Mohon tunggu...
Haha Hihi
Haha Hihi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kejahatan Pelecehan Seksual dalam Perspektif Hukum Pidana

10 Januari 2023   07:54 Diperbarui: 10 Januari 2023   08:00 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEJAHATAN PELECEHAN SEKSUAL

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Rangga Alfarichi Nur Saputra

Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum

ranggaalfarichi8@gmail.com

Meilan Arsanti, S. Pd., M.Pd.

dosen pengampu mata kuliah B Indonesia

meilanarsanti@unissula..ac.id

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis pengaturan

tentang perbuatan pelecehan seksual dalam perspektif hukum pidana serta

menganalisis pengaturan perbuatan pelecehan seksual verbal

menurut pembaharuan hukum pidana.

Posisi perempuan dalam kehidupan sosial ternyata masih belum sesuai dengan posisi laki-laki, meskipun upaya ke arah itu telah dilakukan sejak lama dan terus dilakukan. Alasan utamanya adalah kuatnya faktor sosial, budaya dan kelembagaan yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dalam analisis gender berulang kali dapat diamati bahwa beberapa perempuan mengalami penundukan, eksklusi, superioritas dan bahkan kekerasan. Penelitian di empat provinsi menunjukkan bahwa sekitar 90 persen perempuan pernah mengalami kekerasan di depan umum (Wattie, 2002). Ditemukan juga bahwa perempuan tidak bebas dari kekerasan bahkan di dalam rumah mereka sendiri.

Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pelecehan seksual. Berdasarkan data yang ada, kekerasan seksual di ruang terbuka tampaknya sama lazimnya dengan kekerasan non-seksual. Kekerasan seksual sering disamakan dengan pelecehan seksual. Dari perspektif korban perempuan, keduanya tidak ada bedanya. Mulai sekarang, keduanya tidak lagi dibedakan dalam dokumen ini, dan artikel ini akan menggunakan istilah "pelecehan seksual", bukan "kekerasan seksual".

PENDAHULUAN

Artikel ini membahas tentang permasalahan sosial yang dianggap suatu hal yang wajar di kalangan masyarakat, namun memiliki dampak buruk bagi kalangan yang menjadi objek dari perbuatan tersebut. Perbuatan ini berpotensi adanya tindak pidana, namun tidak ada kepastian hukum padahal perbuatan ini merupakan kategori kejahatan yang melanggar norma kesusilaan dan termasuk pelecehan seksual verbal. 

Pelecehan Seksual merupakan bentuk tingkah laku mengandung seksual yang tidak diinginkan oleh objeknya, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, baik secara lisan, atau fisik yang tempat kejadiannya bisa di ruang publik. Perbuatan dalam bentuk lisan maupun fisik kini sering terjadi di kalangan masyarakat khususnya bagi perempuan. Hal tersebut membuat perempuan tidak merasa aman, damai dan tentram. Apalagi perbuatan pelecehan seksual dilakukan di ruang publik akan lebih membuat korban merasa tidak aman dan nyaman saat berada di luar rumah. Padahal setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

pada peristiwa pelecehan seksual sebagian besar korban adalah perempuan dan pelakunya hampir pasti laki-laki. Tidak berarti bahwa tidak ada laki-laki yang mengalami pelecehan seksual, namun jumlah dan proporsinya tergolong kecil. Dengan demikian, urgensi membahas pelecehan seksual terhadap peempuan memang didukung fakta yang kuat tanpa harus menafikan kenyataan yang sebaliknya.

secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat, semua warga negara berpartisipasi penuh atas terjadinya kejahatan sebab masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Tanpa kepercayaan itu, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. kepercayaan terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur

organisasional. Bagi korban kejahatan dengan terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut.

Menurut Ani Purwanti,"Kekerasans seksual merpakan jenis kekerasan yang dapat terjadi baik di ruang publik maupun domestik, subyek hukum pelaku kekerasan seksual biasanya diderita oleh perempuan dan anak yang sering dianggap korban lemah". Lebih lanjut "kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan universal. Tidak hanya endemis tetapi juga pervasive dan berulang-ulang terjadi dimana-mana dalam kurun waktu yang sangat panjang".

Berkaitan dengan kuantitas kekerasan seksual, ada hal yang perlu menjadi perhatian. Tingginya angka kekerasan kasus yang terjadi, menandakan tingginya kesadaran korban atau pelaku untuk melapor dan terbukanya akses informasi bagi korban dan keluarga untuk memperjuangkan keadilan. Bahwa rendahnya angka kekerasan seksual bukan berarti tidak terjadi kekerasan seksual, kemungkinan bahwa tidak terungkapnya kasus tersebut ke proses hukum, kurangnya bukti dan perbuatan yang dilakukan pelaku tidak tergolong ke dalam kejahatan kesusilaan yang diatur dalam KUHP atau sebab internal korban, seperti beban mental korban maupun keluarga sehingga tidak ingin memproses secara hukum.

TINJAUAN PUSTAKA

A RUANG LINGKUP KEJAHATAN KESUSILAAN

menurut Adam Chazawi dalam bukunya yang berjudul 'Tindak Pidana Mengenai Kesopanan' bahwa kata kesusilaan telah dipahami oleh setiap orang, sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau nafsu birahi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa kesusilaan adalah kejahatan yang berhubungan dengan kesusilaan. Definisi singkat ini apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas 'kesusilaan' itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat. terlebih pada dasarnya setiap tindak pidana (delik) mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan; bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan uang minimal

Dengan demikian, sebenarnya tidaklah mudah menetapkan batas-batas atau ruang lingkup kejahatan kesusilaan. Dalam lokakarya mengenai "bab-bab kodifikasi hukum pidana" yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen kehakiman pada tanggal 23 - 25 april 1985 di Jakarta, masalah ini pernah dikemukakan dalam makalah prof. Mr. Roeslan Saleh

B. KEKERASAN/PELECEHAN

Sekitar era tujuh puluhan, masyarakat Indonesia merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap kasus pemerkosaan Sum si penjual jamu di wilayah DI Yogyakarta. Kasus yang dikenal sebagai peristiwa "Sum Kuning" tersebut cukup menghentak kesadaran masyarakat akan muramnya nasib perempuan korban perkosaan.

Perkosaan cukup populer di kalangan masyarakat sebagai suatu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan, meskipun cara pandang atas kejadian tersebut masih bias patriarki, yaitu kecenderungan melihat korban sebagai pemicu kejadian. Sesungguhnya rentang kekerasan seksual bukan hanya perkosaan saja melainkan sangat bervariasi dan modus operandinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kekerasan seksual mengacu pada suatu perlakuan negatif (menindas, memaksa, menekan, dan sebagainya) yang berkonotasi seksual, sehingga menyebabkan seseorang mengalami kerugian.

Pelecehan seksual adalah terminologi yang paling tepat untuk memahami pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok/tidak senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan.

Pelecehan seksual karena rentangnya yang demikian luas, dapat terjadi dimanapun selama ada percampuran lelaki dan perempuan ataupun di komunitas yang homogen. Pelecehan seksual juga banyak terjadi di tempat kerja. Pelaku pelecehan seksual biasanya adalah laki-laki dengan posisi jabatan lebih tinggi ataupun rekan sejawat. Hal itu disebabkan karena di tempat kerja, terdapat hubungan yang cukup intens antara laki-laki dan perempuan, dan atmosfir kerja memungkinkan tumbuh suburnya praktek pelecehan seksual. Meskipun demikian, pelecehan seksual juga banyak terjadi di luar tempat kerja atau di tempat-tempat umum, dan bahkan sangat umum ditemukan bahwa pelakunya adalah orang yang tidak dikenal oleh korban, seperti misalnya pelecehan seksual di dalam bis umum, di jalanan, di pasar dan sebagainya.

METODE PENELITIAN

Masalah kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi dalam lingkup publik maupun privat, dan juga terjadi dalam tataran relasi gender.. Dalam sebuah jurnal Irwan Abdullah, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Dyah Pitaloka:" menyatakan perempuan yang secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode representasi sosial yang tampak dari pengaturan status dan peran perempuan.Subordinasi, diskriminasi, atau marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti juga disebut sebagai warga kelas dua yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.

 

Kajian terhadap kekerasan seksual juga bukan merupakan kajian bar namun selalu menarik dan penting untuk dibahas. Sebab, persoalan hukum yang ada saat ini, kian rentannya perempuan menjadi korban kejahatan tersebut, menandakan ada ketidakmampuan hukum dalam memberantas ataupun menanggulanginya. Hukum selayaknya mampu hidup dalam masyarakat.

 

Artikel ini pada dasarnya ingin menggali bagaimana hukum yang ada, bekerja pada permasalahan konkret (kasus kasus yang bukan bagian kekerasan dalam rumah tangga dan bukan kasus anak) dan apakah kiranya perbaikan terhadap hukum yang ada penting untuk dilakukan. Dalam kompleksitasnya masalah kekerasan seksual terhadap perempuan, penulis akan fokus pada permasalahan yang terjadi, yaitu bagaimanakah penerapan hukum terhadap kekerasan perempuan, penulis akan fokus pada permasalahn yang terjadi, yaitu bagaimanakah penerapan hukum terhadap kejahatan pelecehan seksual?

 

PEMBAHASAN

Pengaturan kekerasan seksual dalam KUHP dapat dilihat dalam beberapa pasal yang dimuat dalam buku kedua Bab IV tentang kejahatan kesusilaan yang tertera dalam pasal 281 KUHP- pasal 295 KUHP. Adapun jenis perbuatan yang dimuat dalam bab tersebut secara singkat penulis dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pasal 281 tentang kejahatan melanggar kesusilaan

  2. pasal 282 tentang pornografi

  3. pasal 283 tentang tindak pidana dengan menggunakan tulisan, gambar atau barang, ditambah dengan alat untuk mencegah kehamilan atau menggugurkan kandungan

  4. pasal 284 tentang perzinahan

  5. Pasal 285 tentang pemerkosaan

  6. pasal 286 tentang bersetubuh dengan wanita diluar perkawinan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya

  7. pasal 287 tentang bersetubuh dengan wanita diluar perkawinan yang sepatutnya diduga umurnya belum lima belas tahun

  8. pasal 288 pemaknaan dari pasal 287 ditambah jika mengakibatkan luka-luka

  9. pasal 289 tentang perbuatan cabul

  10. pasal 290 tentang perbuatan cabul dengan seorang pingsan tidak berdaya atau seseorang yang umurnya belum lima belas tahun

  11. pasal 293 tentang penyalahgunaan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan

  12. pasal 294 tentang pencabulan dengan anak sendiri dan sebagainya

Dari rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas pencabulan, perzinahan, persetubuhan, pornografi. Adapun yang menjadi klasifikasi kekerasan seksual terbatas pada perkosaan, pencabulan, persetubuhan dalam pengaturan tersebut, klasifikasi ini ditujukan bagi korban umum dan lingkup publik, sebab untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, diatur dalam undang-undang khusus, undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bagi korban anak, juga sudah diatur secara khusus dalam undang-undang no 35 tahun 2014

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan: "Barangsiapa  dengan  kekerasan  atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita  bersetubuh dengan dia di  uar perkawinan, diancam  karena  melakukan perkosaan  dengan  pidana  penjara  paling lama dua belas tahun." Mencermati pada tabel data dia atas, untuk perbuatan perkosaan, hakim menjatuhkan bervariasi antara 3 tahun  penjara  hingga 10 tahun penjara.

Selanjutnya,  dalam Pasal 293 KUHP yang isinya : 

(1) Barangsiapa  dengan memberi  atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum  dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan  dilakukan  perbuatan  cabul dengan    dia, padahal  tentang  belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus   diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 

(2)Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu

(3)Tenggang waktu tersebut  dalam Pasal 74 bagi pengaduan  ini  adalah masing-masing  sembilan  bulan  dan  dua belas bulan.Mencermati pada putusan hakim, bahwa  dalam  hal  perbuatan  penyesatan perbuatan cabul hakim hanya menjatuhkan  2  tahun  10  bulan,  artinya setengah  dari  ancaman  maksimal  pasal. Menurut  penulis,  hal  ini  kurang  relevan dengan akibat perbuatan pelaku terhadap korban.   

Jika    mencermati    pada    tindak pidana   perkosaan,   penjatuhan   pidana yang   dijatuhkan   oleh   hakim   terhadap perkosaan secara normatif tidak melanggar   aturan,   karena tidak   melebihi batas  maksimal  ancaman  pasal.  Namun perlu  dicermati  bahwa  delik  perkosaan tidak  dapat  dipersamakan  dengan  delik yang   lain.   Perkosaan   bukan   sekedar tindakan   yang   dilarang   dalam   aturan KUHP  sebagaimana  tindak  pidana  yang lain,   namun   penegak   hukum   (hakim) harus  dapat  melihat  ini  dalam  perspektif perlindungan perempuan.  Perkosaan tidak   hanya   melanggar   aturan   hukum tetapi lebih kepada pelanggaran integritas  kehormatan  perempuan.  Dari keseluruhan  perkara  yang  diputus  oleh hakim,  belum  ada  satupun  perkara  yang diputus dengan  ancaman  maksimal. Meskipun  dalam  fakta,  pelaku  terbukti bersalah. Pilihan   hakim ini  menurut penulis, belum   memihak   sepenuhnya terhadap perlindungan perempuan. "Merujuk  pada  pertimbangan  yang meringankan  dan  memberatkan,  dapat dianalisis bahwa     pemberian  sanksi hukum  faktor  yang  memberatkan  jauh lebih besar dibandingkan yang meringankan. Jika merujuk pada kenyataan tersebut idealnya sanksi hukum bagi pelaku perkosaan berada pada tingkatan berat." Tanpa mengurangi  penghargaan  terhadap  asas praduga tak bersalah, pertanyaan mendasar yang mengemuka, hal meringankan  apa  yang  digunakan  hakim untuk     tidak menjatuhkan ancaman maksimal.perlindungan perempuan. 

Perspektif perlindungan perempuan kiranya penting dimiliki hakim, jika menelaah   suatu   perkara kekerasan seksual perempuan. "Kekerasan seksual terhadap perempuan dan  anak, hakikatnya  merupakan salah satu bentuk kekerasan    menunjukkan kerentanan posisi perempuan dan atau anak  terhadap  kepentingan  seksual  laki laki." Identifikasi perilaku seorang pelaku perkosaan adalah hasrat  seksual dan kekuasaan kendali perempuan sebagai sebuah objek. 

Dalam hal pengaturan hukum, idealnya bukan hanya digolongkan  pada persoalan   susila seperti  yang  termuat dalam KUHP, namun tergolong kategori pelanggaran  hak  asasi.  "Perkosaan ditempatkan sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang    melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan keunggulan diskriminasi   gender, yang mengakibatkan perempuan sebatas diperlakukan sebagai objek   pemuasan kepentingan biologis kaum laki-laki." 

SIMPULAN DAN SARAN

  1. Kejahatan-kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan kesusilaan yaitu kejahatan kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual, diatur dalam Buku III KUHP mulai Pasal 281 sampai dengan Pasal 299 sebagai berikut: kejahatan dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya, kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawin, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan, yang umurnya belum 15 tahun, perkosaan berbuat cabul dan perbuatan cabul pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun, kejahatan perkosaan bersetubuh, kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa, kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang belum dewasa, kejahatan permudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, kejahatan memperdagangkan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa dan kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan.

  1. Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.

  1. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut 'perkosaan' Pasal 285 KUHP yang merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hakhak asasi yang paling kejam terhadap perempuan, juga oleh UU No. 13 Tahun 2006 khususnya dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari seorang perempuan yang menjadi korban. 

Merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang. oleh karenanya negara harus mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan tidak berlindung dibalik pertimbangan adat, tradisi atau keagamaan.

Negara harus mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan tidak berlindung dibalik pertimbangan adat, tradisi atau keagamaan, karena perempuan yang mengalami tindak kekerasan harus diberi akses kepada mekanisme peradilan dan dijamin oleh perundang-undangan nasional untuk memperoleh kompensasi yang adil dan efektif atas kerugian-kerugian yang diderita. Seharusnya para pelaku kekerasan/pelecehan seksual mendapatkan hukuman yang berat, karena aib yang diderita seorang perempuan tidak terhapuskan sepanjang hidupnya. 

Negara tidak boleh untuk menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan segera memberlakukan R-KUHP menjadi KUHP Nasional agar para pelaku perkosaan dapat dipidana sesuai dengan ancaman pidana yang sudah diatur dalam R-KUHP

DAFTAR PUSTAKA

Marchelya, S., Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Terhadap Perempuan    DOI

https://doi.org/10.35796/les.v1i2.1748

Elisabeth, S., Dessy, R., & zulham, A. S., Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas dan Hukum                                DOI

https://doi.org/10.33019/progresif.v14i1.1778

Sri. K., Pelecehan Perempuan di Tempat Kerja                    DOI

https://doi.org/10.22146/bpsi.7464

Yuni, k., & Andi. N,. Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana                            DOI

https://doi.org/10.22437/pampas.v1i2.9114

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun