Mohon tunggu...
Hafy_Akmal Moeslim
Hafy_Akmal Moeslim Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa/Penulis

Punya ketertarikan mengenai isu baik hukum, politik maupun persoalan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memahami Konsep Perjanjian Internasional Secara Universal Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah

3 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 2 Januari 2025   18:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penulis: Achmad Hafy Akmal Moeslim

Dalam kajian islam terkhususnya Siyasah Dauliyah perjanjian secara etimologi berasal dari kata ‘Ahada yang mengandung arti kesepakatan manusia, perintah Allah Swt, pemeliharaan, perlindungan kehormatan dan keamanan. Pelaku yang melaksanakan perjanjian disebut sebagai Al-mu’ahid, sedangkan peristiwa perjanjian disebut sebagai Al-muahadah. Selain dari pada hal itu sebutan perjanjian juga dapat di istilahkan Al-mitsaq dan al yamin. Istilah Al-mitsaq sendiri dapat diartikan sebagai perjanijan, sedangkan istilah al-yamin dapat diartikan sebagai sumpah. Suatu perjajian dapat dikatakan sebagai al-yamin apabila perjanjian tersebut dikuatkan oleh sumpah. Dapat dipahami secara umum perjanjian dapat diartikan sebagai kesepakatan yang dilakukan oleh antar negara. Dan perjanjian yang dilakukan oleh antar individu bukan bagian dari kajian Siyasah Dauliyah.

Sayangnya Ulama terdahulu dalam mendefinisikan sebuah perjanjian internasional hanya terbatas dalam wilayah militer saja. Padahal apabila kita lihat persoalan mengenai perjanjian internasional tidak hanya terbatas pada ruang lingkup militer. Ada wilayah ekonomi yang ikut serta sepertipengaturan  perdagangan, ekspor, impor, pengaturan tarif beacukai dan seterusnya. Seperti As-Syairbani yang mendefinisikan perjanjian internasional sebagai kesepakatan dua pihak yang berperang untuk menghentikan peperangan selama masa tertentu dengan kompensasi tertentu atau tanpa kompensasi. Akan tetapi secara umum dapat kita sepakati bahwasanya pengertian  perjanjian internasional adalah kesepakatan yang dilakukan oleh satu negara atau beberapa negara untuk mengatur hubungan resmi dengan batasan yang disepakati.

Islam telah mengatur didalam Al-Qur’an mengenai Anjuran negara untuk melaksanakan perjanjian internasional yakni sesuai dengan firman Allah SWT (surat Al Anfal {8}: 58) serta hadis Rasul yang diambil dari kebiasaan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan perjanjian, seperti perjanjian Hudaibiyah dan perjanjian-perjanjian lain yang dilakukan oleh Nabi Muhammad terhadap kabilah-kabilah pada waktu itu. Ada dua golongan pendapat didalam islam mengenai syarat sah atau tidaknya perjanjian internasional dalam ruang lingkup aktor maupun pelaku. Bagi golongan madzab Hanafiyah dan Malikiyah pelaku yang melaksanakan perjanjian tidak harus kepala negara artinya boleh seluruh elemen baik masyarakat, pejabat, pengusaha atau bahkan yang lain asalkan perjanjian tersebut tidak mendatangkan Mudhorot. Berbeda dengan pendapat golongan madzhab Syafi’i yang menekankan pelaku atau aktor yang melakukan perjanjian harus kepala negara itu sendiri atau yang mewakili.

Aktor atau pelaku perjanjian merupakan bagian dari inti keberlangsungan perjanjian tersebut. Karena dengan adanya pelaku perjanjianlah perjanjian tersebuat bisa dibuat, disepakati sampai dilakasanakan maupun dicabut. Makanya tidak heran dalam islam rukun perjanjian ditempatkan pada yang utama. Lalu dilanjut dengan objek yang disepakati (mahallul’aqd), dan dictum perjanjian (shighat al-aqd). Apabila salah satu dari ketiganya tidak terpenuhi maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan atau tidak bisa disebut sebagai adanya perjanjian. Lebih dari pada hal itu tahap-tahap pelaksanaan perjanjian bisa dimulai dari tahap perundingan (biasanya diawali oleh duta besar lalu ditanda tangani oleh kepala negara jika setuju). Kedua, kesepakatan dan penandatanganan perjanjian (al-ittifaq wa aw-tauqi). Ketiga, pelaksanaan, dan Keempat, pengumuman perjanjian.

Lebih dari itu agama islam juga telah mengatur bagaimana umat dalam suatu negara melakukan perjanjian dari setiap bentuk-bentuknya. Dalam wilayah bentuk perjanjiang berdampingan secara damai apabila ada konflik negara harus mengedepankan penyelesaian dengan cara perundingan atau negoisasi tidak dengan tindakan militer. Dalam wilayah perjanjian gencatan senjata bisa dilakukan dibulan-bulan haram dimana perang harus diberhentikan sementara. Dalam wilayah bentuk perjanjiang ekonomi diperbolehkan dalam hal tranksaksi apapun, kecuali perjanjian yang melanggar syariat. Seperti perjanjian akad yang mengadung unsur riba, perjanjian perdagangan ekspor impor barang yang didalamnya terkandung zat haram, serta perjanjian antar negara mengenai utang piutang yang mensyaratkan kepada negara yang berutang untuk memenuhi syarat negara yang memberikan hutang. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi keutuhan negara, ketahanan ideologi, serta hak ekonomi domestik.

Disisi lain ada bentuk perjanjian dalam wilayah perjanjian netralitas, bahwasanya masing-masing negara yang terlibat dalam perjanjian harus netral terhadap masing-masing konflik yang berkemunculan. Ada juga dalam bentuk wilayah perjanjian Ekstradisi mengenai penyerahan tawanan dari negara asing. Serta masih ada bentuk-bentuk perjanjian yang tidak boleh dilakukan seperti perjanjian mengenai barter kedaulatan wilayah dan perjanjian pelarangan pengembangan fasilitas pertahanan dan pelucutan senjata yang dapat memberikan dampak terhadap keamanan kedaulatan negara itu sendiri. Bahkan sampai pada pelarangan perjanjian penyewaan pangkalan militer terhadap negara asing.

Namun perlu kita ketahui tidak seutuhnya dari perjanjian internasional yang sudah disepakati akan terus berlanjut. Ada hal-hal serta sebab-sebab bagaimana perjanjian tersebut bisa diakhiri. Sebab-sebab perjanjian tersebut dapat diakhiri secara umum karena dua faktor yakni: Pertama, atas hal kondisi dan tindakan tertentu. Kedua, dinyatakan berakhir oleh kedua pihak. Namun dalam islam hal tersebut sudah dibahas secara komprehensif terkhsusunya dalam ruang lingkup Siyasah Dauliyah. Dalam islam perjanjian dapat diperhentikan apabila: Pertama: perjanjian tersebut telah dilaksanakan secara sempurna dan dianggap telah berakhir. Kedua: masing-masing negara atau para pihak setuju untuk mengakhiri perjanjian atau menggantikanya dengan perjanjian lain. Ketiga: hancur atau berakhirnya salah satu pihak yang mengikat perjanjian tanpa memerhatikan sebab kehancuran. Disisi lain dalam islam pembatalan perjanjian juga dapat dilakukan apabila negara yang bekerjamasa melakukan penghianatan terhadap perjanjian tersebut.

Refrensi: Ija Suntana, (2015), Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah), Bandung, Pustaka Setia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun