Dalam teori keadilan sosial yang dikemukakan oleh John Rawls, keadilan menjadi fondasi utama bagi setiap institusi sosial. Rawls menekankan bahwa prinsip keadilan harus berakar pada kesetaraan hak dan kebebasan yang dijamin oleh sistem konstitusional yang adil. Namun, bagaimana jika prinsip ini dihadapkan dengan realitas politik yang kompleks, seperti yang terjadi di Indonesia?
Menurut Rawls, konsep keadilan didasarkan pada fairness atau Pure Procedural Justice, yang menggabungkan dua pandangan utama: natural law dan government. Dalam konteks ini, natural law mencakup kewajiban moral individu, sementara government mengacu pada kewajiban institusi negara untuk bertindak adil. Prinsip ini juga termasuk dalam ide original position dan veil of ignorance yang mengedepankan rasionalitas dan kesetaraan.
Di Indonesia, teori ini diuji dengan realitas politik yang sering kali bertentangan dengan prinsip keadilan yang diusung oleh Rawls. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terselesaikan dengan tuntas, meskipun terdapat lembaga seperti Komnas HAM yang berupaya keras memperjuangkannya.
Prabowo Subianto memiliki catatan panjang yang kontroversial terkait dugaan pelanggaran HAM. Dalam beberapa kesempatan, Komnas HAM mencoba memanggil Prabowo untuk dimintai keterangan mengenai kasus Trisakti dan penghilangan aktivis pada masa Orde Baru, namun pemanggilan ini sering kali tidak diindahkan. Ketua Komnas HAM, Siti Nurlaila, bahkan pernah mengajukan permohonan pemanggilan langsung kepada Prabowo, namun belum mendapatkan respons yang memadai.
Situasi ini menggambarkan tantangan besar dalam menegakkan keadilan di Indonesia, di mana kekuatan politik sering kali menghalangi proses hukum dan keadilan. Bahkan, status Prabowo yang hanya sebatas saksi bukan tersangka, menunjukkan adanya hambatan struktural dalam sistem peradilan Indonesia.
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Aktivis HAM dan organisasi masyarakat sipil menilai bahwa langkah ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Reformasi 1998 dan perjuangan para korban pelanggaran HAM. Mereka berpendapat bahwa Prabowo, yang diduga terlibat dalam sejumlah pelanggaran HAM berat, tidak pantas menerima gelar kehormatan tersebut.
Koalisi masyarakat sipil mengadakan berbagai aksi protes dan kampanye untuk menolak pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo. Mereka berpendapat bahwa penghargaan semacam itu seharusnya diberikan kepada individu yang benar-benar bersih dari catatan pelanggaran HAM dan memiliki kontribusi positif dalam penegakan HAM di Indonesia. Menurut mereka, pemberian gelar ini hanya akan memperburuk citra pemerintah dalam hal komitmen terhadap penegakan HAM dan akan semakin menjauhkan harapan masyarakat akan keadilan.
Ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024, banyak pihak menyoroti rekam jejak Prabowo terkait pelanggaran HAM di masa lalu. Namun, pasangan ini tidak memberikan janji yang konkret untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan aktivis HAM, mereka merasa bahwa pemerintahan baru ini mungkin tidak akan memberikan perhatian yang cukup terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah lama mengendap.
Aktivis HAM, seperti Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, menekankan pentingnya penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu untuk menghindari pengulangan sejarah kelam. Usman menyatakan bahwa tanpa adanya penuntasan yang adil, moralitas kolektif masyarakat akan terus tercederai, dan masa depan bangsa akan terancam oleh bayang-bayang impunitas. Pernyataan ini menggambarkan keprihatinan mendalam terhadap kemungkinan bahwa kasus-kasus tersebut akan kembali diabaikan di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran.
Di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian ini, Aksi Kamisan muncul sebagai simbol perlawanan yang konsisten terhadap impunitas dan ketidakadilan. Selama 17 tahun, para aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM berkumpul setiap Kamis di depan Istana Merdeka, mengenakan pakaian hitam dan membawa payung hitam sebagai simbol duka dan perlawanan.
Mereka menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, mengembalikan martabat para korban, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Meski perjuangan mereka tampak seperti sebuah fatamorgana di tengah padang pasir impunitas, semangat dan keteguhan mereka memberikan harapan bagi banyak orang.