Ada fenomena baru ketika sistem politik demokrasi kita dapat dipengaruhi oleh para Buzzer. Buzzer adalah akun individu atau sekelompok yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu. Kebanyakan telah menjadi profesi yang dibayar dan sedikit sisanya bersifat sukarela. Maka perilaku para politisi juga mengalami perubahan-perubahan. Buzzer menjadi sarana yang diharapkan mampu untuk "Mempromosikan" sedemikian rupa dalam rangka mengangkat pamor atau ketokohan seseorang.Â
Buzzer menjadi civil society dunia maya yang dapat mempengaruhi pandangan dan pola perilaku politik masyarakat khalayak. Fenomena ini berdasarkan pola perilaku masyarakat yang mulai menggunakan koneksi internet sebab mudah diakses karena berada dalam genggaman tangan manusia. Namun dampak negatifnya berita hoaks semakin tak terkendali, informasi tidak benar menjadi semu mudah menyebar begitu saja serta agak sulit dipertanggungjawabkan karena masih banyak juga yang belum memahami kode etik jurnalistik, terkendala sertifikasi wartawan sehingga dapat memungkinkan terjadinya kesalahan penyedia informasi.Â
Dalam aspek politik di dunia maya, Buzzer dengan mudah mampu menggiring pemahaman masyarakat luas bahwasanya seorang tokoh politisi yang ingin dikenal sangat merakyat, turun ke masyarakat hujan-hujanan membantu petani hingga mungkin tokoh politisi yang ingin dikenal pintar datang ke berbagai universitas membuat tag line yang dilebih-lebihkan seakan keberadaannya memberikan sumbangsih akan pendidikan. Sontak Buzzer dapat melakukan konstruksi dengan retweet foto dengan bahasan yang serupa hingga si politisi tersebut mencapai trending twitter lantas klaim buzzer tersebut menggegerkan publik, hingga ke beberapa tokoh berpengaruh lainnya.Â
Ironisnya, masyarakat di Indonesia belum sepenuhnya memahami apa yang disebut konstruksi publik tersebut. Sedikitnya beberapa yang paham akan strategi politik buzzer akan membantahnya. Keberadaan Buzzer seakan merepresentasikan masyarakat di dunia maya atau dengan kata lain Masyarakat Cyber. Cyber Society atau Masyarakat  Cyber Adalah sebuah kehidupan masyarakat manusia yang tidak dapat secara langsung diraba melalui pengendaraan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas. Bisa saja beberapa akun dikendalikan oleh satu orang saja. Sebab jangkauan masyarakat Cyber tidaklah dapat diprediksi dan sangat luas. Sehingga keberadaan Buzzer di tengah Masyarakat Cyber memungkinkan terjadi politik konstruksi massa.
Politik konstruksi masa di dunia cyber jelas membahayakan demokrasi di negeri ini. Sebab kerap kali, ketika terjadi perbedaan pandangan yang berseberangan dengan konstruksi Buzzer. Individu tersebut akan diserang habis-habisan, bahkan argumen yang dikeluarkan seringkali lebih menyerang ranah pribadi ketimbang substansi yang dibahas. Padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat.Â
Tidak cukup berhenti disitu. Penyampaian pendapat kerap kali terancam dengan pasal karet UU ITE. Salah satu pasal yang sering disalahgunakan yaitu pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini seringkali digunakan untuk mengekang penyampaian pendapat atau kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Seringkali digunakan untuk mengekang warga (civil society) untuk mengkritik pihak kepolisian dan pemerintah.
Adapun konsep konstruksi pertama kali diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman yang menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atau realitas. Konstruksi sosial digambarkan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksinya yang mana individu menciptakan terus-menerus suatu realitas yang diinginkan secara alami dan subjektif.Â
Lebih lanjut Berger menjelaskan bahwasannya realitas tidak dibentuk secara ilmiah tetapi sebaliknya realitas dapat dibentuk dan direkonstruksi oleh manusia. Oleh sebab itu, Buzzer memiliki dampak yang begitu besar terhadap pola peradaban manusia di era demokrasi kontemporer, keberadaannya perlu diiringi dan dimaknai melalui kesadaran dan pencerdasan politik. Agar senantiasa pesan-pesan yang disampaikan ditengah gempuran Buzzer selalu mengandung nilai-nilai yang baik.
Akhirnya, kita sampai pada pentingnya kesadaran dan pencerdasan politik yang kemudian perlu dijadikan orientasi dalam bermedia sosial. Kesadaran politik dapat mempengaruhi diri sendiri (untuk  diri sendiri agar tak mudah tergiring opini) dan orang di sekitar (menjaga persatuan, nama baik instansi, keluarga dan sebagainya). Akhir kata, pencerdasan politik harus menjadi orientasi berbuat dan berparadigma dalam bermasyarakat. Dengan begitu, akan melahirkan sebuah hubungan interaksi pemahaman politik yang baik dan jauh dari konstruksi Buzzer dan menciptakan iklim Demokrasi yang terbebas dari intervensi pihak berkepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H