HARI masih pagi. Sinar matahari belum terasa begitu panas. Tapi di sini sudah mulai ramai. Orang lalu lalang untuk berolahraga. Jalan kaki. Tapi pesepeda lebih banyak lagi. Memang tidak seramai di kota. Toh ini di pinggiran kota. tepatnya di kaki gunung, yang jauh dari polusi dan hingar bingar khas kota besar seperti Bandung. Lelaki separuh baya itu tampak asyik melakukan pekerjaan rutinnya ketika akhir pekan tiba: membakar jagung manis. Beberapa buah jagung sudah selesai dibakar, menunggu mereka yang akan membelinya. Sebagian lagi masih terbungkus. Jagungnya masih segar, hasil panen dari kebun yang berada di belakang kiosnya. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Jagung siap dibakar (dok. pribadi)"][/caption] "Tiap minggu memang suka ramai yang datang ke sini, untuk berolahraga," ujar si bapak yang saya tidak tahu namanya ketika ditanya apakah banyak yang datang ke tempat ini. Sambil mengipasi jagungnya yang sedang dibakar, bapak itu lalu bercerita jika hampir setiap minggu kawasan Gunung Puntang menjadi tempat favorit untuk berolahraga. "Tapi kalau hari biasa sepi." Jagung bakar memang menjadi salah satu kuliner yang banyak diburu warga yang datang ke tempat ini. Sembari menghirup udara segar khas pegunungan dan menikmati pemandangan Bandung raya yang terlihat di kejauhan, menjadikan menyantap jagung bakar terasa lebih nikmat. Apalagi setelah berusaha menaklukkan jalur menanjak sepanjang 8 kilometer dari pertigaan Jalan Pangalengan-Banjaran menggunakan sepeda. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Pemandangan dari kios Jagung (dok. Pribadi)"]
[/caption] Tak hanya tukang jagung bakar saja yang ada di kawasan wana
wisata itu. Ada tukang bandrek, dan beberapa kios yang menyediakan makanan ringan serta minuman. Beberapa kios nampak dipenuhi orang yang sedang beristirahat, kebanyakan para pesepeda. Jalur menuju Gunung Puntang memang sangat menggoda bagi para pesepeda, termasuk saya yang masih pemula. Jalurnya menanjak, khas pegunungan. Selain itu jalannya lumayan bagus, karena sudah diaspal, meski di beberapa bagian sudah ada yang mengelupas. Selain itu, jalur ini relatif sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Hanya sesekali mobil angkot (lebih tepatnya angdes) dan mobil yang menuju tempat perkemahan yang lewat. Motor pun tidak terlalu ramai, sehingga bersepeda menjadi lebih leluasa. Menurut petunjuk yang ditemukan di jalan, jarak dari pertigaan Jalan Pangalengan sampai ke tempat tujuan sekitar 8 kilometer. Mungkin jarak sebenarnya kurang dari itu. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Malabar di depan mata (dok pribadi)"]
[/caption] Tapi, di manakah Gunung Puntang itu? Di peta, sepertinya gunung ini sering tidak tertulis. Yang ditulis gunung yang "dipuntanginya", Gunung Malabar. Ya, Gunung Puntang memang seperti anak gunung Malabar, dengan ukuran yang lebih kecil. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu penunjuk arah ke kawasan Gunung Puntang (dok pribadi)"]
[/caption] Kawasan Gunung Puntang sebenarnya tempat untuk berkemah. Untuk masuk ke tempat ini, setiap orang dikenai tarif sebesar Rp7.500 (data per April 2012). Jika membawa kendaraan, tarifnya bertambah. Untuk sepeda motor dikenai bayaran Rp2 ribu, mobil Rp5 ribu, dan truk atau bus sebesar Rp10 ribu. Di kawasan ini terdapat beberapa lapangan yang cukup luas bagi orang atau perusahaan yang mengadakan kegiatan. Tentu saja ini (kalau tidak salah) harus bayar lagi. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Welcome to Gunung Puntang (dok pribadi)"]
welcome to Puntang Mountain
[/caption] Tak jarang ada yang datang ke tempat ini hanya untuk sekadar mencari udara segar khas pegunungan. Juga bagi yang ingin menjajal adrenalin dengan sepeda gunungnya, dapat juga dilakukan di sini. Sayangnya saya belum pernah mencobanya. Lain kali mungkin harus dicoba. Selain tempat cocok untuk berkemah, sebenarnya kawasan ini pun cukup bersejarah. Di tempat ini, pernah dibangun sebuah stasiun radio pemancar, Radio Malabar. Konon, stasiun ini menghubungkan Bandung dengan Belanda yang jaraknya ribuan kilometer. Konon juga, kata "halo Bandung" dalam lagu "Halo Halo Bandung" terinspirasi dari stasiun radio ini ketika orang Belanda yang ada di Eropa berkomunikasi dengan rekannya di Hindia Belanda. Konon. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Radio Malabar tempo doeloe (diambil dari
http://kask.us/13781617 )"]
[/caption] Tak hanya stasiun radio, di sini pun dibangun bangunan penunjang lain, seperti rumah peristirahatan, lapangan olahraga, dan -masih katanya- sebuah bioskop. Juga ada goa dan kolam cinta, yang berbentuk hati. Fasilitas yang lumayan lengkap untuk ukuran pedalaman yang jauh dari kebisingan kota Bandung. Sayangnya, kini bangunan itu sudah tinggal puing-puing. Kondisinya pun tidak terawat. Kabarnya, kerusakan ini terjadi sejak masih zaman penjajahan, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda. Juga fasilitas lain, seperti kolam dan goa. Apakah ada usaha untuk membangun kembali bangunan-bangunan itu? Atau sekadar merawatnya agar tetap dapat dinikmati? Entahlah.
*Ditulis juga di sini*Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya