Remaja merupakan fase di mana manusia memasuki masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa ini pemuda pemudi memang dituntut untuk mencari jati diri mereka, sehingga banyak sekali permasalahan yang membuat mereka akhirnya galau, stres, cenderung menarik diri, tidak dapat mengontrol emosi dan lain sebagainya. Permasalahan remaja ini kadang memang sepele di mata orang dewasa, tapi sebagian besar remaja sangat sulit bagi mereka untuk menanganinya sendiri, mungkin bagi remaja yang mempunyai banyak relasi, hal ini bisa diselesaikan dengan baik.
     Namun, bagaimana dengan mereka yang benar-benar diacuhkan dan tidak mempunyai relasi? Beberapa remaja mungkin masih kuat untuk bisa menanganinya sendiri, tapi itu hanya sebagian kecil, sebagian besarnya, mereka akan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan sebagai seorang pelajar. Mereka bisa saja mencari pelarian untuk menghilangkan stres, seperti merokok, narkoba, minum-minuman keras bahkan seks bebas. Jika pelarian mereka harus ditangani dengan serius, ada satu pelarian yang dianggap sangat sepele, namun bahayanya sama dengan orang mengkonsumsi narkoba, yaitu self harm.
     Self harm merupakan perilaku menyakiti atau melukai diri sendiri dengan sengaja untuk mendapatkan perasaan atau kepuasan tersendiri. Tujuan dari self harm ini kebanyakan adalah untuk melampiaskan emosi berlebih yang tengah dirasakan, misalnya pada saat kecewa, marah, stres, cemas, bahkan kesepian dan putus asa. Self harm bisa dilakukan dengan cara melukai tubuh menggunakan benda tajam, benda tumpul, atau benda-benda yang ada di sekitar. (Dikutip dari: halodoc.com).
     Secara epidemologi, Indonesia menurut data survei YouGov Omnibus, pada Juni tahun 2019 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga setara dengan 36,9% orang Indonesia pernah melukai diri sendiri dengan sengaja. Dari persentase tersebut, prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok usia 18-24 tahun. Dalam hal ini remaja ditemukan lebih tinggi dan rentan terhadap perilaku self harm, terutama remaja wanita, seperti yang terjadi di Karangasem, Bali, beberapa waktu terakhir. (Sumber: lldikti5.kemdikbud.go.id).
     Dampak internal dari self harm itu sendiri, yaitu bisa memberikan efek antinyeri dan adiksi terhadap diri mereka. Sehingga jika dibiarkan terus-menerus dapat melewati batas toleransi tubuh mereka yang di kemudian hari dapat menimbulkan risiko penyakit medis lainnya bahkan sampai ke tahap percobaan bunuh diri. Tidak hanya dampak internal, menurut penulis, dampak eksternal dari perilaku ini juga harus ditanggapi dengan serius. Karena kalau tidak, hal ini akan membawa pengaruh buruk ke orang-orang di sekitarnya, sampai akhirnya cangkupan orang-orang yang melakukan self harm akan semakin luas dan sulit diatasi.
     Melakukan self harm bukanlah solusi akhir dari sebuah masalah, melainkan permasalahan baru yang sewaktu-waktu bisa menjadi lebih besar. Carilah teman untuk bercerita, bicarakan baik-baik agar teman anda pun dapat merangkul dan menerima perilaku anda serta memberikan solusi juga. Anda juga bisa mencoba mengalihkan kebiasaan buruk menyakiti diri dengan hobi yang bermanfaat seperti menggambar, mendengarkan musik, menulis, membaca, dan lain sebagainya.
     Banyak dari pelaku self harm yang menyesali perbuatannya di kemudian hari. Sedangkan dengan kegiatan self love, kita dapat membuat kebiasaan positif baru yang dapat memperbaiki kualitas kehidupan agar lebih baik lagi. Mengatasi self harm ini memang tidaklah mudah. Namun, jika kalian ingin terus mencoba dan merubahnya menjadi self love, saya yakin anda pasti berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H