Jangankan perpustakaan dan buku, untuk ke sekolah saja masih susah. Di daerah ini, anak-anak harus berjalan kaki cukup jauh untuk bisa sampai ke tempat belajarnya. Miris, sungguh miris.
Kala itu, aku sempat berkunjung ke salah satu kerabat di Lombok Utara, sebut saja dia Ali, usianya 15 tahun.
Saat itu, ia mengeluh kecapaian karena baru pulang sekolah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Tak hanya itu, ia juga bercerita tentang kesulitannya saat mengerjakan PR karena keterbatasan buku yang dimilikinya.
Aku pun bertanya, apa di sekolah tidak ada buku? Di perpustakaan, misalnya. Jadi sekalipun tidak bisa beli buku, para siswa bisa meminjam, seperti yang sering aku lakukan dulu saat masih sekolah.
Jawaban Ali pun membuatku terkejut dan prihatin. Ia berkata bahwa di sekolahnya ada buku yang bisa dipinjam dari perpustakaan. Namun, buku-buku itu sudah rusak dan jumlahnya terbatas. Sehingga, tidak semua siswa bisa memilikinya.
Ia pun menambahkan, sebenarnya ia suka membaca buku. Setiap jam istirahat ia selalu ke perpustakaan, tapi tidak ada buku menarik di sana yang bisa ia baca.
Semua buku di tempat itu hanya berupa buku pelajaran yang membosankan, atau buku yang tidak sesuai dengan minatnya. Belum lagi buku-buku itu memiliki kualitas yang memprihatinkan karena tidak dirawat dengan baik.
Hal ini tentu berbanding terbalik denganku, yang sejak SD hingga SMA selalu terfasilitasi dengan perpustakaan yang cukup lengkap di sekolah.
Tidak hanya buku pelajaran, di perpustakaan sekolahku juga ada buku non fiksi serta hiburan seperti novel dengan beragam genre dan tema.
Jadi, tidak hanya lokasi rumahku yang dekat dengan perpustakaan, tapi aku juga mendapat fasilitas buku-buku yang memadai dari perpustakaan sekolah.