Mohon tunggu...
Hafidz Aulia Faturrahman
Hafidz Aulia Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas

Salus Populi Suprema Lex Esto

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hak Prerogratif Presiden Dibalik Isu Penambahan Jumlah Kementerian

29 Juli 2024   18:39 Diperbarui: 29 Juli 2024   18:47 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Penambahan jumlah kementerian dalam struktur pemerintahan Indonesia menjadi topik perdebatan di kalangan masyarakat dan media. Isu ini menjadi hangat setelah Presiden terpilih periode 2024-2029, Pabowo Subianto melontarkan wacana penambahan kementerian dari 34 kementerian menjadi 41 kepada media. Wacana penambahan kementerian ini didasari alasan untuk percepatan pembangunan dan efisiensi pemerintahan. Namun, wacana ini patut dikritisi dari perspektif hukum maupun politik, melihat adanya potensi hal ini akan menciderai legitimasi hukum dari UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara serta dugaan adanya unsur pembagian kekuasaan untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, Presiden dalam menjalankan tugas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, memiliki suatu hak istimewa untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, yaitu hak prerogratif.

Menurut konstitusi, memang Presiden memiliki hak prerogratif untuk membentuk dan membubarkan kementerian sesuai dengan keperluan dan kebutuhanya. Hal ini tercantum dalam Pasal 17  ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, dan menteri-menteri tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun, hak prerogratif yang diberikan kepada Presiden bukanlah tanpa batas. Pembentukan, pengubahan bahkan pembubaran kementerian telah ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan hal tersebut diatur dengan lebih lanjut dalam undang-undang.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 diatas, pengaturan dan perubahan jumlah kementerian haruslah memiliki landasan yuridis yang kuat serta selaras dengan cita-cita bangsa. Namun dalam realitanya, wacana penambahan menteri yang terjadi saat ini masih jauh dari kata efektif, efisien dan cenderung diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan politik semata, bukan untuk kepentingan bangsa. Berkaca pada UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara, secara jelas telah mengatur terkait jumlah, tugas, fungsi dan wewenang dari kementrian dalam pemerintahan. Pasal 15 UU N0. 39 Tahun 2008 telah menetapkan jumlah keseluruhan kementrian maksimal adalah 34 (tiga puluh empat). Terkait dengan pengubahan kementrian tersebut dibatasi oleh Pasal 18 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008, yang mana pengubahan kementrian dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal seperti : Efisiensi dan efektivitas, pengembangan dan perubahan fungsi, proporsionalitas, peningkatan beban kinerja pemerintah dan lainnya. Penambahan kementerian tanpa adanya landasan yuridis yang jelas akan menciderai legitimasi hukum dan menciptakan pengelolaan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip di dalam UUD 1945 dan undang-undang.

Hingga saat ini, belum ada alasan yang jelas dan konkrit dari Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih terkait dengan wacananya untuk menambah jumlah kementerian. Apabila dinilai dari prinsip efisiensi dan efektivitas, tentu penambahan jumlah kementerian ini menimbulkan beberapa permasalahan. Bertambahnya jumlah kursi menteri akan membuat kabinet membengkak, begitu pula dengan jajaran serta turunanya. Dengan bertambahnya jumlah kementerian, maka akan menambah jumlah menteri dan wakil menteri yang dibutuhkan, menambah jumlah staf ahli menteri, penambahan personal keamanan, akomodasi dan transportasi serta kantor dan staf penunjang lainnya. Hal ini tentu akan memakan biaya yang sangat besar dan menjadi beban anggaran negara. Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, pemerintahan sedang berfokus untuk melakukan Pembangunan infrastruktur diseluruh wilayah dan pembangunan Ibu Kota Nusantara, apabila beban anggaran tersebut bertambah untuk mengakomodir penambahan kementrian tentunya akan menghambat program-program prioritas lain yang secara tidak langsng juga akan menghambat proses kemajuan NKRI.

Salah satu isu krusial dalam wacana penambahan jumlah kementerian ini adalah adanya dugaan potensi penggunaan hak prerogratif Presiden tersebut untuk kepentingan politik, mengingat besarnya koalisi yang dimiliki oleh pasangan capres dan cawapres terpilih, Prabowo-Gibran, sehingga mereka harus memastikan setiap tim pemenanganya mendapatkan posisi yang strategis di pemerintahan. Dugaan-dugaan semacam ini wajar saja terjadi mengingat keresahan dari masyarakat akan terjadinya pembagian kekuasaan yang tentunya semakin memperkuat posisi koalisi dan menghiraukan prinsip check and belences. Meningkatnya jumlah Kementerian akan berimplikasi pada peningkatan konflik kepentingan antar para politisi, mengakibatkan tumpeng tindih dalam kewenangan dan sistem birokrasi yang dapat menghambat kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dengan wilayah yang begitu luas juga menjadi alasan dibalik adanya wacana penambahan jumlah kementerian. Apabila kita berkaca pada negara-negara yang juga memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang kurang lebih sama dengan Indonesia, yaitu : Amerika Serikat dibawah pimpinan Joe Biden memiliki 14 kementerian, India dibawah pimpinan PM. Marendra Modi memiliki 28 kementerian, Australia dibawah pimpinan PM. Anthony Albanese memiliki 31 kementerian dan Jepang dibawah pimpinan PM. Fumio Khisida memiliki 19 Kementerian. Negara-negara tersebut adalah negara yang sistem sosial politik maupun perekonomianya lebih maju dari Indonesia, namun dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang juga luas, mereka dapat tetap eksis dengan jumlah kementrian yang tidak lebih banyak dari kementrian di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kementrian yang banyak tidak menjamin kemajuan suatu negara, dan hal yang lebih penting adalah untuk memaksimalkan peran dan fungsi masing-masing kementerian dan peningkatan sumber daya manusia didalamnya. Penambahan jumlah kementerian tanpa diiringi dengan perbaikan kualitas aparatur negara dan sistem pemerintahan hanya akan menambah beban anggaran negara dan memperumit birokrasi serta tata kelola pemerintahan.

UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara hadir sebagai pembatas bagi presiden dalam menjalankan hak prerogratifnya terhadap kabinetnya sendiri. Namun, dalam praktiknya masih banyak terdapat dugaan bahwa hak prerogratif ini digunakan sebagai suatu instrumen politik untuk bagi-bagi jatah kekuasaan kepada para koalisi pemenangan capres dan wapres terpilih. Hal ini sejalan dengan adanya bukti bahwa wacana penambahan jumlah kabinet kementerian tidak memenuhi prinsip efektifitas dan efisiensi untuk mendorong kemajuan NKRI karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat, tidak memiliki alasan yang konkrit dan membuat pembengkakan dalam kabinet, memakan anggaran biaya yang sangat besar serta tidak relevan apabila melihat dari formasi dan susunan kabinet kementerian beberapa negara lain yang lebih ramping.

Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki dan memperkuat efektivitas pemerintahan untuk mendorong kemajuan NKRI, Langkah yang lebih bijaksana adalah dengan tidak menambah jumlah Kementerian, melainkan mengoptimalkan kementerian yang sudah ada dengan cara evaluasi menyeluruh terhadap kementerian. Kemudian memperkuat kelembagaan kementerian dengan memberikan pembekalan dan pelatihan kepada sumber daya manusia yang ada agar dapat menjalankan pemerintahan dalam kementerian dengan lebih akuntabel dan efisien. Yang tidak kalah penting adalah menjaga legitimasi hukum agar tidak terjadi penambahan jumlah kementerian tanpa dasar hukum yang jelas, yaitu menegakan prinsip-prinsip hukum dalam UUD 1945 dan UU (khususnya UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara). Hanya dengan hal-hal tersebut, kita dapat menciptakan efisiensi dalam pemerintahan dan birokrasi, guna mendorong kemajuan dalam NKRI tanpa ada kepentingan politisasi yang menyelimutinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun