Mohon tunggu...
Rizka AuliaFauziah
Rizka AuliaFauziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student

i am a writer an also as a student of informatic engineering, stay tuned with my writing!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Kematian, Pulang yang Sebenarnya

6 Oktober 2024   21:53 Diperbarui: 6 Oktober 2024   22:36 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh @hhayynaa_

Kematian---sebuah kata yang sangat menakutkan, namun tak bisa dihindarkan dari kehidupan. Sejatinya, "setiap yang bernyawa pasti akan mati". Sebagai makhluk ciptaan-Nya, kita dianugerahi akal untuk berpikir dan kesadaran akan keterbatasan hidup. Ini adalah berkah sekaligus kutukan yang membentuk sudut pandang kita dalam menjalani kehidupan.

 Menghadapi Ketidakpastian

Sebagai ciptaan-Nya yang pasti akan merasakan kematian, kita sering terjebak dalam pertanyaan "kapan?", tanpa mempersiapkan "apa". Padahal, "apa" jauh lebih penting daripada sekadar bertanya-tanya tentang waktu yang jelas-jelas tak pasti. Ajal bisa datang kapan saja, tanpa pemberitahuan.

Kesadaran akan ketidakpastian ini pertama kali menghantamku ketika ditinggal oleh orang terdekat yang takkan pernah kembali. Saat itulah aku mulai merasakan betapa rapuhnya keberadaan kita dan betapa berharganya setiap momen yang kita miliki.

 Mencari Makna dalam Keterbatasan

Kesadaran akan kematian bisa menjadi beban, tetapi juga bisa menjadi motivasi untuk mempersiapkan kepulangan dengan baik. Pertanyaan yang selalu menghantuiku: "Jika waktuku hanya sebentar, bagaimana seharusnya aku menghabiskannya?" Pertanyaan ini mendorongku untuk mencari makna, mengejar impian, dan menghargai setiap proses dan momen yang kulalui.

Meskipun banyak orang takut akan negativitas dalam kata "kematian", bagiku ia telah menjadi guru yang paling bijak. Kematian mengajarkanku untuk tidak menunda-nunda, terutama dalam hal-hal penting seperti ibadah. Pikiran "bagaimana jika aku mati dalam 5 menit?" mendorongku untuk segera menunaikan kewajiban, menyadari bahwa setiap pertemuan bisa jadi yang terakhir, dan setiap perpisahan mungkin adalah selamat tinggal untuk selamanya.

Merangkul Kehidupan

Paradoksnya, semakin aku menerima kenyataan akan kematian, semakin aku bisa merangkul kehidupan sepenuhnya. Aku belajar untuk lebih menghargai hal-hal kecil---sebuah senyuman, hangatnya sinar matahari, atau kesempatan untuk bernafas di setiap detiknya.

Kematian juga mengajarkanku tentang kerendahan hati. Di hadapan alam semesta yang luas dan abadi, keberadaan kita hanyalah sekejap mata. Namun, justru karena itulah setiap tindakan kita menjadi berarti. Setiap kebaikan yang kita lakukan, setiap cinta yang kita bagikan, memiliki potensi untuk menciptakan riak yang akan terus bergema bahkan setelah kita tiada.

Pada akhirnya, hubunganku dengan kematian adalah hubungan yang kompleks---campuran antara rasa takut, penghormatan, dan penerimaan. Namun, satu hal yang pasti: kesadaran akan kematian telah membuatku lebih hidup dari sebelumnya. Kematian menjadi pengingat konstan untuk hidup sepenuhnya, mencintai dalam-dalam, dan meninggalkan dunia sedikit lebih baik dari saat kita menemukannya. Dalam bayang-bayang kematian, aku belajar untuk menghargai setiap nafas, setiap kata, dan setiap tindakan---karena kita tak pernah tahu kapan kesempatan terakhir itu akan datang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun