Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lawan Kebencian

17 Maret 2019   19:53 Diperbarui: 17 Maret 2019   20:23 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamaah Salat Jumat di Cristchurch, Selandia Baru, diberondong peluru oleh teroris yang dengan kejinya menyiarkan aksinya secara langsung melalui fasilitas streaming Facebook. Peristiwa ini, seperti sudah selayaknya, kemudian mendapat perhatian besar dari dunia. Kejadian ini adalah bukti kesekian dari salah satu problem terbesar masyarakat dunia hari ini: kebencian terhadap terhadap minoritas bisa berakibat sangat fatal.

Pelaku penembakan menuliskan manifesto untuk menjustifikasi kejahatan yang dilakukannya, sembari mencoba mengais dukungan dari orang-orang yang sependapat. Ia berangkat dari dendam akibat tindakan terorisme yang terjadi di negara-negara Eropa yang dilakukan oleh ISIS.

Kebencian jugalah yang membuat rezim militer Myanmar mengusir etnis minoritas Rohingya dari negaranya. Demikian pula ledakan bom yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, disebabkan oleh dorongan rasa benci terhadap kaum liyan.

Kita mesti berhati-hati agar tidak salah menempatkan kemarahan kita pada terorisme, menjadikan kita membenci sasaran yang salah. Teroris adalah musuh bersama. Jangan asal membenci orang-orang yang kita anggap sebagai 'bukan bagian dari kita'. Dalam hal melawan terorisme, yang bukan bagian dari kita adalah para pemupuk kebencian itu.

Neofasisme dapat hadir dalam berbagai rupa: ISIS, supremasi kulit putih, militeris Budha, dan sebagainya. Mereka punya satu ciri khas, sama-sama menolak hak kaum lain untuk hidup setara.

Sulitnya, kita yang merasa kelompok kita murni sebagai korban, bisa tergiring untuk saling menyalahkan. Menunjuk-nunjuk siapa yang lebih dulu memulai siklus kekerasan ini.

Namun bukan itu yang kita butuhkan untuk memadamkan bara. Mencari tahu siapa yang memulai dengan menunjuk suatu golongan agama tidaklah relevan. Karena ini bukan persoalan agama A melawan agama B, melainkan persoalan terorisme melawan kemanusiaan.

Dan jawaban untuk kebencian, meskipun terdengar utopis, adalah kasih sayang. Mulailah dari diri kita sendiri, dengan tidak salah menempatkan prasangka, seolah setiap orang yang bukan kita tidak menghendaki golongan kita hidup dengan baik.

Mulailah dari menumbuhkan kesadaran untuk menerima orang yang berbeda dengan kita. Mulailah dengan tidak mempercayai sembarang hasutan yang ingin membenturkan sesama penolak ide terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun