Mohon tunggu...
Hafizhah Septi Wulandari
Hafizhah Septi Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung

Saya mempunyai hobi traveling, mempunyai kepribadian yang unik, dan menyukai konten gaya hidup dan makanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secarik Kisah Serat Daluang

20 November 2024   13:20 Diperbarui: 20 November 2024   13:21 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seniman Ahmad Mufid Sururi menempa kulit kayu pohon paper mulbery di Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat, Senin (28/8/2023). Hafizhah Septi Wulandari

Serat kayu daluang dari pohon saeh (paper mulberry), yang sangat baik untuk menyimpan informasi dan digunakan berulang kali, membuat kertas daluang sangat tahan lama.

Kehidupan sehari-hari yang menggunakan kertas daluang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memahami dan menghargai budaya kertas tradisional.

Meskipun kertas daluang tidak lagi digunakan secara luas, upaya untuk mengenal kembali dan melestarikannya sebagai warisan budaya Indonesia terus dilakukan.

Sepak terjangnya mempertahankan daluang  membuat Mufid dicap sebagai tukang Saeh oleh sebagian seniman di Kota Bandung. Bukan karena kecintaannya saja, cap yang didapat juga karena ia mengharamkan berbagai inovasi agar kelestarian Daluang tetap utuh. Sehingga prosesnya tetap asli pertama kali ditemukan.

Namun, profesi "tukang saeh" yang ia geluti bukan hanya memproduksi kertas daluang saja. Pohon saeh bisa digunakan pula untuk menghasilkan  pakaian juga barang kerajinan lainya seperti syal, hiasan dinding, alat musik, dan aksesoris lainnya.

"Menginformasikan bahwa saya sebagai tukang Saeh bukan penemu dan bukan penerus secara keturunan, tetapi meneruskan informasi atau budaya secara teknis yang memang zaman dulu dibuat," ungkapnya.

Berdasarkan  dokumen orang Amerika yang menelusuri daluang di Indonesia pada tahun 1927, saat itu hanya dijumpai tiga keluarga pembuat daluang, yaitu  di Madura, Ponorogo, dan Garut. Menurutnya kualitas daluang Madura paling bagus, yang kedua ada di Ponorogo dan yang ketiga dari Garut.

Orang Amerika menganggap daluang Madura sebagai yang terbaik karena terlihat diolah dengan baik. Mereka juga menganggap daluang Garut sebagai yang ketiga karena masih terlihat kasar.

Namun, bagi Mufid, masing-masing karakternya unik tergantung pada kebutuhannya. Mungkin lebih menarik yang bertekstur lebih kasar jika digunakan untuk karya seni.

Sekitar 1976-1977 informasi dan teknik pembuatan daluang mulai diperkenalkan kembali dan mulai menyebar bahkan bukan hanya di wilayah Jabar namun juga ke Jateng dan beberapa pelosok lain.

"Sangat disayangkan disaat daluang sudah mulai merebak lagi, mulai menyebar dan pelan-pelan sudah banyak dikenal akan tetapi keluarga yang merupakan akar dari pembuatan daluang saat ini sudah kembali mati," jelas Mufid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun