Mohon tunggu...
hagi doank
hagi doank Mohon Tunggu... -

wah... gw gimana ya? Ga ada yang istimewa dari diri gw. Gw biasa-biasa aja. Bahkan mungkin sangat biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Aku Dilahirkan Seperti Ini? (part 4)

22 Desember 2009   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan masih sayang aku. Tuhan menyentuh dan membelaiku. Atas kehendak Tuhan aku bisa meninggalkan kebiasaan setan itu melalui perantara seseorang.

Ya berkat seseorang aku bisa meninggalkan kelakuan burukku sebagai seorang gay. Malaikat penyelamat itu adalah ibuku sendiri, orang yang paling aku cintai. Orang yang selalu menjaga dan merawatku tanpa keluh dan kesah.

2 tahun yang lalu, disaat aku seperti manusia tidak beriman. Manusia yang seakan lupa akan adanya Tuhan. Manusia yang kemudian baru menyadari bahwa Tuhan ternyata sayang pada umatnya. Tuhan menyentuhku melalui ibuku.

Suatu hari ibu menelponku. Aku masih ingat betul, saat itu jam satu dini hari waktu Jeddah dan jam 5 pagi waktu Indonesia. Ibu mengabarkan bahwa ada saudaraku yang mau berangkat haji. Ibu wanti-wanti agar aku menemui saudaraku bila mereka sudah tiba di Jeddah. Aku pun mengiyakan permintaan ibu. Setelah itu kami pun ngobrol mengenai banyaknya calon jemaah haji dari kampungku. Sampai suatu saat tiba-tiba saja hening tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku pun bertanya, "kenapa Bu? Ada apa?" Ibuku tidak menjawab. Beliau hanya mengisak pelan. "Ibu kenapa, kok nangis?" tanyaku lagi. "Tidak apa-apa nak," jawabnya dengan masih terisak. "Kalau tidak apa-apa kenapa ibu nangis?" aku terus bertanya. Ibuku kemudian menjawab dengan pelan dan masih terisak "Nak, ibu selalu memimpikan suatu saat bisa berangkat haji. ibu ingin sekali bisa naik haji, ya paling tidak bisa berangkat umrah lah. Tapi ibu juga sadar bagaimana keadaan kita. Mungkin ibu cuma bisa berharap saja." Saat itu seperti ada pisau tajam yang menusuk hatiku. Rasanya perih sekali. Aku tak kuat menahan air mataku. Aku menangis dari hatiku yang paling dalam. Bagaimana tidak. Aku yang tinggal melangkahkan kaki ke Tanah Suci,sama sekali tidak mengingat untuk menginjakan kaki ke Kota Suci itu, sementara ibuku yang jauh beribu-ribu kilometer begitu mengingikannya,begitu memimpikannya. Aku begitu malu. Malu pada diriku dan malu pada Tuhan.

Setelah kejadian itu. Aku terus merenung. Aku terus mengingat akan ibuku. Seorang ibu yang begitu menginginkan bisa berangkat haji. Aku pun mulai menyadari betapa bodohnya aku. Betapa dosaku teramat besar. Dan mulai saat itu, pelan-pelan aku mulai mengingat Tuhan. Aku mulai menangis jika ingat dosa-dosaku. Sampai suatu saat seorang teman mengajakku umrah. Aku tak berpikir dua kali, aku pun mengiyakannya,karena memang sudah ada niat di hatiku saat itu.

Hari sabtu tepatnya saat itu. Kebetulan aku dan temanku libur bersamaan. Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat hari itu. Tapi sebelum berangkat ke Mekkah, temanku mengajak aku ke rumah salah seorang saudaranya. Ternyata saudaranya itulah yang akan membingbing kami saat umrah. Dia sudah tinggal di Jeddah kurang lebih 20 tahun. Dia bekerja di salah satu mesjid di Jeddah.

Sesampainya aku di rumah saudara temanku itu. Akupun diperkenalkannya. Sebut saja namanya Pak Chairil. Pak Chairil berumur sekitar 50 tahun. Dia begitu bersahaja, begitu ramah dan hangat menerimaku, begitupun dengan istrinya, ibu Salamah. Sebenarnya dalam hatiku aku sangat malu. Aku yang begitu kotor berada di tengah-tengah keluarga yang begitu religius. Tapi untunglah mereka keluarga yang sangat baik dan hangat. Keluarga inilah yang akhirnya selalu membingbingku menuju jalan yang lebih baik. Dari merekalah aku belajar banyak mengenai islam dengan sesungguhnya sedikit demi sedikit.

Saking hangatnya keluarga Pak Chairil, siang pun tak terasa terlewati begitu cepatnya. Selesai shalat berjamaah maghrib, kami pun berangkat menuju Mekkah. Hanya dalam waktu satu jam saja, kami sudah berada di depan mesjid Dil Haram. Aku tertegun menatap sebuah Mesjid yang begitu indahnya. Mesjid yang selalu diimpi-impikan jutaan muslim di dunia termasuk ibuku tercinta. Setelah tertegun sekian lamanya Pak Chairil menyadarkanku dengan mengajakku masuk ke dalam Mesjid. Saat itu aku benar-benar malu pada Tuhan. Pantaskah aku yang kotor ini menginjakan kaki di mesjid Mu yang suci ini? tanyaku dalam hati. Aku manusia sampah yang kotor dan bergelimang dosa, pantaskah masuk ke dalam mesjid mu yang indah ini? Aku terus bergumam dalam hati.

Baru saja satu langkah di dalam mesjid, hatiku bergetar, perasaan yang entahlah tak bisa aku ceritakan. Teramat lagi saat ka'bah sudah ada di depanku. Di depan mataku. Hatiku bergetar seolah ada sesuatu yang menyentuh dinding-dinding hatiku. Sesuatu yang masuk melalui sekat-sekat jiwaku. Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyadari kebodohanku selama ini, aku yang berbulan-bulan telah menjadi budak setan. Aku menangis dan meminta pada Tuhan agar Tuhan mengampuni dosa-dosaku. Dan saat itu pula lah, di depan ka'bah aku berjanji, tak akan pernah lagi melakukan perbuatan terkutuk yang selama ini telah aku jalani. Dan di depan ka'bah pula lah aku berjanji akan berusaha membuat ibuku masuk ke dalam mesjid Dil Haram dan bertawaf mengelilingi ka'bahnya. Tapi tentunya dengan uang yang halal. Uang yang harus aku kumpulkan dari hasil kerjaku.

Sepulangnya aku dari umroh, aku merasa jadi orang yang berbeda, walaupun jujur aku akui, aku masih berorientasi homosexual. Tapi aku sudah tak ingin lagi melakukan hal-hal di luar batas keimananku. Apalagi dengan adanya Pak Chairil dan keluarganya yang selalu membingbingku ke jalan yang lebih baik. Dan aku pun tak henti-hentinya terus berusaha dan berdoa agar suatu hari nanti bisa benar-benar sembuh dan menjadi laki-laki normal seutuhnya.

Sekarang 2 bulan sudah aku berada di Riyadh karena perusahaan kembali memindah tugaskan aku ke cabang yang ada di Riyadh. Tapi aku akan mengajukan permohonan agar bisa kembali bekerja di Jeddah. Alasanku tentu saja Pak chairil dan kota Mekkah. Karena kalau aku bekerja di jeddah aku bisa menjalankan umroh kapan saja sesuka hatiku. Tidak seperti Riyadh yang jaraknya ke kota Mekkah begitu jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun