Esai ini mengulas tentang wabah, kecemasan, dan lagu Psycho oleh Red Velvet.
Berita buruk seolah tak lagi terpisahkan dari keseharian kita. Pagi dimulai dengan kabar tentang kepergian orang-orang yang kita kenal membawa pergi semua pengetahuan dan kebijaksanaannya, siang kita mendengar juru medis kewalahan melakukan perawatan sebab alat dan fasilitas serba kurang, menjelang petang kita tahu berapa orang lagi yang bernasib buruk dan telah sedekat apa sebuah kutukan merangkak mendekati kita.
Bagian paling buruk dari itu semua adalah adanya dugaan kalau ini baru tepian kegelapan, skenario terparah menggambarkan kekacauan dalam skala yang belum pernah ada di sini sejak 2004 dan kita tak perlu berpura-pura tidak khawatir karenanya.
Panik dan cemas adalah hal yang wajar kita rasakan setiap mengendus bau bahaya. Bagian otak kita yang bertanggungjawab mengelola naluri bertahan hidup (kayaknya amigdala) mengirimkan sinyal pada tubuh untuk bersiap menghadapi situasi intense. Degup jantung dan tarikan nafas meningkat, demikian pula aliran darah menuju otak. Respon alami tubuh tersebut bertujuan untuk mendorong kita melakukan sesuatu. Sesuatu yang membuat kita merasa memegang kendali: fight or flight, tawur atau kabur.
Hanya saja, kecemasan dapat berkembang menjadi terlalu intens dan berbalik merugikan. Berapa orang coba yang sudah pusing dan mual-mual sebab kecemasannya memuncak mendengar rentetan berita buruk. Dalam level kerumunan, kepanikan bisa memicu perilaku ganas yang menyebabkan keperluan pokok menghadapi masa isolasi tidak terdistribusi merata. Hand sanitiser marak dibuat sendiri dengan alkohol yang sebetulnya lebih diperlukan di rumah sakit. Dalam sebuah kabar yang sumir dari Afrika Selatan, seorang pastor halu menewaskan puluhan anggota sebuah sekte gereja dengan meminta mereka menenggak disinfektan yang dipercaya sebagai air suci penangkal virus.
Hanya garis tipis yang menjadi batas antara waspada dan panik. Setelah kita paham dan peduli pada bahaya virus corona, tugas selanjutnya adalah menenangkan diri sendiri dan orang lain agar kecemasan kita tidak berakibat buruk.
Pemerintah sudah terbangun, sudah sadar situasi dan kini bekerja siang malam mengimbangi dokter dan perawat. Saya mendoakan mereka punya solusi untuk masalah ekonomi agar bisa lebih agresif menangani bencana ini. Bangsa ini juga tak kekurangan ilmuwan dan media yang masih sehat yang tak lelah berbagi gagasan tentang cara terbaik mengatasi pandemi.
Solidaritas masyarakat tak perlu diragukan, baik lembaga maupun individu banyak yang menggalang dana untuk meringankan beban rumah sakit. Juga untuk membantu meringankan beban rakyat miskin kota; kelompok masyarakat yang paling rentan setiap terjadi kelesuan ekonomi. Semuanya menerima iuran jutaan hingga miliaran rupiah. Hal-hal tersebut adalah pertanda baik yang sangat kita perlukan saat ini.
Kita bisa turut serta dengan banyak cara; bahkan membagikan hiburan, lawakan, dan resep masakan pun berharga. Hiburan memang bukan disinfektan, tidak bisa membunuh kuman. Tapi jelas lebih baik daripada mengumbar sumpah serapah. Kata Viktor Frankl, psikiater yang sintas dari kekejaman holokaus, humor adalah salah satu senjata jiwa kita untuk mempertahankan kewarasan dan menguasai keadaan. Di tengah pandemi, buat dan bagikanlah lebih banyak humor untuk mengimbangi kadar kabar buruk dan opini marah-marah. Menjaga emosi komunitas.
Menelpon dan berkirim pesan dengan orang-orang terdekat juga bisa membuat kita melalui masa jaga jarak ini tanpa harus stres. Saya sendiri merasa serbuan wabah ini menciptakan kondisi yang membuat saya lebih nyaman berkomunikasi dengan orang lain.
Bicara tentang hiburan, video klip Psycho oleh Red Velvet tengah malam tadi berhasil melewati angka putar 100 juta kali. Sebagai penggemar baru mereka, saya senang sekali. Lagu tersebut berkisah tentang hubungan dua orang, yang sekalipun sering hangat dan mesra, tak jarang pula berselisih dan keras satu dengan yang lain: gambaran realistis untuk memotret kompleksitas sebuah hubungan yang tak selalu manis, juga tak melulu pedih.Â