Mohon tunggu...
Muhammad Hafiz Zulkhalid
Muhammad Hafiz Zulkhalid Mohon Tunggu... Human Resources - Resmi

Pencinta abstrak dari segala abstrak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Legenda Ular Putih : Sebuah Kontemplasi Sosial

13 Januari 2021   17:39 Diperbarui: 13 Januari 2021   19:17 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Patah Danau Xihu tempat dimana Xu Xian dan Bai Shu-zen berpapasan

Xu Xian melihat gadis itu untuk pertama kalinya di hari libur festival Qing Ming. Kala berpapasan di jembatan Duanqiao yang melintasi Danau Barat dengan airnya yang cemerlang seperti batu giok, ia melihatnya, berbaju kuning pinang dan rok sutera putih, bersama seorang gadis lain, mungkin adiknya. Tapi Xu Xian hanya berjalan menunduk ketika melewati mereka. Lalu hujan turun mendadak, lebat, hujan yang mengejar. Xu Xian membuka payung, memanggil tukang perahu yang lewat untuk membawanya ke Gerbang Qing Bo. Baru beberapa meter, ia melihat mereka lagi, gadis cantik dan adiknya itu. Mereka muncul dari bawah pohon tempat berteduh, dan menyeru ke arah tukang perahu agar membawa mereka. Sungguh sebuah kebetulan. Tentu saja Xu Xian menyuruh perahu yang disewanya berhenti, dan mengundang mereka ikut. Kemudian mereka saling berkenalan.

”Ini kakak saya Shu-zen, kami dari keluarga Bai” kata si adik.
”Lalu saya sendiri Xiao Qing.”
"Salam nona Bai, nona Qing, jika boleh bertanya hendak kemanakah tujuan kalian?"


Mulai hari itu, Xu Xian pun masuk ke ambang sebuah nasib yang dahsyat, tanpa ia sadari. Ia jatuh cinta, ia kawin, ia membangun keluarga dengan seseorang yang tak jelas. Itulah inti cerita Cina yang termasyhur
ini, yang dikisahkan dari generasi ke generasi. Di Indonesia, kita misalnya membacanya dalam versi yang ditulis oleh Zhang Hen-shui, yang diterbitkan dengan judul Putri Ular Putih, terbitan Pustaka Utama Grafiti, 1991. Terakhir, Teater Koma mementaskannya di Taman Ismail Marzuki dalam bentuk seperti yang di-rancang oleh N. Riantiarno, dengan judul Opera Ular Putih.
Yang menarik dari ”opera” ini bukanlah adegan pentasnya yang spektakuler, dengan permainan liong yang asyik dan penggunaan efek wayang golek yang kocak. Yang menarik adalah bahwa sesuatu yang serius dalam cerita ini, sementara dibawakan
dengan gurauan namun tetap sesuatu yang serius: Xu Xian mengawini Bai Shu-zen tanpa mengetahui bahwa identitas gadis itu adalah
identitas yang masih jadi persoalan. Sebab Bai Shu-zen, juga Xiao Qing, temannya yang berlaku sebagai saudari sumpahnya, sebenarnya adalah siluman. Bai Shu-zen adalah makhluk dari alam lain, seekor ular putih, yang telah bertapa ribuan tahun dengan keinginan yang keras untuk menjadi manusia sebelum memasuki fase keabadian.
Xiao Qing, siluman ular hijau, telah memperingatkan saudarinya: masuk dalam kehidupan manusia bukanlah sebuah jalan yang damai. Tapi Bai Shu-zen bertahan. Ia memasuki kerumitan itu bukan saja dengan menjadi manusia; ia juga telah jatuh cinta kepada Xu Xian.
Cinta menarik seseorang ke dalam hasrat bersatu, keinginan bertaut, memberi dan mengharap. Di sini saja sudah tersedia pelbagai kemungkinan marabahaya dan kesedihan. Apalagi ketika Bai Shu-zen, dengan cinta itu, dengan hasrat bersatu dan bertaut itu,
ingin hidup seperti orang lain, seperti Xu Xian, seperti para penghuni Kota Suzhou, sementara dia tidak ”seperti orang lain”. Dia,
bagaimanapun juga, seorang (kalau kata ”seorang” di sini bisa dipakai) siluman.
Siluman” adalah sebuah identitas yang ambigu. Ia bukan ”ini”, bukan pula ”itu”. Ia adalah perubahan. Dalam keadaan itu, ia sesungguhnya menampik ”jati diri”. Sebab ”jati diri” adalah sesuatu yang dikonstruksikan orang lain dengan kekuasaan (misalnya dengan KTP) dan hendak menunjukkan sesuatu yang tulen, tetap, tunggal. Sementara itu, ”siluman” bebas dari stempel kekuasaan itu. Ia tak jelas. Sebab itu ia misterius, merepotkan, menakutkan.
Maka dalam kisah ini ada yang ingin menjaga agar ruang manusia tetap ”bersih” dan ”murni”: seorang Biksu yang sakti. Fa Hai. Dialah yang dengan teguh ingin menyelamatkan Xu Xian dari percampuran dengan para siluman, dengan kata lain, dari ketidakmurnian dan ketidakjelasan. Xu Xian harus dipisahkan dari Bai Shu-zen dan si siluman harus disingkirkan.
Bagi saya adaptasi Riantiarno masuk ke hati karena ia menekankan sifat tragis yang tak terelakkan dalam nasib Bai Shu-zen.
Manusia adalah sebuah ritus yang mengandung kesengsaraan, tapi bukan itu saja: transformasi ular-menjadi-manusia itu, (dengan kata lain, proses menjadi siluman itu) justru tak menyenangkan mereka yang melihat dunia sebagai sesuatu yang harus punya sejarah: ada asal-usul dan ada tujuan. Bai Shu-zen sementara itu tak punya itu. Ia adalah keadaan antara ”pernah” dan ”belum”.
Ia akhirnya tetap tak diterima, walaupun ia telah berbuat baik dengan hati yang paling tulus untuk mencintai, untuk menyelamatkan, untuk menolong. Bai Shu-zen dianggap melanggar kodrat, wilayah, hakikat.
Memang ada yang luhur ketika, dengan cinta, sang ular putih memasuki proses perubahan dari dirinya yang ”berbeda” menjadi yang ”sama”. Tapi yang tragis ialah bahwa ia, seperti juga kita, harus berhadapan dengan Fa Hai, hukum, definisi, identitas, sejarah, dan kekuasaan untuk memasukkan sifat siluman yang tersembunyi dalam diri kita masing-masing ke dalam kotaknya.
Dan Bai Shu-zen, aku, juga kau akan menemukan lingkungan yang sedemikian rupa dalam memandangmu.
Dan kita jatuh kedalam kotak itu.

---

Xu Xian...

Sejak pertama berjumpa denganmu,

Aku hanya ingin menjadi manusia biasa

memilih sayur dan makan dengan tangan

Sejarum sebenang menyulam kain

Aku juga ingin membuka balai pengobatan,

Bersamamu memetik tumbuhan herbal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun