Mohon tunggu...
Hagi Farizi
Hagi Farizi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Halo

Domba berbicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaimana Ketidaksetaraan Gender Terbentuk di Media Sosial

11 April 2021   10:01 Diperbarui: 11 April 2021   10:04 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

- Kekerasan

Penganiayaan baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin, sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap satu jenis kelamin lainnya. Gender telah membuat perbedaan antara karakter perempuan dan laki-laki, perempuan feminim dan laki-laki maskulin. Karna hal ini lah kemudian muncul pandangan bahwa laki-laki dianggap sebagai sosok yang gagah, kuat, berani, dan lain sebagainya.

- Subordinasi

Suatu penilaian bahwa suatu peran yang dilakukan satu jenis kelamin lebih rendah daripada yang lain.

Kesetaraan gender adalah situasi yang adil bagi perempuan dan laki-laki melalui proses budaaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan untuk berperan. Atau juga kondisi dimana perempuan dan laki-laki memiliki peran dan status yang setara untuk mewujudkan hak-hak dan potensinya secara penuh.

Dalam masyakarat gender secara tradisional digambarkan sebagai sesuatu yang berganda dan polar, tingkah laku dan kepatutan ditandai sebagi yang khas laki-laki dan yang khas perempuan. Pada masyarakat patriarki laki-laki ada di posisi atas sebagai pemimpin pengambil keputusan, sementara perempuan ada di posisi bawah mengikuti apa yang sudah di atur. Posisi hirarki umumnya terjadi dalam rumah tangga dimana laki-laki ada di depan sebagai kepala rumah tangga sementara perempuan ada di belakang. Contoh lain adalah di dunia kerja dimana laki-laki menjadi seorang bos dan perempuan adalah sekretaris.

Identitas dan representasi perempuan di media sosial masih menunjukkan kuatnya stereotipe terhadap perempuan akibat budaya partriakal selain juga perempuan sebagai obyek di media sosial. Di sisi lain, media sosial memang memiliki peranan yang besar dalam mengkonstruksi masyarakat sehingga gambaran tentang perempuan yang muncul di media jika tidak dikritisi akan dianggap natural, wajar, dan bahkan begitulah adanya. Padahal, jika saja akses perempuan terhadap media tidak terbatas, banyak yang bisa dilakukan oleh mereka yang kritis terhadap identitas dan representasi perempuan dan seks dalam media. (Dunphy, 2000: 28) Keterbatasan akses itu membuat perempuan menjadi terpinggirkan. Wajah perempuan yang sesunguhnya tidak tampak dan suara perempuan tidak terdengar karena terhegemoni oleh kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang berbalut nilai-nilai patriarkal.

Organisasi-organisasi non pemerintah (ornop-ornop) yang memperjuangkan hak-hak perempuan harus memiliki media sendiri untuk menyebarluaskan gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender.Media yang diperlukan untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan dan menggalang kesatuan untuk melakukan perubahan.Beberapa organisasi non pemerintah yang memperjuangkan hak-hak perempuan diharapkan memiliki media sendiri untuk tujuan-tujuan meningkatkan partisipasi dan akses perempuan melalui media dan teknologi komunikasi. Memperjuangkan hak-hak perempuan bisa juga dilakukan dengan menggunakan media newsletter sendiri untuk menyebarluaskan kesadaran dan isu-isu gender.

Pemberitaan kasus prostitusi yang melibatkan Vanessa Angel dalam portal berita detik.com memperoleh atensi publik yang tinggi. Kolom komentar baik di portal berita maupun akun sosial media resmi diisi berbagai macam opini publik. Pada tanggal 5 Januari 2019, beredar kabar tertangkapnya artis atas dugaan kasus prositusi online. Tidak lama berselang berbagai media online di Indonesia kemudian beramai-ramai memberitakan kasus yang melibarkan artis FTV Vanessa Angel di Surabaya. Pemberitaan berbagai media mainstream tersebut mendapatkan perhatian khalayak karena memiliki nilai berita. Beberapa hal yang menjadi perhatian publik adalah pertama, terlibatnya artis terkenal beserta tarifnya. Kedua, perisiwa baru terjadi di awal tahun 2019 dan viral di media sosial. Ketiga, peristiwa ini berimplikasi pada pengusutan kasus yang lebih dalam atas pelaku utama di kalangan artis.

Berita tersebut mengandung nilai berita yang tinggi dan menjadi konsumsi khalayak banyak. Jika dilihat dari perspektif wacana, sebagai sebuah produk wacana, tentu berita yang disajikan tidak netral dan objektif. Berita yang tersusun dari bahasa dalam pandangan wacana selalu memiliki muatan ideologis, baik sengaja maupun tidak. Asumsi dasar dari wacana adalah bahasa digunakan manusia untuk berbagai macam fungsi dan memiliki berbagai macam konsekuensi. Bahasa dapat digunakan untuk memerintah, memengaruhi, mendeskripsi, mengiba, memanipulasi, menggerakkan kelompok, atau membujuk (Udasmoro, 2016). Dengan kata lain, kita dapat melihat relasi kuasa wacana suatu masyarkat dari bahasa. Lewat bahasa dalam berita dalam kasus Vanessa Angel ini, kita bisa melihat bagaimana wacana terkait gender di Indonesia. Bahasa bukanlah sesuatu yang netral melainkan memiliki muatan ideologi tertentu yang dibentuk dan membentuk produsen dan konsumen teks (Fauzan, 2014). Karena itu bahasa tidak lepas dari bagaimana konstruksi dan kontestasi ideologi dari produsen dan konsumen teks.

Media sosial menjadi sebuah sasaran strategis bagi alat untuk menyuarakan identitas, keterwakilan dan kepentingan perempuan. Hal ini dikarenakan karakter dan peran media sosial yang khas sebagai sumber informasi, pendidikan, dan hiburan. Peran media sosial hingga saat ini masih bias gender, tidak berpihak kepada perempuan, malahan perempuan dijadikan komoditas produk acara atau iklan, berita yang dijual di media sosial, seharusnya masyarakat  mampu berperan sebagai watchdog bagi pemerintah dalam membongkar perspektif patriarkis di negeri ini, sehingga media sosial yang dihasilkan menjadi peka terhadap isu-isu perempuan. Meski beberapa organisasi non pemerintah perempuan telah begitu baik memanfaatkan industri media untuk menjalankan peran mereka, tetapi nyaris tidak ada dukungan dari pemerintah, industri iklan dan para pembuat kebijakan dalam industri media atas apa yang mereka lakukan. Tidak heran jika upaya gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender masih memiliki kendala hingga kini, karenanya diperlukan sebuah media alternatif yang luas jangkauannya dan mampu membawa perempuan pada perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun