Bayangkan sebuah dunia di mana mesin mengerjakan hampir semua tugas manusia. Pernyataan Elon Musk bahwa "AI suatu saat bisa melakukan segalanya" memicu pertanyaan penting: apakah ini ancaman bagi manusia atau peluang baru yang menjanjikan? Ketika teknologi berkembang pesat, kita dihadapkan pada dilema—apakah peran manusia akan digantikan atau justru sebaliknya?
Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini hadir di hampir setiap aspek kehidupan kita. Dari alat sederhana seperti asisten virtual yang membantu mengerjakan tugas sehari-hari hingga fenomena seperti menjadi kandidat wali kota berbasis AI di Jepang, kemajuan ini semakin sulit diabaikan. Data menunjukkan lebih dari 24 miliar kunjungan tercatat pada alat berbasis AI selama setahun terakhir, dan Indonesia menjadi salah satu pengguna terbesar. Semua ini menegaskan bahwa AI bukan lagi sekadar konsep futuristik, melainkan realitas yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Para ahli, termasuk Elon Musk dan Geoffrey Hinton, mengingatkan bahwa AI membawa potensi risiko serius jika tidak diatur dengan bijak. Mereka mengatakan bahwa AI memiliki potensi bahaya setara dengan bom nuklir yang mengancam peradaban umat manusia. Namun, ada anggapan bahwa AI hanyalah alat. Tanpa emosi, intuisi, dan etika yang dimiliki manusia, AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia. Kolaborasi yang sehat antara teknologi dan manusia menjadi kunci untuk menciptakan masa depan yang seimbang.
AI tidak luput dari kekurangan. Salah satu contohnya adalah uji coba sistem pemesanan drive-thru berbasis AI di McDonald’s, Amerika Serikat. Alih-alih meningkatkan efisiensi, sistem ini sering mencatat pesanan secara keliru, hingga akhirnya dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa AI masih belum siap untuk menggantikan peran manusia saat ini. Teknologi secanggih apa pun masih memerlukan pengawasan dan keahlian manusia untuk mendapatkan hasil optimal.
Alih-alih melihat AI sebagai ancaman, kita sebaiknya melihat AI sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Dengan menggabungkan kekuatan manusia dan AI, kita dapat mencapai hasil yang lebih baik. Manusia dapat memberikan kreativitas, empati, dan judgment, sedangkan AI dapat memberikan kecepatan, akurasi, dan kekuatan komputasi.
AI tidak akan menggantikan peran manusia tetapi akan merubah cara kita bekerja. Pekerjaan-pekerjajaan yang membutuhkan keterampilan sosial, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis akan tetap menjadi domain manusia. Namun, kita perlu terus belajar dan mengembangkan keterampilan baru agar tetap relevan di era AI.
AI adalah inovasi luar biasa yang terus mengubah cara kita hidup dan bekerja. Tetapi, teknologi ini harus digunakan dengan bijaksana. Selama manusia tetap memegang kendali, AI dapat menjadi rekan yang baik, bukan pengganti. Jadi, AI tidak akan menggantikan peran manusia tetapi manusia yang bisa menggunakan AI pasti akan menggantikan manusia yang tidak bisa menggunakan AI. Masa depan yang cerah menanti jika kita mampu menjalin harmoni antara inovasi teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.
CEO Apple mengatakan : “What all of us have to do is to make sure we are using AI in a way that is for the benefit of humanity, not to the detriment of humanity.” -Tim Cook.
“Yang harus kita semua lakukan adalah memastikan bahwa kita menggunakan AI dengan cara yang memberikan manfaat bagi umat manusia, bukan merugikan umat manusia.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H