Aku gak bisa baca buku itu, Kak. Kata-katanya sulit dieja.
Kalimat-kalimat ini terdengar saat aku mencoba meluangkan waktu untuk mengobrol tentang literasi dengan anak yang duduk di kelas 1 hingga kelas 3 SD.
Mungkin, murid kelas 4 hingga kelas 6 tidak terlalu mempermasalahkan hal ini karena mereka sudah bisa lebih banyak mencerna materi dan kosakata di buku tersebut. Namun, bagi siswa kelas 1 yang baru bisa membaca, kondisi ini tentu akan membosankan.
Sehingga, tidak menutup kemungkinan anak-anak akan menganggap membaca sebagai aktivitas yang monoton atau bahkan sama sekali tidak mau membaca lagi karena merasa kesulitan.
Itulah yang dialami Lili (bukan nama sebenarnya) dan teman-temannya di daerah 3T Lombok Utara. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk bermain atau membantu orang tuanya bekerja dibanding membaca.
Untuk mengisi waktu luangnya, anak di usia ini tentu membutuhkan buku bacaan yang tidak terlalu tebal, cerita yang ringan, kosakata sederhana dan ramah anak, serta diselingi gambar.
Dengan menyediakan buku bacaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan baca anak, tentu akan menghadirkan pengalaman membaca yang menyenangkan. Sehingga minat baca mereka akan tumbuh secara alami, seperti yang aku dan adikku alami dulu.
Pengalaman seru ketika membaca ini akan terbawa terus hingga dewasa. Sehingga di usia dewasa, ketika kami dihadapkan untuk membaca lebih banyak literasi ketika menyelesaikan tugas akhir, kami tidak merasa ini sesuatu yang berat dan sulit. Karena aku dan adikku memang suka membaca sejak kecil.
Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia
Beruntung, Kemendikbud sigap mengatasi masalah ini. Karena dengan Merdeka Belajar dan program Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia, pemerintah siap mencetak dan mendistribusikan 15.356.486 eksemplar (560 judul) buku bacaan bermutu ke 5.963 PAUD dan 14.595 SD di daerah 3T dengan nilai kompetensi literasi/numerasi merah.