Mohon tunggu...
Hafidz Aulia Faturrahman
Hafidz Aulia Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas

Salus Populi Suprema Lex Esto

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Indikasi Intervensi dalam Pembuntutan JAMPIDSUS oleh Densus 88 Melanggar Prinsip Independensi Sistem Peradilan

8 Juli 2024   19:35 Diperbarui: 8 Juli 2024   19:35 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala Divisi Humas POLRI, Irjen Sandi Nugroho, telah mengofirmasi adanya dugaan penguntitan yang dilakukan oleh salah satu anggota Densus 88 terhadap Jaksa Agung Muda  Bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS), Febrie Adriansyah, yang saat ini tengah menangani kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah diwilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, Bangka Belitung, senilai Rp.300 Triliun. Penguntitan ini menimbulkan kotroversi ditengah masyarakat terkait dengan legalitas dan tujuan utama dari tindakan penguntitan tesebut. Apa yang dilakukan oleh Densus 88 pada dasarnya adalah suatu bentuk pelanggaran secara tidak langsung terhadap prinsip kemandirian dari lembaga penegak hukum dan terindikasi merupakan suatu Langkah awal dari upaya intervensi. Kejaksaan Agung sendiri merupakan suatu otoritas hukum tertinggi dalam penanganan kasus tindak pidana khusus, termasuk korupsi yang dibantu oleh JAMPIDSUS. Upaya intervensi oleh pihak luar, terutama dari kepolisian yang seharusnya memiliki tugas dan fungsi berbeda, merupakan bentuk pelemahan terhadap kemandirian institusi kejaksaan. Tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk campur tangan kewenangan terhadap sistem peradilan yang seharusnya bekerja secara independen. Hal ini sejalan dengan prinsip independensi yaitu Kemandirian Internal, dimana Kejaksaan Agung harus memiliki sistem internal yang memungkinkan lembaga tersebut menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara mandiri dan profesional tanpa adanya intervensi dari pihak dan lembaga lainnya.

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) adalah pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang tindak pidana khusus. Tugas JAMPIDSUS adalah menangani kasus-kasus tindak pidana khusus, termasuk korupsi, dan langsung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Kejaksaan Agung menegaskan bahwa peristiwa penguntitan benar terjadi dan tidak mengetahui motif anggota Densus 88 yang menguntit JAMPIDSUS. Sedangkan Densus 88 sendiri adalah satuan khusus kepolisian yang bertugas untuk penanggulangan terorisme di Indonesia. Tugas dan fungsi Densus 88 adalah sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan terorisme dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 tidak memiliki wewenang untuk menguntit pejabat kejaksaan dalam kasus korupsi, yang dimana sudah jelas dalam hal ini bukanlah merupakan tindakan terorisme.

Secara struktural, Kejaksaan Agung termasuk JAMPIDSUS adalah lembaga negara dengan otoritas hukum tertinggi dalam penanganan kasus tindak pidana khsus termasuk korupsi yang berkiblat pada kepentingan public atau public sense of justice. Satu hal yang tidak dapat kita pungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan tanpa intervensi dari lembaga kenegaraan lain adalah suatu hal yang berat  apalagi berkaca pada konteks negara Indonesia yang masih dilanda kemiskinan,korupsi,kolusi dan nepotisme yang sudah demikian sistematik dan menggurita. Dalam kasus korupsi timah, bukan tidak mungkin apabila kasus korupsi timah yang sedang terjadi,kemudian kejaksaan agung memutuskan deponeering (penyampingan perkara demi kepentingan umum) sebagai lanjutan dari pembuntutan Densus 88 ini.

Densus 88 dibentuk untuk menangani ancaman terorisme. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Tugas dan Peran Densus 88/Anti Teror menyatakan bahwa tugas utama Densus 88 adalah menanggulangi dan memberantas tindak pidana terorisme. Penggunaan Densus 88 untuk menguntit pejabat kejaksaan dalam kasus korupsi tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Tidak adanya indikasi ancaman terorisme dalam kasus ini membuat tindakan tersebut tidak sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Densus 88. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas dan dasar hukum dari tindakan tersebut. Tindakan ini bisa diinterpretasikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian. Pengawasan yang dilakukan tanpa dasar yang jelas bisa membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang di masa depan. Hal ini mengingatkan kita pada berbagai kasus penyimpangan etika dan prosedur yang pernah terjadi sebelumnya di institusi kepolisian. Misalnya, pengawasan tanpa dasar hukum yang kuat dan tidak transparan dapat mencederai kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

 Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa kejaksaan merupakan satu-satunya institusi yang berwenang melakukan penuntutan. Untuk menjaga harmonisasi dan efektivitas penegakan hukum, penting untuk memastikan bahwa setiap institusi bekerja dalam lingkup tugas dan wewenangnya masing-masing. Tindakan seperti ini hanya akan memperburuk hubungan dan menghambat kerja sama yang seharusnya berjalan sinergis. Kadiv Humas Polri menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran disiplin, etika, dan pidana dalam tindakan penguntitan tersebut. Namun, pertanyaan muncul apakah ada perintah terkait penguntitan atau profiling. Jika mengacu pada undang-undang, maka pertanggungjawaban tindakan kepolisian bukan hanya secara internal melalui institusinya sendiri, melainkan juga melalui institusi lain seperti Komisi Kepolisian Nasional. Transparansi dan keterbukaan kepada masyarakat penting untuk mencegah kebingungan dan ketegangan antar institusi.

Bukti penguntitan yang terindikasi intervensi meliputi pengambilan foto sebagai upaya profiling terhadap JAMPIDSUS, pengintaian melalui drone, dan konvoi. Tidak ada kejelasan tujuan dan siapa yang memberikan perintah dalam pembuntutan ini. POLRI seakan tertutup dan menyatakan kasus ini telah diselesaikan setelah Kapolri dan Kejagung bertemu di istana. Apakah penggerakan Densus itu beralasan? Kalau Densus untuk menanggulangi tindak terorisme, apakah ada tindak terorisme di Kejaksaan Agung? Dari segi itu saja, aspek legalitasnya kurang terpenuhi. Merujuk pada Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 23 tahun 2011 Tentang prosedur penindakan tindak pidana terorisme, prinsip-prinsip yang meliputi legalitas, proporsionalitas, keterpaduan, necesitas, dan akuntabilitas tidak terpenuhi dalam kasus ini.

Penguntitan yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap JAMPIDSUS tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa adanya indikasi ancaman terorisme merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Densus 88. Tindakan ini dapat dianggap sebagai intervensi yang melanggar prinsip kemandirian lembaga penegak hukum dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan serta konflik antar-institusi penegak hukum. Oleh karena itu, perlu adanya investigasi lebih lanjut dan transparansi dalam penyelesaian kasus ini untuk menjaga integritas sistem peradilan serta jaminan dari negara agar kejaksaan agung mendapatkan independensinya dalam menyelesaikan perkara korupsi yang merupakan bangain dari wewenang mereka tanpa campur tangan atau intervensi dari lembaga lain untuk meningkatkan penegakan hukum di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun