Mohon tunggu...
Hafizul Umam
Hafizul Umam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aktivis Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan 24 Tahun Pasca Reformasi

11 Desember 2023   08:49 Diperbarui: 11 Desember 2023   08:49 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

         Dua puluh satu Mei 1998 adalah momentum bersejarah dalam perjalanan Demokrasi Indonesia, tepat hari ini tanggal 21 Mei 2021, 24 tahun pasca momentum bersejarah tersebut, gerakan yang dilakukan oleh Mahasiswa yang tumpah ruah di jalanan dalam rangka menumbangakan Rezim Soeharto yang telah berkuasa kurang lebih selama 32 tahun. Selama 32 tahun tersebut rakyat berada dalam kondisi keterkungkungan dibawah tekanan pemerintahan otoriter. Kondisi tersebut menyebabkaan  rakyat  menuntut adanya keterbukaan dan kebebasan serta terjadinya proses desentralisasi kekuasaan yakni dari pusat ke daerah. Hal itu mendorong semangat rakyat Indonesia untuk melakukan proses tranformasi secara politik atau lebih dikenal dengan reformasi.

         Kini pasca 24 tahun gerakan reformasi, memunculkan adanya  beberapa pertanyaan dasar yang perlu kita jawab bersama hari ini yaitu : Apakah reformasi yang sudah kita perjuangkan itu sudah sesuai dengan kehendak dan cita-cita kita bersama sesuai amanah Undang-Undang Dasar 45 ? Ataukah gerakan reformasi yang sudah kita pejuangkan menghasilkan sesuatu yang tidak jauh berbeda dari masa Orde Baru, bahkan mungkin justeru sebaliknya Orde Baru yang sudah kita runtuhkan lebih mampu mewujudkan kehendak rakyat ?, Oleh karena itu barometer keberhasilan cita-cita reformasi bisa kita tinjau dari tiga aspek  penting yaitu; Ekonomi, Politik, dan Sosial

         Bidang Ekonomi, masa Orde Baru terjadinya kesenjangan Ekonomi aset dan kekayaan hanya dimiliki oleh sekelompok orang yaitu para pemodal (konglomrat) sementara itu tingkat kemiskinan masih tinggi ditengah masyarakat. Selanjutnya masuknya Indonesia ke dalam sistem Ekonomi global yang kita sebut sebagai Ekonomi Neo-liberal, kedekatan Soeharto dengan Negara-Negara Barat dibuktian dengan terbentuknya Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI). grup tersebut dibentuk untuk memberikan bantuan kepada Indonesia yang tengah melakukan stabilisasi, membuat kebijakan ekonomi pada masa itu identik dengan kebijakan-kebijaknan Neo-liberal seperti, privatisasi aset nasional, masuknya ke dalam mekanisme perdagangan bebas, dibukanya kran investasi bagi asing, hal tersebut berdampak pada prekonomian Indonesia mengalami suatu kondisi ketidakpastian  dan sangat rentan dipengaruhi dengan kondisi prekonomian global. Hal ini terbukti dengan ketika terjadinya krisis finansial Regional Asia yang berdampak terhadap Ekonomi Indonesia sebagai penyebab terjadinya krisis Ekonomi 1998 .

          Pasca reformasi kondisi Ekonomi nampaknya tidak jauh berbeda dengan kondisi di masa Orde Baru, Hal tersebut bisa kita lihat dari beberapa indikator yaitu:1. Tingkat ketimpangan Ekonomi yang tidak jauh lebih baik dari masa Orde Baru. Masa Orde Baru tingkat pertumbuhan Ekonomi di tahun 1980 hingga 1996 di level 7,03 persen sementara pertumbuhan Ekonomi sejak era reformasi selalu dibawah angka 6,0 persen. Sedangkan tingkat gini ratio (ketimpangan) dari tahiun 1980-1996 rata-rata adalah 0,32-0,35, data terakhir sebelum pandemi covid 19 dipemerintahan Jokowi tingkat gini ratio 0,380. Artinya selain tingkat pertumbuhan Ekonomi yang tinggi pada masa Orde Baru tingkat ratio gini (ketimpangngan) masih lebih rendah daripada tingkat gini ratio di era reformasi.(Sumber BPS). 2.Aset-aset nasional yang belum mampu dikelola oleh anak bangsa yang akhirnya mendorong pemerintah untuk membuka kran investasi dan bahkan mengundang perusahaan multinasional untuk mengelola sumber daya Ekonomi Indonesia, alih-alih menwujudkan kemandirian Ekonomi justeru hal tersebut  yang kemudian  membuat Indonesia terjebak dalam kondisi ketergantungan Ekonomi, Kekuatan pemodal memegang peranan penting dalam pembangunan ekenom sehingga berdampak pada ketidakmerataan dan ketidakadilan pembangunan Ekonomi. Data terakhir yang dirilis oleh The Interpreter media asal Australia menyebutkan bahwa, Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia setara 100 juta penduduk. Hal ini kemudian memasukkan Indonesia kedalam negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi. Semangat reformasi untuk mensejahtrakan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila belum terrefrsentasikan  terlihat dari kondisi ekonomi dimasa pasca reformasi sampai hari ini.

            Dalam bidang Politik, gerakan reformasi yang ditandai dengan proses demokratisasi dalam sistem pemerintahan, dalam perkembangan proses demokrasi yang bersamaan dengan globalisasi Ekonomi yang disponsori ideologi liberalisme membuat kekuatan kapital atau modal menjadi kekuatan paling penting dalam segala aspek, inilah yang kemudian disebut oleh tokoh barat Joe Klien sebagai ‘Demokrasi Korporasi’. Eksistensi dari demokrasi korporasi di Indonesia sendiri dapat kita lihat dari kebijakan-kebijakan yang ambil oleh penguasa lebih mengakomodasi para pemodal daripada kepentingan rakyat secara umum, dikeluarkannya UU Omnibuslaw belum lama ini nampaknya menjadi bukti nyata kekuatan pemodal dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Selain itu, Partai politik sebagai Infrastruktur politik, sebagian besar partai politik di Indonesia hanya dikuasai oleh segilintir elit yang tentunya memiliki modal kapital dan sosial yang kuat, jadi tidak heran jika dalam hal usung mengusung calon pemimpin seperti kepala daerah, partai politik cendrung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki modal kapital membuat proses kaderisasi ditubuh partai politik tidak berjalan semestinya, pendidikan politik yang menjadi salah satu fungsi dari partai politik hanya diringkas kedalam kampanye-kampanye yang gagap gempita yang sama sekali tidak mencerahkan bahkan partai politik hanya menjadikan rakyat menjadi obyek politik lima tahunan. Macetnya proses kaderisasi di partai politik membuat partai politik hanya mengeluarkan kader kader karbitan yang tidak mempunyai kompetensi sehingga berdampak kepada krisis representasi pada lembaga-lemabaga pemerintahan seperti DPR, bahkan lembaga-lembaga yang sebenarnya akan memperjuangakan aspirasi dan kepentingan rakyat justru menjadi lahan subur praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal tersebut berdampak kepada buruknya tata kelola pemerintahan.

          Dalam bidang Sosial. Kekuatan modal Sosial yang sejak dulu menjadi ciri khas dan kekuatan bangsa Indonesia sudah tereduksi dalam kehidupan Sosial bangsa Indonesia, dipacu oleh beberapa faktor yaitu  pola pikir materealisme mengacaukan komitmen sosial sehingga berdampak kepada sistem nilai yang bertumpu pada pragmatisme. Sistem nilai seperti gotong royong, saling menghormati, kesopanan, silaturahim menjadi hal langka ditengah masyarakat akibat persaingan Ekonomi Politik dan Ekonomi. Selain itu ketimpangan Ekonomi berdampak pula kepada kohesi sosial masyarakat. Fenomenaa-fenoemna keterbelahan yang diterjadi ditengah masyarakat pasca era reformasi ini bisa kita lihat dari setiap perhelatan pemilu yang seharusnya menjadi momen pesta rakyat menjadi penyebab perpecahan yang tidak berkesudahan, beragam isu yang menimbulkan reaksi masyarakat ke dalam kubu pro dan kontra secara massif terjadi, munculnya istilah-istilah perpecehan seperti Cebong-Kampret di Pilpres 2019 dan gejala-gejala disentegrasi lainnya semakin menguat ditengah masyarakat sejak awal era reformasi 1998.

            Kondisi Sosial Politik Ekonomi pasca 24 tahun reformasi nampaknya belum mencerminkan suatu proses dari upaya perwujudan nilai dan cita-cita kita sebagai bangsa. Semangat reformasi dalam setiap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara belum termanifestasikan secara baik. di bidang Ekonomi, terjadinya ketimpangan Ekonomi, kekayaan yang hanya dikusasi oleh segelintir orang, masih tinngginya angka kemiskinan, belum terwujudnya kemadirian Ekonomi menjadi sekelumit permasalahan dibidang Ekonomi. dibidang Politik, menguatnya kekuatan kapital atau modal yang kemudian dalam praktiknya  membentuk suatu proses Demokrasi Korporasi yang hanya mengakomodir kepentingan para pemodal, partai politik yang idealnya menjadi infrastruktur politik untuk menghasilkan calon pemimpin dan wakil rakyat yang berkompeten justru hanya menghasilkan kader-kader karbitan yang miskin akan pengalaman di bidang politik, hal ini dikarnakan partai politik memberikan karpet merah hanya bagi mereka yang memiliki modal. dibidang sosial, akibat dari menguatnya modal kapital membentuk pola pikir masyarakat yang materialistik yang mengacaukan komitmen sosial sehingga berdampak kepada sistem nilai yang bertumpu pada pragmatisme, serta ketimpangan Ekonomi juga berdampak pada koshesi sosial yang ada  hal yang demikian membuat menguatnya  potensi keterbelehan ditengah masyarakat.

           Masalah masalah Ekonomi, Politik dan Sosial ini mencerminkan belum terwujudnya semangat dari reformasi kita. momen 24 tahun reformasi ini sudah seharusnya menjadi bahan refleksi dan evaluasi dari setiap elemen bangsa untuk menajadikan semangat reformasi menjadi  aksi  nyata dalam setiap proses pembangunan baik secara Ekonomi, Politik dan Sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun