Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai wilayah laut yang sangat luas. Dari segi geografis negara Indonesia berada di antara dua Samudra, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Karena itu kekayaan sumber daya laut Indonesia sudah pasti sangat berlimpah. Tidak hanya memiliki potensi dari segi fauna bawah laut yang beragam, menjadi jalur pelayaran internasional membuat Indonesia memiliki kekuatan yang signifikan.
      Indonesia memiliki peranan strategis dalam jalur pelayaran internasional, terlebih lagi menjadi kunci penghubung antar benua. Di bagian utara perairan Indonesia berbatasan langsung dengan Laut China Selatan dan Samudra Pasifik, di bagian selatan ada Samudra Hindia. Jelas hal ini menjadi nilai utama Indonesia untuk memiliki kuasa menjadi negara maritim yang modern. Hal ini tidak serta-merta dapat terwujud, Indonesia perlu meningkatkan kapabilitasnya dalam mengelola dan menjaga perairannya secara optimal.
      Salah satu wilayah perairan Indonesia yang menyimpan banyak kekayaan ialah Laut Natuna, berlokasi di kepulauan paling utara dari selat Karimata pada bagian utara dari Pulau Natuna. Laut Natuna Utara merupakan batas perairan Indonesia langsung dengan Laut China Selatan, Perairan ini memiliki potensi alam yang melimpah, baik dari sektor perikanan dan juga energi.Â
Dari sektor perikanan terdapat beberapa jenis ikan ekonomis seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, tenggiri yang menjadi incaran nelayan lokal maupun luar. Sedangkan dari segi energi Laut Natuna diketahui memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang besar terutama di Blok Natuna D-Alpha yang diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik.
      Namun belakangan ini sering terjadi konflik yang melibatkan Tiongkok dengan negara-negara di sekitar Laut China Selatan. Tiongkok mengklaim bahwa Laut China Selatan merupakan wilayah teritorialnya melalui Nine-Dash Line. Hal ini merupakan klaim teritorial sepihak dari Tiongkok yang pertama kali diajukan oleh Republik Tiongkok (Taiwan) pada tahun 1947 berawal dari Eleven-dash line kemudian dimodifikasi menjadi Nine-Dash Line. Berdasarkan klaim ini Tiongkok mengakui hampir seluruh wilayah di Laut China Selatan termasuk wilayah Laut Natuna Utara
      Hal ini membuat ketegangan di kancah internasional karena bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982 yang mengatur hak kewenangan atas wilayah laut yang dimiliki tiap-tiap negara. Pada Juli 2016, Tiongkok menolak putusan Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag terkait penolakan atas klaim Nine-Dash Line dan bahkan mengancam akan memutuskan hubungan dengan negara-negara yang mendukung putusan tersebut.
      Hubungan Indonesia dan Tiongkok kerap mengalami eskalasi terkait klaim wilayah Tiongkok yang mencakup Laut Natuna ini. Pada Maret 2016, Kapal nelayan Tiongok Kwang Fey ditahan. Pemerintah Tiongkok beranggapan hal ini tidak semestinya karena wilayah itu merupakan Traditional Fishing Ground Tiongkok. Sedangkan dalam UNCLOS pasal 51 hanya dikenal Traditional Fishing Rights, dimana dijelaskan bahwa Indonesia hanya memiliki perjanjian Bilateral dengan Malaysia.
      Dari sektor energi Tiongkok sempat menuntut Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara pada tahun 2019. Namun Indonesia menolak dengan tegas tuntutan Tiongkok tersebut. Pemerintah menyatakan bahwa aktivitas pengeboran dilakukan dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang sah. Sikap tegas Indonesia ini mendapat apresiasi dunia internasional karena menunjukan kedaulatan negara sesuai hukum yang tertera.
      Membuka Perspektif Baru, Dari Lawan Jadi Kawan
      Apabila dilihat dari perspektif lain permasalahan antara Nine-Dash Line dengan negara-negara yang memiliki klaim atas perairannya mempunyai kesempatan untuk membangun kerja sama dan saling menguntungkan. Dengan peningkatan eskalasi dari ketegangan menjadi konflik tidak akan menguntungkan siapapun. Namun melalui kerangka kerja sama bilateral maupun regional di ASEAN, hal ini dapat menjadi dasar lahirnya suatu hubungan baru.
      Dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia bebas dan aktif. Indonesia tidak dapat memihak dalam penyelesaian sengketa ini. Namun Indonesia memiliki posisi netral yang kuat untuk dapat membantu menyelesaikan konflik ini. Negosiasi secara diplomasi menjadi tombak utama untuk menemukan kesepahaman pada kasus di Laut China Selatan, tidak perlu tergesa-gesa dalam memutuskan perkara ini yang penting terjadinya kesepakatan dan kesepahaman yang saling menguntungkan bersama.