Saya pernah bercerita tentang kondisi saya satu tahun yang lalu. Saat itu saya masih dipercaya untuk menjadi pengurus koperasi guru di kecamatan tempat saya tinggal. Amanah itu sebetulnya telah bertahun tahun saya jalani.Â
Tetapi setahun yang lalu itu adalah tahun keempat saya bekerja sendiri karena teman teman seangkatan ( yaitu pengurus dalam periode sebelumnya telah ada yang meninggal atau keluar dari keanggotaan koperasi karena purna tugas ).Â
Sementara posisi pengurus yang lain otomatis diisi oleh orang orang baru yang tidak saya paham karakternya luar dalam. Keadaan ini sungguh menjadi dilema karena bekerja dengan orang orang baru membutuhkan ketabahan hati yang luar biasa.Â
Selama 4 tahun pertama berbagai masalah yang berkaitan dengan perkoperasian itu dapat saya tangani dan dijalani dengan demikian tabahnya.Â
Hingga sampailah pada peristiwa di tahun keempat itu yang membuat saya berkesimpulan untuk mengakhiri pengabdian panjang saya di koperasi itu pada tahun kelima ketika saatnya dilaksanakan reformasi pengurus dan pengawas dalam sebuah rapat anggota tahunan.Â
Meskipun nama saya terpilih dalam nominasi pengurus untuk periode berikutnya,tapi saya membulatkan tekad untuk berhenti .
Mulanya istri saya keberatan dengan keputusan saya itu.Saya paham karena mungkin dia beranggapan aliran rejeki yang akan saya terima setiap bulan akan berkurang.
Ya,singkat cerita karena " sampingan " selain gaji bulanan saya sebagai seorang guru sekolah dasar. Saya menguatkan hatinya bahwa Tuhan telah mengatur aliran rejeki makhluknya dengan sedemikian rinci sehingga tidak mungkin akan tertukar satu dengan yang lainnya. Jika Tuhan sudah turut campur dalam aliran rejeki maka saya meyakinkan istri untuk tidak takut menjalani kehidupan berikutnya.
Maka mulailah saya bersama keluarga menjalani hidup dengan satu aliran saja dari gaji bulanan saya tadi. Aliran air itu harus kami atur dengan sebaik-baiknya karena banyak lahan yang membutuhkan asupannya. Belum lagi berbagai masalah yang mengharuskan kami harus mengalirinya " lebih deras " dibandingkan dengan sebelumnya. Sungguh bukan perjuangan mudah. Kami berdua tentu belajar banyak menekan ego masing-masing. Berupaya keras mengedepankan urusan anak-anak dan keluarga di atas kepentingan pribadi. Saya salut dengan pasangan saya yang justru menjadi manajer paling sederhana tetapi menurut saya lebih jitu dan berdampak. Di samping karena kemampuannya mengatur keuangan yang bisa dikatakan tak seberapa itu,dia juga tahan terhadap berbagai tuntutan hidup mewah yang justru dia dengar sehari-hari di rumah. Yang lebih mengejutkan saya adalah keputusannya untuk selalu berbagi dan berbagi meskipun dalam jumlah yang kecil. Dia suka sekali memberi orang lain kebahagiaan dengan hal-hal yang menurut saya itu remeh.Maka mau tidak mau,saya juga harus menyelaraskan langkah dengannya. Saya mulai mengurangi pengeluaran untuk hal-hal yang saya tidak perlu. Saya belajar memilah berbagai persoalan dan tuntutan, apakah yang perlu didahulukan dan apa saja yang bisa untuk kami tunda.
Tahun ini kami juga terus belajar,berbenah dan terus berusaha mengolah aliran rejeki tadi agar terus mengalir sesuai porsinya namun juga memberi dampak bagi kehidupan kami dan anak anak kami. Sekarang,di masa depan,di dunia ataupun di akhirat nanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H