Mohon tunggu...
Fikri Haikal Panggabean
Fikri Haikal Panggabean Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis dengan latar belakang Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Upaya Denuklirisasi Semenanjung Korea

12 September 2024   18:29 Diperbarui: 12 September 2024   19:58 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Pemerintah Republik Rakyat Demokratik Korea

Setelah Perang Dunia II, penggunaan senjata nuklir dilarang oleh Hukum Internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan potensi korban berjatuhan yang tinggi baik bagi manusia dan terhadap lingkungan menyebabkan pelarangan penggunaan senjata nuklir. Setelah penggunaan senjata nuklir di Nagasaki dan Hiroshima yang merupakan penggunaan untuk pertama kali dan satu-satunya hingga saat ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkomitmen menghapus senjata nuklir dan penggunaanya. Komitmen ini tertuang dalam Resolusi Pertama Majelis Umum PBB. Proliferasi nuklir di Semenanjung Korea juga merupakan salah satu pembahasan dalam agenda denuklirisasi. Tentu percobaan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara merupakan deviasi terhadap norma internasional, terutama dalam proses deeskalasi di Semenanjung Korea dari potensi pecahnya konflik nuklir. Sebagai respon, Korea Utara telah dijatuhi sanksi oleh Dewan Keamanan PBB yang semakin diperluas setiap tahunnya. Sanksi yang pada awalnya berkutat pada embargo senjata semakin meluas hingga pelarangan ekspor tekstil dikarenakan keengganan Korea Utara dalam mendengarkan usulan oleh PBB terkait senjata nuklir mereka. Namun, dalam membangun pemahaman yang lebih komprehensif mengenai proliferasi nuklir di Semenanjung Korea dan proses denuklirisasi semenanjung, penting untuk menyertakan pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang berdampak pada posisi Korea Utara dalam tatanan internasional.

Demistifikasi Korea Utara Sebagai Rogue State

Membicarakan proliferasi nuklir di Semenanjung Korea seringkali berlangsung dalam satu arah. Terdapat satu aktor yang selalu menjadi dalang di balik instabilitas kawasan, yakni Korea Utara. Korea Utara digambarkan sebagai aktor irasional dengan ambisi nuklir melalui berbagai percobaan rudal jarak jauh yang menjadi ancaman bagi negara-negara tetangganya. Narasi yang muncul baik dalam media internasional maupun dalam forum regional memunculkan persepsi negatif satu arah kepada Korea Utara melalui pelabelan Korea Utara sebagai rogue state, terutama sebagai persepsi ancaman setelah Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet (Hoyt, 2000). Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam melabel aktor-aktor yang bertentangan dengan interest dan proyeksi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Sebagai konsep, definisi rogue state sendiri tidak disepakati secara universal. Namun, secara umum karakter yang disepakati adalah ancaman terhadap sekuriti dan stabilitas internasional dan sifat agresif terhadap negara-negara tetangga dan kawasan dan aspirasi terhadap pengembangan senjata pemusnah masal, termasuk nuklir . Namun, konsep ini mendapat banyak kritik terutama terkait inkonsistensi dalam kriteria (Lampas, 2022). Meskipun demikian, label ini masih dianggap relevan dalam mendeskripsikan Korea Utara.

Label rogue state pada akhirnya justru akan menambah keraguan internasional terhadap proses dialog denuklirisasi. Label ini dapat dijadikan sebagai justifikasi bagi kehadiran kekuatan eksternal di semenanjung, seperti Amerika Serikat, sebagai prasyarat untuk memulai konflik terbuka seperti dalam pelabelan terhadap Irak yang berdampak pada invasi dan instabilitas berkepanjangan di Irak (Beck dan Gerschewski, 2009). Dalam menganalisis potensi pecahnya konflik nuklir di Semenanjung, diperlukan sudut pandang dari kedua sisi, termasuk sudut pandang dari sisi Korea Utara yang merupakan kekuatan nuklir dan demistifikasi pelabelan rogue state terhadap aktor terlibat; Korea Utara.

Persepsi Ancaman di Semenanjung dan Dampaknya terhadap Proliferasi Nuklir

Sebagai kekuatan berdaulat dan logis, Korea Utara juga memiliki hak untuk bertindak selayaknya negara lain ketika sesuatu yang dianggap sebagai ancaman muncul ke depan pintu mereka. Kehadiran Amerika Serikat berdasarkan perspektif Korea Utara, atas dasar kondisi apapun, dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka. Amerika Serikat memiliki sejarah menyerang Korea Utara pada masa Perang Korea secara masif hingga menyebabkan korban berjatuhan yang sangat tinggi. Pengeboman ini menjadikan Korea Utara sebagai salah satu negara yang paling terdampak oleh pengeboman selain Vietnam, Laos, dan Kamboja. 

Selain faktor historis, Amerika Serikat juga pasca Perang Dunia II merupakan kekuatan nuklir terbesar di dunia. Maka terdapat justifikasi bagi Korea Utara untuk melihat kehadiran aktor eksternal ini sebagai sebuah ancaman. Pertimbangan ini disebut sebagai threat perception dalam menganalisis konflik internasional. Dalam menganalisis potensi konflik, diperlukan proses identifikasi antara persepsi dan ancaman dan bagaimana keduanya merupakan variabel moderator terhadap aksi dan reaksi dalam konflik internasional (Cohen, 1978). Kehadiran Amerika Serikat sebagai aktor eksternal di semenanjung dapat diidentifikasi sebagai aksi yang kemudian dipersepsikan sebagai ancaman dan proliferasi nuklir di Semenanjung Korea sebagai reaksi terhadap ancaman tersebut. Pemahaman ini diperlukan untuk mengeliminasi prasangka terhadap Korea Utara atas asumsi keengganan mereka untuk bernegosiasi, termasuk dalam dialog mengenai upaya denuklirisasi Semenanjung Korea.

Langkah Denuklirisasi Semenanjung

Kedua negara sebenarnya sudah pernah memiliki kesepakatan dalam proses denuklirisasi semenanjung. Dalam Joint Declaration on The Denuclearization of The Korean Peninsula, kedua negara sepakat untuk tidak melakukan perkembangan dan percobaan senjata nuklir dan hanya menggunakan nuklir dalam kapasitas sumber energi. Selain itu, perjanjian ini juga memuat pembentukan komite pengecekan proses denuklirisasi yang terdiri dari anggota kedua negara. Perjanjian ini disepakati pada 1992. Komite terbentuk kemudian melakukan beberapa pertemuan meskipun pada akhirnya tidak menemukan kesepakatan tidak diimplementasikan oleh kedua negara.

Kerangka kesepakatan lainnya mengenai non-proliferasi nuklir juga dapat dilihat pada Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) antara Iran dengan lima kekuatan nuklir utama (Tiongkok, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Rusia) beserta Jerman dan Uni Eropa. Perjanjian ini memuat kesepakatan terkait penelitian dan pengembangan nuklir Iran dan pembatasannya hanya pada bidang energi. Dalam perihal teknis, Iran juga bersedia untuk menurunkan kapasitas nuklir secara bertahap dan mengalihfungsikan beberapa reaktor nuklir guna menghindari dugaan pengembangan senjata nuklir. Agensi pengawasan nuklir Internasional juga melakukan pengontrolan berkala guna memastikan kesepakatan tetap dipatuhi. Melalui kesepakatan ini, Dewan Keamanan PBB meringankan sanksi terhadap Iran. Aktor terlibat dalam JCPOA juga memiliki pendekatan yang berbeda, di mana Amerika Serikat pada akhirnya dinilai melabeli Iran sebagai rogue state untuk memuluskan pemberian sanksi yang dinilai sebagai tujuan akhir dan mengisolasi Iran dari komunitas Internasional, sedangkan aktor lainnya seperti Uni Eropa justru melihat sanksi sebagai alat untuk mengajak Iran agar terlibat dalam proses dialog (Ribeiro-Lemos dkk, 2023). Sebagai aktor rasional, Iran jelas bersedia terlibat dalam dialog dengan aktor lainnya. Demistifikasi label dan rasionalisasi inilah yang diperlukan dalam proses dialog mengenai denuklirisasi, termasuk dengan Korea Utara.

Indonesia dapat belajar dari kedua kesepakatan tersebut. Dalam mengambil peran sebagai mediator, Indonesia harus mengidentifikasi akar masalah dan memberikan medium yang sama bagi kedua pihak. Selain intensifikasi dialog, Indonesia mempunyai posisi sebagai mediator yang tidak memiliki kehadiran langsung dalam proliferasi nuklir di semenanjung. Posisi ini akan bermanfaat terutama bagi pihak yang merasa selama ini tidak diuntungkan dalam setiap proses negosiasi. Korea Utara sebelumnya bersedia untuk terlibat dalam diskusi dengan aktor yang memiliki kehadiran langsung di semenanjung, seperti pada pertemuan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat di Singapura pada 2018. Sehingga kehadiran Indonesia yang diharapkan melakukan mediasi secara objektif juga dapat disambut dengan baik. Tentu kesediaan ini juga harus diikuti dengan penawaran yang logis terhadap sudut pandang kedua pihak yang berada di semenanjung, baik sudut pandang Korea Utara maupun Korea Selatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun