22 Agustus 2024   22:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                         Negara kita bukan negara keluarga anda

             Dalam artikel ini, terkait dengan banyaknya isu-isu masalah dalam pemerintahan penulis berusaha meninjau negara dan bangsa kita di masa sekarang dan masa depan dalam kaitannya yang luas sehingga memberi gambaran multidimensional tentang kenyataan dan harapan. Kerapuhan struktural sedang terjadi di negeri kita tercinta Indonesia, pola hubungan elite nasional yang keropos sebagai wujud sosial politik dari dasar-dasar ekonomi itu terus berjalan sampai hari ini. 

Sehingga menjadikan sejarah kita selama ini sebagai sejarah kegagalan pembentukan elite dan inti pemimpin nasional yang mampu meletakan masalah bangsa dalam kompleksitas yang penuh seirama dengan sejarah bangsa. Lalu bagaimana kita tidak akan terus menerus tersungkur jika bergeraknya alam dunia dan alam kekuasaan serta politik beserta langgam berpikir dan bertindaknya itu tidak mampu kita cerna. Sepertin kita alami selama ini, ideologi dan kesadaran warga yang tidak pernah digarap secara utuh dan matang ini hanya di lakukan secara indoktrinasi saja, seakan hal itu sudah ada matang dan tinggal di wariskan, dan akibatnya sudah barang tentu adalah rapuhnya dasar-dasar bernegara itu, karena ideologi sepenuhnya tergantung pada rezim, dan dengan sendirinya hal yang begitu penting akan lenyap atau lahir bersama dengan rezim politik yang roboh dan datang.

           Rapuhnya ideologi ini lalu berakibat pada tidak menentunya langkah kenegaraan yang diambil. Politik sebagai pengaturan volume kekuasaan yang ada di sebuah negara selalu berjalan dari satu percobaan ke percobaan lain, dari satu temuan ke temuan lain, dari satu gaya demokrasi yang satu ke demokrasi yang lain. Dan akhir percobaan hanyalah selalu unjuk rasa dimana-mana, korban jiwa yang tidak tahu harus di sebut pahlawan nasional atau superhero. Warga negara belum pernah dapat lahir sejak jaman “revolusi belum selesai” sampai dengan jaman “pembangunan”. Jutaan  manusia yang hadir itu  tetap bersikukuh sebagai rakyat, dan pimpinan negara bergerak  dalam mimpi mereka masing-masing.

            Rezim politik bukan saja dapat disimak dan dirasakan pada gaya bahasa atau cara bertutur-sapa  yang biasa di lakukan untuk mengungkapkan masalah politik. Ketika seorang penguasa melukiskan dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” artinya dia berbahasa dalam sebuah bahasa simbolik. Jika pemegang simbol itu adalah manusia -dia adalah pengejawantahan dari yang di simbolkan– maka manusia itu dapat bertindak atas nama khayalan yang jauh dan bertindak sebagai wakil yang nyata dengan hak dan kewajiban. Sang penyambung lidah dapat berbuat leluasa, sesuai dengan tafsir pribadinya atas simbol, dan karenanya suatu saat dapat berlaku seperti raja dalam sebuah monarki, laksana diktator dalam sebuah rezim otoriter atau nepotisme sebagai presiden dalam sebuah republik.

          Tekanan struktural seperti ini yang semakin mendorong upaya untuk melakukan pemikiran ulang mengenai politik. Terjepit antara jebakan struktural yang menekan rasa enggan yang menyebar luas dalam masyarakat kita itulah sesungguhnya yang merupakan proses yang mengantarkan masyarakat bangsa untuk bergerak semakin meninggalkan arus politik ke depan. Berkisah dan menggambarkan proses yang terjadi tersebut, pada hakikatnya tidaklah terlalu berbeda dengan mengisahkan detik-detik akhir daari kematian sebuah bangsa. Pikiran yang benar atau paling tidak, tidak sepenuhnya salah dapat di jadikan pijakan untuk melawan nepotisme yang tak lain adalah sebuah kegagalan dan ketidak mampuan seluruh warga bangsa untuk bangkit dan menegakkan harga dirinya. Demikianlah semoga catatan ini dapat dimanfaaatkan sebagai awal dari perlawanan total melawan nasib buruk yang memalukan, atau sebuah akhir yang durjana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun