Mohon tunggu...
Hafidz Aulia Faturrahman
Hafidz Aulia Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas

Salus Populi Suprema Lex Esto

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggabungan Partai Politik, Sebuah Tradisi Menggadaikan Ideologi Partai Politik dan Sistem Demokrasi

27 Juli 2024   21:58 Diperbarui: 27 Juli 2024   22:00 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dinamika politik di Indonesia telah memasuki babak baru, kontestasi perebutan kursi RI-1 akhirnya dimenangkan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2, H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar Rapat Pleno Terbuka penetapan hasil Pemilu tingkat nasional pada hari Rabu, 24 April 2024. 

Terpilihnya pasangan nomor urut 2 secara resmi ini, menandakan bahwa arah politik Indonesia kedepannya adalah untuk keberlanjutan terhadap program dan sistem yang selama ini telah dijalankan oleh Presiden Joko Widodo. Koalisi Indonesia Maju adalah sebagai barisan utama dari partai politik pengusung pasangan 02, yang beranggotakan 10 Partai, yaitu : Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, PSI, Garuda, Partai Aceh dan PRIMA.

 Diputuskannya hasil akhir dari Pemilu tingkat nasional ternyata masih diikuti dengan sederet kontroversi, satu hal yang paling disorot adalah isu atau kabar bergabungnya partai politik pengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Pasangan 01 (Partai PKB dan NasDem) ke kubu 02. Penggabungan yang dilakukan dianggap sebagai suatu bentuk penggadaian terhadap idealisme dan konsistensi partai politik itu sendiri, serta dapat memperburuk sistem demokrasi di Indonesia.

Pergerakan partai politik yang kalah dalam pemilu menuju koalisi yang memenangkan kontestasi pemilu adalah sebuah hal yang hampir selalu terjadi, bahkan hal ini menjadi suatu tradisi yang sudah ada semenjak era orde baru. Kendati demikian, hal ini dapat menurunkan peran oposisi sebagai penyeimbang dalam pemerintahan. Pada masa orde baru, Soeharto memulai dominasinya dengan menjadikan Partai Golongan Karya (Golkar) yang mencakup juga ratusan kelompok fungsional seperti persatuan buruh, petani dan pengusaha sebagai kendaraan parlementer yang kuat. 

Untuk semakin memperkuat kepemimpinannya, Soeharto menarik Partai politik yang ada untuk bergabung ke dalam pemerintahan, dan menyisakan 2 partai diluar koalisinya, Adapun 2 partai tersebut adalah PPP yang terdiri dari partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun, aktivitas kedua partai ini diawasi dengan ketat sehingga tidak memberikan keluwesan sebagai oposisi. Setelah pemerintahan Presiden Soeharto, Rekonsiliasi dan penggabungan partai politik secara besar-besaran pun masih terjadi, mulai dari era pemerintahan BJ.Habibie, Abdurrahman Wahid hingga pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Pada saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hadirnya oposisi mulai memainkan peran penting ditengah masyarakat, PDIP sebagai partai terdepan yang berdiri di barisan oposisi yang sangat sering mengkritisi kebijakan pemerintahan, terutama saat kenaikan BBM dan kebijakan bantuan langsung tunai. 

Penggabungan koalisi kembali terjadi dan dengan massif dilakukan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid 2. Hampir semua partai politik bergabung dengan koalisi Indonesia Kerja, menyisakan PKS sebagai satu-satunya partai oposisi. Minimnya oposisi, membuat pemerintahan dapat dengan leluasa dalam menetapkan kebijakan politik tanpa takut adanya hambatan yang berarti, sekaligus menumpulkan taring check and balances di lingkungan pemerintahan

Berdasarkan sejarahnya, oposisi mempunyai peran tersendiri dalam upaya untuk menyeimbangkan roda pemerintahan. Tidak terlibat langsung dalam pemerintahan membuat oposisi sering tampil dengan pendapat dan ide yang berlawanan dengan pemerintah, pendapat yang berlawanan ini cenderung pada posisi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan ideologi dan konstitusi Bangsa Indonesia. Ketidakseimbangan antara oposisi dan koalisi di pemerintahan akan membawa dampak-dampak negatif. Tanpa oposisi maka akan muncul kekuasaan yang absolute dan menjadi jalan menuju kepemimpinan yang otoriter dan undemocratic.

Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa negara Indonesia berkedaulatan rakyat, yang berarti Indonesia menganut sistem demokrasi. Adapun untuk melihat penerapan demokrasi berjalan dengan baik dalam sebuah negara ialah dengan melihat stabilitas politiknya. Maksudnya adalah harus adanya keseimbangan komposisi antara pihak yang berkuasa atau koalisi di pemerintahan, dengan hadirnya pihak oposisi. 

Namun, apabila kita melihat situasi yang terjadi saat ini, hampir seluruh partai politik digandeng oleh Prabowo ke dalam pemerintahan. Tentu saja hal ini tidak sehat secara demokrasi, karena dapat menjadikan kontrol pemerintah hanya dalam satu arah, sehingga fungsi pengawasan dari partai politik yang tidak berada dalam pemerintahan (oposisi) menjadi sangat lemah. Sebagai pemegang mandat rakyat, partai politik seharusnya bertanggung jawab terhadap suara yang dipercayakan oleh rakyat kepada mereka. Penggabungan koalisi semacam ini menimbulkan keraguan akan kesetiaan partai politik terhadap ide, gagasan dan prinsip politik yang mereka usung selama kampanye dan pemilihan umum.

Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik , menyatakan bahwa tujuan umum partai politik adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, serta mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dengan demikian, sudah menjadi suatu kewajiban bagi partai politik untuk terus konsisten dan berpegang teguh pada prinsip dan gagasan yang telah dari awal disusun, karena ada puluhan juta suara yang ikut serta dalam mendukung eksistensi dan ide mereka untuk mengharapkan perubahan bagi bangsa Indonesa. 

Saat kemudian partai politik yang sebelumnya membawa ide perubahan ini, kemudian bermanuver dan bergabung dengan koalisi yang membawa ide keberlanjutann, sejatinya ini adalah dua hal yang berbeda dan dapat dicurigai ada kepentingan kelompok / organisasi yang lebih didahulukan dibandingkan kepentingan masyarakat. Bergabungnya partai politik dari koalisi 01, menuju kubu 02 merupakan suatu tindakan yang disebut pengkhianatan politik dengan menggadaikan konsistensi dan ideologi partai politik itu sendiri, demi mendapatkan bagian di pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun