Hubungan bermasyarakat tak jauh berbeda: sifat majemuknya membuat perbedaan pandangan dan konflik tak terhindarkan. Tapi tentu tidak selamanya kita saling bantah dan tidak dalam semua sendi kehidupan kita punya perbedaan. Pemeluk agama yang berbeda bisa punya pilihan politik yang sama. Pebisnis yang bersaing boleh jadi merindukan nabi yang sama.
Pendukung Persebaya dan Arema mungkin saja adalah teman sekelas yang setelah lulus menjalani masa pengangguran bersama. Penggemar Armada dan Hindia barangkali sama-sama bagian dari orang-orang yang langsung berdiri dan menari saat Didi Kempot mulai bersenandung, "kaya ngene rasane wong sing nandang kangen".
Kita memang tidak bisa rukun setiap hari. Namun kita bisa bergabung dan bekerjasama melemahkan gempuran wabah. Banyak cara untuk melakukannya, tapi pertama-tama, semua jenis partisipasi mensyaratkan kita untuk terlebih dulu menguatkan mental dan imunitas tubuh, menumbuhkan empati, dan memangkas egoisme. Orang Indonesia memang masih menunjukkan sifat jelek suka ngeyel dan menyepelekan, tapi itu soal ringan kalau ingat masyarakat kita di banyak tempat juga sudah terlatih untuk bekerjasama menghadapi masalah, sudah pernah remuk dan bangkit bareng-bareng. Teruji dari terpaan berbagai macam bencana.
Perang melawan penyakit ini memerangkap kita dalam situasi yang begitu absurd; belum ada yang tahu bagaimana kekuatan sesungguhnya musuh, belum ada yang bisa menjamin kita akan menang. Tapi bukankah di luar kemampuan manusia untuk menentukan hasil akhir? Kewajiban kita membantu mereka yang berada di garis depan dengan tidak memperburuk keadaan dan mereka yang kesusahan setelah pintu rezekinya dicekik pagebluk.
Ada banyak hal buruk yang bisa membuat kita merasa kalah, tapi tak kurang pula alasan untuk percaya kita semua akan baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H